Menuju konten utama
Periksa Data

Konsumsi Beras dan Tingginya Prevalensi Diabetes

Cina dan India merupakan negara pengonsumsi beras paling tinggi, demikian pula dengan prevalensi diabetes di kedua negara tersebut.

Konsumsi Beras dan Tingginya Prevalensi Diabetes
Infografik Periksa Data Prevalensi Diabetes dan Konsumsi Beras. tirto.id/Quita

tirto.id - Sekitar 30 tahun lalu, para dokter di utara Daqing mulai penelitian perintis untuk pencegahan diabetes tipe dua di Cina. Kala itu, penyakit ini diderita sekitar 1 persen populasi di negara itu. Saat ini, sekitar 11% orang Cina menderita penyakit tersebut.

Diabetes tipe dua sendiri sangat umum diderita berbagai warga di dunia, namun dalam beberapa tahun terakhir, prevalensinya tumbuh cepat di Negeri Tirai Bambu. Berdasarkan data International Diabetes Foundation (IDF), Cina, India, dan Amerika Serikat merupakan negara dengan jumlah penderita diabetes paling banyak pada 2019.

Di Cina, ada 116,4 juta orang menderita diabetes, disusul oleh India dengan 77 juta orang, dan Amerika Serikat dengan 31 juta. Sementara itu, berdasarkan proyeksi IDF, pada 2045, negara-negara tersebut masih akan menempati posisi sama pada 2030 dan 2045, hanya Pakistan yang menggeser Amerika Serikat di urutan ketiga.

Indonesia sendiri berada pada posisi ke-7 dengan 10,7 juta orang pada 2019. Berdasarkan proyeksi IDF, Indonesia masih menempati posisi sama pada 2030 dengan 13,7 juta orang penderita diabetes. Namun, pada 2045, proyeksi menunjukkan posisi Indonesia turun ke posisi 8 dengan 16,6 juta penderita.

Masih dari laporan yang sama, wilayah Pasifik Barat IDF merupakan wilayah dengan jumlah kematian orang dewasa dengan diabetes tertinggi. Ada sekitar 1,3 juta kematian disebabkan oleh diabetes setiap tahunnya. Posisi kedua diikuti oleh wilayah Asia Tenggara IDF dengan 1,2 juta kematian. Sementara wilayah IDF dengan jumlah kematian terkait diabetes terendah adalah Amerika Selatan dan Tengah, 0,2 juta kasus.

Seperti dilaporkan The Economist, peningkatan kasus diabetes di Cina sebagian besar merupakan kasus diabetes tipe dua. Diabetes tipe dua biasanya diderita pasien berusia 40 tahun ke atas, memiliki kadar insulin tinggi, dan cenderung bertubuh gemuk. Gejala diabetes tipe ini di antaranya seperti badan mudah letih, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan mulai kabur, gairah seks menurun, luka sulit sembuh, dan infeksi berulang.

Alasan utama peningkatan diabetes di Cina ini karena orang-orang semakin kaya sehingga mereka sering mengonsumsi makanan olahan dan minuman manis. Satu dari tujuh orang dewasa di Cina menderita obesitas, termasuk seperempat orang dewasa di Beijing, kota paling "gemuk" di negara itu. Penduduk di sana cenderung kurang aktif secara fisik dibanding orang-orang pedesaan.

Hal lain yang dapat dipertimbangkan sebagai penyebab tingginya kasus diabetes ini adalah konsumsi beras. Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA), Cina merupakan negara dengan konsumsi beras paling tinggi pada 2019, yakni 142.970 metrik ton.

Posisi berikutnya ditempati India dengan 100.200 MT dan Indonesia dengan 37.900 MT. Memang, negara-negara pengonsumsi beras sendiri terbanyak adalah yang terletak di Asia Pasifik dan Asia Tenggara, kecuali Nigeria dan Brazil.

Konsumsi beras yang tinggi di Asia boleh jadi karena beberapa negara seperti Cina, India, Indonesia, Bangladesh, Vietnam dan Jepang merupakan produsen sekaligus konsumen dari 90 persen beras dunia. Pada saat ini, sejumlah negara-negara di Asia menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan produksi dan ekspor beras.

Amerika Serikat sendiri memang bukan negara pengonsumsi beras tertinggi. Namun, pola diet yang sembarangan, banyaknya konsumsi makanan cepat saji, konsumsi alkohol, dan kurangnya aktivitas fisik berpengaruh besar terhadap angka diabetes di negara tersebut. Akibatnya, pada 2015 hingga 2016, sebanyak 71,6 persen orang Amerika berusia di atas 20 tahun mengalami kelebihan berat badan, termasuk di dalamnya 39,8 persen tercatat obesitas.

Bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia, beras juga merupakan kebutuhan pangan pokok. Terkait produksi beras, pemerintah Indonesia berupaya mencapai mencapai swasembada beras melalui dua cara. Pada satu sisi, pemerintah mendorong para petani untuk meningkatkan produksi dengan mendorong inovasi teknologi dan menyediakan pupuk bersubsidi.

Sementara itu, pemerintah juga berupaya mengurangi konsumsi beras masyarakat melalui kampanye "satu hari tanpa beras" (setiap minggu), juga mempromosikan konsumsi makanan-makanan pokok lainnya. Hanya saja, Strategi ini belum bisa dikatakan berhasil karena kebanyakan orang Indonesia enggan untuk mengganti beras dengan bahan-bahan makanan lain.

Konsumsi beras Indonesia tidak berubah banyak dalam kurun 2009 hingga 2019. Pada 2009 misalnya, konsumsi beras per kapita sekitar 102,21 kg, turun hanya 0,05 persen jadi 96,33 kg per kapita pada 2019. Artinya, satu orang Indonesia mengonsumsi sekitar 96,3 kg beras pada 2019. Lebih jauh lagi, menurut Buletin Konsumsi Pangan yang dipublikasikan Kementan, konsumsi beras per kapita tiap minggunya adalah 1,8 kg.

Sejalan dengan perilaku konsumsi beras pada tahun-tahun sebelumnya, Kementan memprediksi penurunan konsumsi beras sebanyak 0,11 persen pada 2020 menjadi 96,94 kg/kapita/tahun. Pada 2021, diprediksi kembali terjadi penurunan konsumsi sebesar 0,05 persen atau menjadi 96,89 kg/kapita/tahun.

Penurunan konsumsi beras Indonesia ini cukup baik untuk mengurangi kemungkinan penduduk terjangkit diabetes. Selain tentunya dapat dilakukan pencegahan lain seperti olahraga, pembatasan asupan kalori dan pengurangan berat badan.

Sejumlah indikator di atas setidaknya mengindikasikan bahwa negara-negara dengan konsumsi beras yang tinggi memiliki risiko menderita diabetes yang juga tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tingginya konsumsi beras di Cina, India dan Indonesia yang berbanding lurus dengan tingginya prevalensi diabetes di negara-negara tersebut.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara