Menuju konten utama
Pilpres AS 2020

Konvensi Capres Demokrat AS: Kuncinya Ada di Pendidikan

Ada 25 kandidat capres dari Partai Demokrat AS. Mereka berlomba-lomba adu gagasan. Kuncinya ada di isu pendidikan.

Konvensi Capres Demokrat AS: Kuncinya Ada di Pendidikan
Debat kandidat capres 2020 dari Partai Demokrat di Pusat Seni Pertunjukan Adrienne Arsht, Miami, AS. AP/Wilfredo Lee

tirto.id - Pilpres AS akan dilaksanakan akhir tahun depan. Meski begitu, aroma kompetisinya sudah muncul dari jauh-jauh hari. Ini bisa dilihat dari gelaran debat kandidat capres Partai Demokrat edisi pertama yang berlangsung beberapa hari lalu.

Debat tersebut, sebagaimana diwartakan BBC, diadakan di Florida serta diikuti 10 kandidat. Tema yang diambil ialah kesehatan publik dan imigrasi. Elizabeth Warren, senator dari Massachusetts, dipuji-puji dan mendapatkan sambutan positif karena tampil percaya diri.

Debat kedua akan diselenggarakan di Miami pada Rabu (3/7) waktu setempat dan dihadiri nama-nama seperti Bernie Sanders dan Joe Biden.

Pemenang konvensi Partai Demokrat sedianya diumumkan pada Juli 2020, empat bulan sebelum pemilihan. Sang pemenang akan langsung berhadapan dengan kandidat Partai Republik sekaligus sang petahana: Donald Trump.

Trump Bikin Muncul Banyak Kandidat

Tiga tahun kepemimpinan Trump diisi oleh slogan “Make America Great Again” yang memicu lahirnya sentimen kebencian di akar rumput, skandal dengan Rusia yang tak kunjung memperoleh titik terang, perang dagang dengan Cina yang berkepanjangan, sampai kebijakan imigrasi yang menelan banyak korban.

Publik AS gerah, termasuk para politikus Demokrat. Argumen mereka rata-rata sama: Amerika sedang sakit dan satu-satunya cara untuk menyembuhkannya adalah Trump tidak berkuasa dua periode. Ajang konvensi pun dipakai untuk unjuk kemampuan sekaligus pamer kelayakan para bakal calon penentang Trump.

Sebanyak 25 kandidat yang turut serta dalam konvensi tahun ini dan menjadikannya konvensi dengan peserta terbanyak sepanjang sejarah partai—dan juga dalam kancah politik AS. Kandidatnya cukup beragam: dari yang tua, muda, progresif, sampai yang tak punya latar belakang politik sekalipun. Mereka akan bertarung selama kurang lebih setahun.

Untuk menang, mengutip laporan Vox, para kandidat minimal harus mendapatkan setengah dari total jumlah delegasi Partai Demokrat di konvensi yakni 2.026—dari 4.051.

Tentang bagaimana kandidat memenangkan konvensi tergantung dari sikap mereka terhadap isu-isu yang tengah berkembang, seperti perubahan iklim, aborsi, imigrasi, kesehatan publik, pajak, sampai kontrol kepemilikan senjata api.

Mengutip Guardian, untuk isu kesehatan publik, misalnya, para kandidat masih terbelah antara mereka yang tetap mempertahankan Obamacare (walaupun program ini telah dinilai gagal oleh banyak orang) dan mereka yang menuntut pemerintah meniru negara-negara Eropa yang menerapkan sistem pembayaran jaminan kesehatan tunggal.

Sementara untuk isu aborsi, hampir semua kandidat menyatakan dukungannya (pro-choice). Bahkan, muncul usulan agar pemerintah menyediakan dana di tingkat federal untuk membantu para perempuan yang ingin aborsi.

Yang cukup menarik dan tak kalah seru adalah isu pajak. Guna mengurangi dan mencegah ketimpangan pendapatan, sebagian kandidat meminta pemberlakuan pajak yang tinggi untuk orang-orang kaya serta pencabutan UU Pajak yang dibikin Republikan (Tax Cuts and Jobs Act of 2017).

Pendidikan: Penting tapi Terabaikan

Namun, di antara banyaknya isu penting yang bermunculan, ada satu isu yang dinilai krusial—sekaligus jadi kunci siapapun yang ingin memenangkan pilpres 2020 nanti: pendidikan.

Lembaga think tank dari Washinton, Brookings Institution, mencatat alasan mengapa isu pendidikan bisa jadi hal signifikan dalam kontestasi pilpres AS 2020. Pertama, pendidikan dekat dengan realitas kebutuhan sehari-hari masyarakat AS. Di tingkat pendidikan tinggi, misalnya, masalah yang berkembang adalah besarnya pinjaman yang dibebankan terhadap mahasiswa (student loan)—sehingga berpengaruh pada pendapatan keluarga di AS.

Kedua, akses pendidikan di AS belum merata. Ketiga, politik praktis. Sederhananya, lewat pendidikan, para kandidat bisa menggalang dukungan di kalangan anak-anak muda. Caranya: janjikan alokasi anggaran yang besar, hapus pinjaman kuliah, serta beri dukungan kepada kampus-kampus kulit hitam yang punya riwayat historis.

Lantas bagaimana para kandidat Demokrat menyikapi isu pendidikan?

Elizabeth Warren, misalnya, mengusulkan—atau tepatnya menjanjikan—dana alokasi untuk pendidikan sebesar $1,25 triliun. Di saat bersamaan, Warren juga ingin menghapus pinjaman mahasiswa dan meniadakan biaya kuliah di setiap perguruan tinggi negeri. Selain tiga poin ini, Warren juga menginginkan agar pemerintah federal menambah dana hibah, sekitar $50 miliar, untuk mendukung keberlangsungan proses belajar di kampus.

Guna mewujudkan rencana tersebut, Warren, seperti diberitakan The New York Times, akan menaikkan pajak bagi perusahaan besar maupun orang-orang kaya di AS. Estimasinya, Warren bisa mengumpulkan uang senilai $2,75 triliun dalam 10 tahun.

“Ini [akan] menyentuh kehidupan orang,” ungkap Warren dalam sebuah wawancara. “Ini adalah kesempatan untuk berbicara tentang bagaimana kita memperbaiki [sistem] yang rusak. Inilah impian Amerika.”

“Beban utang mahasiswa yang sangat besar tidak bisa dipungkiri membebani perekonomian kita. Ini bukan akibat dari kemalasan atau tidak tanggung jawab,” imbuhnya. “Ini hasil dari kerja pemerintah yang secara konsisten menempatkan kepentingan orang kaya sehingga berdampak pada kepentingan keluarga pekerja.”

Proposal Warren telah membuatnya populer di kalangan intelektual-akademisi kiri AS. Namun, apresiasi tersebut tidak serta-merta dapat ditafsirkan sebagai bentuk dukungan.

“Tak semestinya orang kuliah mendapat hukuman seumur hidup berupa hutang yang menggunung. Tapi, itulah yang terjadi, dan semakin memburuk,” ujar Randi Weingarten, Presiden Federasi Guru Amerika.

“Rencana Warren akan membebaskan orang Amerika dari hukuman hutang, sehingga mereka dapat menjalani hidup mereka, merawat keluarga, dan memiliki kesempatan yang adil dalam mimpi Amerika.”

Lain Warren, lain pula dengan Kamala Harris. Senator California berusia 54 tahun ini cenderung fokus untuk meningkatkan kesejahteraan guru K-12. Harris meminta pemerintah federal mengeluarkan $315 miliar untuk menaikkan gaji para guru selama 10 tahun ke depan. Harris berjanji, dalam masa pertama jabatannya nanti, tiap guru di AS akan memperoleh kenaikan $13,5 ribu.

Mantan Jaksa Agung California ini memanfaatkan gelombang protes dari para guru selama dua tahun belakangan karena pemerintah belum merealisasikan upah dan tunjangan yang lebih layak. Agar rencananya terwujud, Harris hendak menaikkan pajak—lagi-lagi—tanah dan perkebunan milik orang-orang kaya.

“Meningkatkan gaji guru adalah salah satu pilar dalam strategi untuk membawa orang-orang yang bekerja dalam perekonomian kita keluar dari batas dan menjadi pusat pembicaraan tentang keadilan ekonomi,” katanya.

Sudah bertahun-tahun, tulis Vox dalam laporannya, gaji guru tidak berubah secara signifikan alias jalan di tempat. Rata-rata gaji guru di AS adalah di bawah $60 ribu dan seringkali tidak merata antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya.

Sementara Bernie Sanders, politisi kiri dari Vermont, mengeluarkan gagasan untuk menghapuskan semua hutang mahasiswa, meniadakan biaya kuliah, dan mengubah sistem pendidikan tinggi. Rencana Sanders menyasar 45 juta lulusan di AS—atau senilai $1,6 triliun—dan berlaku selama enam bulan pemerintahannya kelak. Dari mana uangnya? Pajak dari setiap transaksi investasi keuangan yang berputar di Wall Street.

“Saya tidak sering menggunakan frasa [revolusioner]. Tapi, hari ini, pada kenyataannya, kami menawarkan proposal yang revolusioner,” Sanders bilang. “Hari ini, kami memasukkan proposal yang memungkinkan setiap orang di negara ini mendapatkan akses pendidikan yang mereka butuhkan untuk mewujudkan impian mereka.”

Agenda pendidikan Sanders, seperti ditulis Nikhil Goyal dalam artikelnya di The Nation, muncul sebagai imbas dari aksi mogok ribuan guru dan remaja kulit hitam di Philadelphia, Boston, Chicago, Newark, dan Providence dalam beberapa tahun terakhir yang menjadi korban atas kebijakan privatisasi, pemotongan anggaran, hingga penutupan sekolah.

Infografik kampanye demokrat

Infografik kampanye demokrat. tirto.id/Nadia

Joe Biden, mantan wakil Barack Obama, juga punya rencananya sendiri untuk isu pendidikan. Program utamanya adalah menekan kesenjangan antara sekolah kulit putih dan non-kulit putih serta sekolah kaya dan sekolah miskin. Kebijakannya nanti berfokus pada sekolah K-12—dari SD sampai SMA. Implementasi dari program tersebut mencakup peningkatan gaji guru, sertifikasi, hingga pemberian layanan kesehatan mental bagi siswa. Dana yang dibutuhkan, mengutip CNN, bisa mencapai $2,5 miliar per tahun.

Valerie Strauss, dalam kolomnya di Washington Post, menjelaskan bahwa isu pendidikan merupakan masalah yang penting namun tak pernah punya tempat prioritas dalam pemilihan. Padahal, masalah dalam pendidikan kemungkinan bisa berdampak besar—yang mengubah konstelasi politik di AS.

Contoh jelasnya ada di era Obama. Saat itu, pemerintahan Obama mengeluarkan kebijakan yang cenderung mengarah ke privatisasi sistem sekolah umum. Ini termasuk ketika negara memperluas jangkauan charter school—yang didanai publik tapi dioperasikan secara pribadi maupun swasta. Efek dari penerapan charter school: guru dapat dievaluasi berdasarkan penilaian dari siswa.

Langkah pemerintahan Obama sontak ditentang guru-guru di hampir seluruh negara bagian di AS. Dipimpin Asosiasi Pendidikan Nasional, serikat guru terbesar di AS yang punya 3 juta anggota, aksi protes dan mogok menolak kebijakan tersebut meledak di mana-mana, dari Los Angeles hingga Philadelphia.

Pendidikan memang tak semestinya dipinggirkan. Sekarang, publik AS bakal menunggu bagaimana gagasan-gagasan dari Warren, Sanders, Biden, dan Harris—empat kandidat yang punya elektabilitas tinggi—diaplikasikan di dunia nyata. Bisakah benar-benar mengubah sistem pendidikan AS yang kadung dianggap morat-marit, atau pada akhirnya cuma jualan biasa pada pemilu?

Baca juga artikel terkait PILPRES AS atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf