tirto.id - Pernyataan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Margiono dalam sambutan peringatan Hari Pres Nasional (HPN) 2018 yang meminta masyarakat Sumatera Barat untuk memberikan dukungan kepada Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019 menuai kritik. Ungkapan itu dinilai mencederai insan pers yang seharusnya netral dan independen.
Margiono memang selalu hadir dalam peringatan HPN yang diperingati setiap 9 Februari. Sejak 2013, terhitung sudah 6 kali Margiono menjadi penanggung jawab acara tahunan ini, yaitu: 4 di antaranya dihadiri Presiden Jokowi, sedangkan 2 lainnya dihadiri Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, pada peringatan HPN 2018, Margiono justru mengeluarkan pernyataan yang memunculkan polemik. Misalnya, saat Margiono menyentil kehadiran Jokowi ke acara HPN 2018, yang sekaligus memberikan banyak proyek pembangunan kepada masyarakat Sumatra Barat.
“Kalau Presiden sudah kasih banyak untuk Sumbar, lalu Sumbar kasih apa untuk Presiden? Kasih suara banyak untuk tahun 2019,” kata Margiono yang disambut tepuk meriah pengunjung acara puncak HPN 2018 itu, dilansir laman setkab.go.id.
Menanggapi polemik yang terjadi, Margiono justru mengaku tidak merasa mengeluarkan ajakan bagi masyarakat untuk mendukung atau memilih Jokowi pada Pilpres 2019. Menurut dia, pernyataannya itu hanya sebagai doa dan harapan agar Presiden Jokowi hadir 6 kali lagi dalam HPN hingga tahun 2024.
“Enggak ada. Pernyataan [minta dukungan] itu enggak ada, kok,” kata Margiono saat dihubungi Tirto, Sabtu (10/2/2018). “Doa itu bukan nyuruh orang untuk milih,” kata dia menambahkan.
Margiono beralasan, permintaan agar Jokowi hadir 6 kali lagi tidak harus dalam posisinya sebagai Presiden. Akan tetapi, ia mengaku salah satu harapannya adalah Jokowi tetap menjadi Presiden.
“Ya terserah. Orang menafsirkan macam-macam, kan. Tapi saya mendoakan dia tetap sebagai Presiden. Kan boleh kalau mendoakan,” kata Margiono menjelaskan maksud pernyataannya saat memberikan sambutan di acara HPN 2018 yang dihadiri Jokowi.
Pada Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla memang babak belur di Sumatera Barat. Saat itu, Prabowo Subianto – Hatta Rajasa memperoleh 76,9 persen suara, sedangkan Jokowi-JK hanya 23,07 persen suara. Setelah terpilih, Presiden Jokowi pun tercatat sudah 3 kali mendatangi Sumbar sejak 2014. Sebanyak 8 dari 19 kabupaten atau kota di Sumbar sudah ia kunjungi.
Margiono mengklaim, pemerintahan Jokowi-JK sudah memberi banyak bantuan bagi Sumatera Barat. Margino tidak menampik tudingan bahwa ia meminta rakyat Sumbar berterima kasih kepada Presiden Jokowi. Salah satu cara yang dianjurkan Margiono adalah dengan memberikan suara.
Kendati demikian, Margiono menjelaskan ‘suara’ yang ia maksud tidak spesifik untuk Pilpres 2019. “Ya bisa suara doa, bisa suara yang baik, dukungan juga boleh. Tapi ‘kan saya engga nyuruh,” kata Margiono kembali menjelaskan soal pernyataannya.
Tak hanya itu, Margiono bahkan tidak khawatir dengan pandangan masyarakat terhadap PWI yang ia pimpin. Menurut dia, bukan karena sikapnya tak mewakili PWI, akan tetapi tidak ada media yang netral dalam politik. Margiono berpendapat, media dan wartawan berhak untuk menentukan sikapnya.
“Berita itu boleh memihak kok. Asalkan diyakini bahwa itu benar. Itu independen. Pengertian indenpenden itu bukan berarti tidak boleh ke kiri, tidak boleh ke kanan. Independen itu adalah mengambil keputusan berdasarkan hati nurani, berdasarkan itu yang dia pertimbangkan benar,” kata dia.
Ketika ditanyakan terkait pernyataannya yang meminta suara kepada warga Sumbar sudah dipertimbangkan sesuai hati nuraninya, Margiono menegaskan “Sudah dipertimbangkan dengan hati nurani. Pak Jokowi sudah memberi banyak, jadi wajar dong masyarakat Sumbar berterima kasih kepada Pak Presiden.”
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan mengatakan, penyampaian sikap politik adalah hak pribadi yang harusnya dihormati. Namun, kata Manan, sebagai ketua organisasi wartawan, Margiono harusnya memahami posisinya.
“Pernyataan itu akan memberi kesan tidak baik bagi wartawan, meski itu hanya ucapan Ketua PWI,” kata Manan kepada Tirto, Sabtu kemarin.
Menurut Manan, Margiono memang tak bisa dikatakan mewakili seluruh individu wartawan di Indonesia, tetapi seharusnya pernyataan politik bisa dihindari. Alasannya, kata Manan, pernyataan Margiono itu bisa memberi dampak buruk kepada wartawan secara keseluruhan.
“Orang awam akan mengesankan bahwa wartawan sudah tidak independen dan memberikan dukungan kepada figur tertentu dalam pemilihan Presiden. Kalaupun pernyataan itu bernada candaan, itu gurauan yang berisiko dan tidak baik bagi citra wartawan,” kata Manan.
Usaha Memberhentikan Margiono dari Posisi Ketua PWI
Manan menuturkan, Dewan Pers sebenarnya sudah mengatur bagaimana seorang wartawan jika berpolitik. Dalam kasus Margiono, kata dia, pernyataan mendukung Jokowi bisa dijadikan sarana mencari dukungan untuk dirinya yang saat ini maju sebagai kandidat bupati di Pilkada Tulungagung 2018.
Menurut Manan, mencari dukungan politik itu merupakan hak seseorang, termasuk Margiono. Akan tetapi, kata dia, dukungan itu tidak seharusnya didapat dengan memanfaatkan posisinya sebagai Ketua PWI pada acara HPN.
“Dewan Pers sudah membuat edaran yang meminta wartawan yang berpolitik, baik jadi calon legislatif atau tim sukses, untuk mundur. Kalau dia menghormati dan menjaga citra profesi ini, sebaiknya seruan DP itu diikuti dengan mundur dari jabatannya,” kata Manan.
Apabila Margiono berani mundur, Manan menilai, tindakan itu lebih bijaksana dan bisa mempertahankan nama baik pribadi maupun nama baik institusi PWI. Meski begitu, kata Manan, sifat imbauan Dewan Pers tidak cukup kuat untuk menurunkan Margiono.
Ia hanya bisa berharap Dewan Pers bertindak tegas dan memberikan teguran. “Dewan Pers memang tidak punya kewenangan langsung untuk menegur. Tapi Dewan Pers punya hak moral untuk melakukannya demi nama baik citra dan profesi,” kata dia.
Ketika Margiono mendaftar sebagai peserta calon Bupati Tulungagung, Dewan Pers sudah mendapat sorotan dari masyarakat. Kala itu, Yosep Adi Prasetyo alias Stanley sebagai Ketua Dewan Pers sempat menyatakan bahwa wartawan dilarang berpolitik, tetapi pemimpin umum dan pemimpin perusahaan dipersilakan bergabung dengan partai politik.
Ia menegaskan, ruang redaksi tetap harus dipisahkan dengan politik. Stanley menilai bahwa Margiono lebih baik cuti sementara atau keluar dari kepengurusan PWI. Namun, sampai sekarang hal itu tidak pernah terealisasi.
“Saya mendukung beliau untuk menjadi Bupati Tulungagung, makanya saya meminta dari beliau untuk non-aktif, baik dari PWI maupun ketua penyelenggara HPN 2018,” kata Stanley.
Mantan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan memperkuat pernyataan Stanley. Anggota Dewan Etik Asosiasi Media Siber Indonesia ini mengatakan, Margiono memang tidak melanggar undang-undang, tetapi lebih pada pelanggaran etika.
“Etika itu justru kedudukannya bisa jauh lebih tinggi dari sekadar undang-undang atau produk hukum lain,” kata Bagir.
Saat masih menjabat Ketua Dewan Pers, Bagir memang sengaja membuat surat rekomendasi bahwa ketika wartawan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, presiden, ataupun kepala daerah, seharusnya mundur dari jabatan di dunia pers atau kewartawanan, termasuk posisi Ketua PWI, demi menjaga independensi medianya.
Sayangnya, meski sudah diingatkan, Margiono beralasan penetapannya sebagai calon Bupati Tulungagung adalah pada tanggal 13 Februari, setelah HPN selesai. Margiono juga merasa kepengurusannya harus dituntaskan hingga HPN. Namun, Bagir beranggapan sebaliknya. Menurut dia, banyak anggota di PWI yang dianggap bisa menggantikan tugas Margiono.
Bagir kemudian menjelaskan bahwa posisi Margiono sudah digantikan oleh Sasongko Tedjo secara resmi per 12 Februari mendatang. Hal itu ditentukan dalam rapat PWI Pusat di Padang setelah HPN selesai dilaksanakan.
“Pergantian itu sudah tak terlalu penting, karena bagi Margiono pokoknya dia masih bisa pidato di depan Presiden, dengan menyampaikan dukungan. Itu pesannya,” kata Bagir.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz