Menuju konten utama

Ketua Baleg DPR: Semua Fraksi Menolak Pembahasan Khusus LGBT

Taufiqulhadi, anggota Panja RUU KUHP dari Fraksi Nasdem, menyebut Zulkifli Hasan tidak mengerti apa-apa.

Ketua Baleg DPR: Semua Fraksi Menolak Pembahasan Khusus LGBT
Ketua MPR Zulkifli Hasan melambaikan tangan dari mobil usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana, Jakarta, Selasa (18/7). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

tirto.id - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Bambang Soesatyo buka suara terkait pernyataan Ketua MPR sekaligus Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan yang menyatakan ada lima fraksi di DPR yang menyetujui soal Rancangan Undang-Undang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (RUU LGBT).

Bamsoet, sapaan akrab Bambang, menegaskan tidak ada pembahasan secara khusus mengenai RUU LGBT di DPR. Namun demikian, kata dia, masalah LGBT ini memang menjadi salah satu poin yang dibicarakan Komisi III DPR dalam rangka pembahasan RUU KUHP.

“Bahkan itu adanya di satu pasal pembahasan RUU KUHP,” kata Bamsoet, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin (22/1/2018).

Mantan Ketua Komisi III DPR ini pun menyatakan, semangat seluruh fraksi dalam pembahasan RUU KUHP menolak LGBT dan mendukung adanya perluasan pemidanaan perzinahan. “Tidak hanya pencabulan terhadap anak di bawah umur, tapi juga hubungan sesama jenis dapat dikategorikan sebagai tindakan asusila,” kata politikus Golkar ini.

Hal senada juga disampaikan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo. Menurut dia, dari 50 RUU yang masuk Prolegnas 2018 tidak ada pembahasan secara khusus mengenai LGBT dan perkawinan sejenis, seperti yang diungkapkan oleh Zulkifli.

Firman justru menyatakan, seluruh fraksi justru menolak adanya pembahasan khusus mengenai LGBT di DPR. “RUU LGBT bahkan ditolak seluruh fraksi masuk dalam prolegnas, baik yang prioritas ataupun jangka menengah,” kata Firman di kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2018).

Karena, kata Firman, DPR dalam membahas RUU sangat berhati-hati. Tidak semua masukan dari masyarakat atau kelompok masyarakat dapat dibahas untuk menjadi undang-undang. Terutama hal yang sensitif, seperti masalah LGBT.

PAN Disebut Tak Pernah Hadir Pembahasan RUU KUHP

Mengenai hal ini, anggota Panja RUU KUHP dari Fraksi Nasdem, Taufiqulhadi menyatakan, pernyataan Zulkifli hanyalah rekaan semata. “Dia [Zulkifli] tidak mengerti apa-apa. Karena fraksinya tidak pernah ikut rapat,” kata Taufiqulhadi kepada Tirto, Senin (22/1/2018).

Taufiqulhadi menjelaskan, dalam pembahasan RUU KUHP seluruh fraksi yang hadir dalam rapat menyetujui LGBT masuk ke dalam pasal pencabulan. Sementara, pasangan di atas usia 18 tahun yang melakukan kumpul kebo, baik heteroseks maupun homoseks, dapat dipidanakan apabila mengganggu ketertiban masyarakat.

“Itu persoalan moral. Kalau melakukan di muka umum, maka akan dipidana. Kalau dia menyebarkan video, itu juga akan dipidanakan. Baik pelaku, maupun penyebar videonya,” kata Taufiqulhadi.

Sebaliknya, kata Taufiqulhadi, kumpul kebo baik yang dilakukan oleh homoseks maupun heteroseks dalam ruang privat tidak bisa dipidanakan. Alasannya, karena di ruang privat tidak bisa diketahui apa yang sedang dilakukan.

“Kalau demo seperti di negara Barat, mereka demo di depan umum sambil berciuman sesama jenis, itu bisa dipidanakan,” kata Taufiqulhadi.

Meski begitu, Taufiqulhadi menyatakan Nasdem menolak tegas adanya legalisasi LGBT di Indonesia. “Misalnya perkawinan sesama jenis, atas hukum, itu tidak bisa. Kami akan menentang habis-habisan,” kata Taufiqulhadi.

Dalam hal ini, Taufiqulhadi menyatakan, pada 29 Januari 2018 sejumlah fraksi di Panja RUU KUHP DPR akan mengadakan rapat kerja untuk membahas pasal khusus mengenai LGBT. “Nanti kami akan bikin pasal. Tapi, seluruh fraksi suaranya menolak LGBT. Nasdem akan berada di garis terdepan mengenai hal itu,” kata Taufiqulhadi.

Secara terpisah, Sekretaris Fraksi PAN, Yandri Sutanto membantah tudingan bahwa fraksinya tidak pernah ikut rapat Panja KUHP. “Kami tidak hadir itu di tim perumus,” kata Yandri, di Ruang Fraksi PAN, Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2018).

Menurut Yandri, dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdapat beberapa tingkatan pembahasan undang-undang. Materi pokok dari pendahuluan sampai batang tubuh dibahas secara mendalam antara pemerintah dan DPR melalui Panja atau Pansus.

“Namanya bisa raker [rapat kerja] untuk membahas pasal per pasal atau kluster demi kluster,” kata Yandri.

Setelah itu, masuk ke dalam pembahasan tim perumus dan tim sinkronisasi. Di tahap ini, menurut Yandri, tidak melibatkan menteri, tapi hanya setingkat dirjen. Sementara anggota Panja atau Pansus hanya salah satu pimpinan saja yang terlibat. Di tahap ini pula, kata Yandri, tidak boleh mengubah isi pokok pembahasan.

Saat ini, kata Yandri, RUU KUHP sudah sampai pada tahap tim perumus dan tim sinkronisasi. Sehingga, tidak benar bila tidak hadirnya PAN dianggap sebagai ketidakikutsertaan dalam pembahasan RUU KUHP, utamanya pembahasan soal LGBT.

“PAN dari awal sudah sepakat tegas menolak LGBT itu. Dan pelakunya harus ditindak tanpa mengenal umur. Jadi kami sangat concern pada RUU KUHP khususnya soal LGBT,” kata Yandri.

Hal yang sama juga disampaikan oleh anggota Panja RUU KUHP Fraksi PAN, Daeng Muhammad. Menurut dia, PAN sudah mengutus anggota fraksi Muslim Ayub untuk menjadi perwakilan di Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU KUHP.

“Ketidakhadiran Muslim Ayub tidak berkorelasi akan berhubungan apakah PAN menolak atau tidak menolak. PAN sudah jelas menolak keras LGBT. Tidak ada korelasi kehadiran dengan sikap politik fraksi PAN,” kata Daeng dalam kesempatan yang sama.

Sementara itu, Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengatakan, wacana DPR untuk memperluas delik terhadap “kumpul kebo” dan LGBT sama saja membuka ruang bagi aksi-aksi persekusi lebih luas.

"Ini memberikan legitimasi untuk melakukan hal tersebut [persekusi] lagi," kata Arsil kepada Tirto.

Selain itu, menurut dia, perluasan delik “kumpul kebo” dan LGBT bukti bahwa pemerintah terlalu jauh mengurusi persoalan privat warga negara. Seharusnya, kata Arsil, pemerintah tidak perlu mengurus hal ini, apalagi sampai memidanakan mereka yang melakukan perbuatan tersebut.

"Apakah 'bagaimana warga negara akan menggunakan anggota tubuhnya sendiri' perlu diatur-atur negara? Negara boleh saja tidak mengakui perkawinan sesama jenis, namun tidak bisa memidana orang yang memiliki orientasi seks berbeda,” kata dia. Menurut Arsil, jika DPR tetap ngotot memperluas delik LGBT dan “kumpul kebo”, kata Arsil, maka sebaiknya mereka juga memidanakan orang-orang yang masturbasi karena juga menyalahi nilai agama.

"Tidak semua perbuatan yang menurut agama dan moral tidak baik itu dapat dan perlu dipidana. Kalau iya, ya, sekalian saja pidanakan [pelaku] masturbasi," katanya.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani