Menuju konten utama

Kisah Narkoba di Jakarta Tempo Dulu

Pada debat final, ketiga calon gubernur menyebut-nyebut narkoba sebagai salah satu masalah serius DKI Jakarta. Bagaimana sejarahnya?

Kisah Narkoba di Jakarta Tempo Dulu
Pecandu opium masyarakat Jawa tempo dulu. FOTO/KITLV

tirto.id - Saat ini madat alias candu alias narkoba adalah masalah serius yang membuat pusing banyak pihak. Termasuk pemerintah. Namun, di masa lalu, pemerintah kolonial justru menjadikannya komoditas legal. Sebelum Tanam Paksa berperan sebagai penghasilan utama, candu pernah menjadi penyumbang penting kas pemerintah kolonial.

“Hampir 12 persen dari pendapatan pemerintah kolonial berasal dari monopoli opium dalam kurun waktu 1827 hingga 1833,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008).

Menurut R.P. Suyono dalam Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial (2005), pemerintah ikut menentukan aturan main dan siapa saja yang boleh menjualnya kepada masyarakat. Pemerintah melokalisasi para pecandu, termasuk di tangsi militer. Jangan kaget, sebanyak 60 persen sersan serdadu kolonial dari suku Jawa adalah pemakai candu.

Gambaran para penghisap candu itu mudah ditemui dalam film-film dengan latar zaman kolonial Belanda. Misalnya film Krakatoa (2006). Orang-orang Tionghoa dan pribumi di film itu diperlihatkan sedang memakai candu. Sementara, orang Belanda memungut dari orang Tionghoa yang berdagang candu. Di negeri Belanda sendiri, zaman sekarang, ganja legal di kawasan tertentu. Tentu saja lokalisasi ini memudahkan kerja aparat dalam memantau peredarannya.

Warisan kolonial dari candu adalah sebuah gedung yang kini menjadi bagian dari Universitas Indonesia di Salemba. Menurut Aboe Bakar Loebis, dalam memoarnya Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi (1992), di sebelah kiri gedung yang kini milik UI itu terdapat pabrik candu. Namun, pabrik itu tak berfungsi sejak pendudukan Jepang. Candu yang tersimpan akhirnya menjadi komoditas yang dijual untuk dana revolusi kemerdekaan Indonesia.

Di manakah tempat lokalisasi untuk mencandu? Menurut Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe, dulu ada jalan kecil bernama Gang Madat di daerah Jalan Gajah Mada. Inilah tempat orang-orang mengisap narkoba. Nama itu bertahan hingga tahun 1950-an. Setelah Indonesia merdeka, namanya diubah jadi Jalan Kesejahteraan dan Jalan Keselamatan.

Setelah revolusi kemerdekaan pula, menurut Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan tentang produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance), yang mengatur wewenang soal narkoba ada pada Menteri Kesehatan (State Gaette No.419, 1949).

Pada era 1970an, mariyuana alias ganja jadi narkoba yang banyak dipakai di kalangan pengguna. Tanaman-tanaman jenis ini mudah ditemukan di Indonesia. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Purwokerto, setidaknya sudah ditemukan tanaman-tanaman ganja.

Mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso dalam memoarnya Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993) yang ditulis tim Ramadhan KH, berpendapat bahwa band pop kelas dunia macam The Beatles dan Rolling Stones, yang personelnya banyak dikenal sebagai pemakai narkoba, adalah salah satu dari sekian biang kerok penggunaan narkoba.

INFOGRAFIK INDONESIA MELAWAN NARKOBA

Pada tahun 1969-1970an, “ancaman narkotika dirasa amat serius karena penyanyi pop zaman itu—dari The Beatles dan Rolling Stones—dikenal sebagai para pecandu mariyuana (ganja). Gebrakan musik mereka berbarengan dengan potongan rambut gondrong yang mewabah di dunia, rupanya dibarengi pula dengan kesukaan terhadap narkotika," demikian tertulis dalam biografi Hoegeng. "Beberapa lagu hit The Beatles dari Inggris bahkan konon dibuat dalam dan melukiskan suasana fly (mabuk) para pecandu narkotika."

Menurut Hoegeng, beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat sudah sangat mengkhawatirkan peredaran narkotika. “Ancaman narkotika bagi anak-anak muda Indonesia di kota besar bersumber dari situasi global dunia remaja di satu pihak dan kenyataan-kenyataan lokal di Indonesia.”

Ketika Hoegeng menjabat kapolri, dia pernah menemukan bocah pecandu yang biasa membeli rokok mariyuana yang dijual pedagang rokok secara diam-diam. Hoegeng semula mengira bahwa bocah itu anak pejabat sekelas pemda atau dirjen. Namun, Hoegeng kaget, ternyata si bocah anak menteri.

Setelah Hoegeng tak lagi menjabat kapolri, narkoba jalan terus. Jenisnya bukan lagi mariyuana atau ganja. Ada heroin, ekstasi, putaw, sabu-sabu, juga LSD. Narkoba-narkoba itu beredar dalam berbagai cara. Termasuk yang datang dari luar negeri. Bahkan, ada pabrik narkoba ditemukan di Tangerang, kota satelit Jakarta, oleh aparat kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani