tirto.id - Kebencian terhadap umat Muslim di Amerika Serikat (AS) usai terpilihnya Donald Trump sebagai presiden semakin meningkat. Berdasarkan data Southern Poverty Law Center, jumlah grup anti muslim naik tiga kali lipat dari 34 kelompok menjadi 101 kelompok pada 2016. Southern Poverty Law menyalahkan retorika kebencian Trump sebagai pemicu bertambahnya kelompok rasis dan fasis ini. Imigran, kulit hitam, kelompok LGBT dan muslim merupakan sasaran kebencian itu.
Southern Poverty Law Center juga menyebutkan bahwa pada 2015 ada kenaikan serangan kebencian terhadap Muslim Amerika, ini bersamaan dengan kampanye pencalonan Donald Trump menjadi presiden. FBI merilis data pada 2016 menyebut bahwa ada kenaikan 65 persen serangan terhadap umat Muslim di Amerika pada 2015. Serangan tersebut mulai dari pembakaran masjid di Victoria, Texas, hingga yang terbaru penyerangan terhadap dua gadis Muslim di Portland Oregon. Banyak masyarakat Amerika saat ini terbelah, antara mereka mencurigai Muslim sebagai pelaku teror dan sebaliknya.
Tahun ini lembaga yang fokus pada isu penegakan hukum dan kejahatan berbasis ras Southern Poverty Law Center melakukan pemetaan berdasarkan lokasi serangan. Banyak di antaranya terjadi pada Muslim dan terjadi di tempat-tempat publik di pantai timur. Naiknya Trump, munculnya kelompok radikal kanan, dan retorika kebencian anti Muslim membuat Islam semakin terpojok. Namun, hal ini tidak membuat umat Muslim Amerika diam dan menerima nasib begitu saja. Banyak seniman mulai dari musisi, aktor, hingga komedian muslim Amerika berusaha mengubah stigma buruk Muslim di negaranya.
Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan membuat lelucon dan memperkenalkan kehidupan Muslim sehari-hari. Sejarawan dan penulis kajian agama Reza Aslan menawarkan bahwa orang butuh tayangan televisi yang menggambarkan kehidupan keluarga Muslim modern di Amerika. “Selama ini kita melihat Muslim sebagai penjahat yang meneriakkan Allahu Akbar dan meledakkan dirinya sendiri,” katanya.
Pandangan negatif ini perlu diganti dan menghadirkan realitas yang lebih dekat, bahwa ada Muslim yang kehidupannya biasa saja dan jauh dari kebencian terhadap Amerika. Ia menawarkan bahwa kebencian terhadap Muslim tak bisa diredakan dengan retorika toleransi belaka, tapi juga menunjukkan bahwa muslim, sebagaimana orang Yahudi atau Kristen, memiliki kehidupan yang sama.
Reza Aslan percaya bahwa televisi atau tayangan film tentang Muslim yang baik akan mampu mengubah perspektif masyarakat tentang bagaimana Islam dijalankan. “Cerita memiliki kekuatan untuk menghancurkan tembok-tembok yang memisahkan kita dalam berbagai etnis, berbagai budaya, kebangsaan, ras, dan agama. Cerita menyentuh kita pada level kemanusiaan,” katanya.
Usaha serupa juga dilakukan banyak komedian Muslim. Seperti yang dilakukan oleh Azhar Muhammad Usman, warga negara Amerika yang Muslim lahir di Chicago, Illinois. Ia adalah komedian Amerika keturunan India yang menginisiasi tur komedi yang bertajuk Allah Made Me Funny dan Bin Laughin untuk melawan Islamofobia. Azhar Usman adalah tipikal stereotip muslim yang dianggap teroris di Amerika, ia berjanggut lebat, dengan celak dan wajah yang sangat Arab. Namun, komedinya menjadi penting karena menebas stereotip soal kebencian kepada Muslim.
“Assalamualaikum para pengunjung sekalian, bagi kalian yang tidak mengerti arti kata Assalamualaikum sebenarnya bermakna, 'aku akan membunuhmu',” kata Azhar membuka bit komedi tentang Islam.
Apa yang menjadi candaan Azhar tentu sangat riskan. Bila di Indonesia Azhar barangkali bisa saja dilaporkan ke polisi karena persoalan penghinaan. Di Amerika candaan semacam ini justru jadi sarana dakwah dan pendidikan, karena setiap lelucon yang dibuat Azhar tentang ajaran Islam, ia langsung menjelaskan makna sebenarnya. Dari situ lah komunikasi dibangun dan mereka yang selama ini membenci Muslim bisa lebih paham.
Ada pula Negin Farsad Muslim Amerika keturunan Iran yang lahir di New Haven Connecticut, Ia seorang komedian dan produser film dokumenter yang membuat banyak film tentang isu-isu minoritas. Salah satu tayangan yang membuatnya dikenal adalah film dokumenter terkait pertunjukan komedi yang dipentaskan oleh Muslim Amerika yang berjudul The Muslims Are Coming! Film ini merupakan catatan bagaimana komedian Muslim Amerika Dean Obeidallah dan Negin Farsad melawan Islamofobia.
Film dokumenter ini dibuka dengan montase dari televisi dan klip radio dari berbagai tokoh anti Muslim seperti Ann Coulter, Bryan Fischer, Pat Robertson, Glenn Beck, Bill O'Reilly, Bill Maher, dan Donald Trump yang menunjukkan rasa takut terhadap umat Muslim dan ketidakpercayaan kepada Muslim. Para komedian ini mengunjungi kota-kota seperti Columbus, Georgia dan tampil di sebuah bar. Di kota Lawerenceville, Georgia misalnya mereka membuka booth Ask a Muslim, di pusat kota, lalu di Islamic Center of Columbus atau Masjid Al Jannah mereka berbuka puasa. Semua itu dilakukan untuk menunjukkan bagaimana Muslim hidup dan berinteraksi seperti orang kebanyakan pada umumnya.
Salah seorang komedian Amerika yang kemudian juga berusaha memperjuangkan toleransi dan melawan Islamofobia adalah Azis Ashari. Ia adalah komedian keturunan Muslim Tamil India yang pada Januari lalu membuat monolog tentang Trump dengan sangat baik. Ia membuka lelucon monolog itu dengan ajakan untuk tidak membenci 63 juta orang pendukung Trump sebagai rasis yang misoginis, karena bisa jadi mereka hanya ingin mendukung kebijakannya. “Seperti orang yang mendengarkan Chris Brown,” katanya.
Chris Brown adalah musisi yang dikenal sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan (misoginis) dan dibenci karena tindakannya yang tak merasa bersalah. Ia lantas menunjukkan sebagian pendukung Trump bisa bebas jadi rasis tanpa takut dipenjara, seolah dengan kemenangan Trump memberikan mereka hak untuk melakukan sweeping, menciduk orang karena postingan di medsos, atau menyebarkan data pribadi musuhnya di media sosial.
Azis Ansari tidak sendiri dalam perang menggunakan komedi untuk melawan Trump. Baru-baru ini Hasan Minhaj menghancurkan citra, kredibilitas, dan retorika Trump di Gedung Putih. Di rumah tinggal Trump sendiri. Ia menyebut bahwa seorang Muslim, minoritas, kulit coklat berdiri di hadapan pers, di gedung putih untuk membuat lelucon tentang presiden rasis di Amerika barangkali adalah mimpi yang mustahil terjadi jika tak ada kebebasan berpendapat.
Minhaj, Azis Ansari, dan Riz Ahmed (aktor Star Wars Rogue One) adalah generasi baru kulit coklat yang muncul di industri Amerika. Mereka seakan mewakili wajah kaum Muslim yang tidak hanya modern, tapi juga terdidik, dan mapan. Mereka juga menghancurkan stereotip Muslim sebagai sosok yang selalu kaku, anti perubahan, dan marah.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra