Menuju konten utama

Kemewahan Menginap di Pyongyang

Bagaimana rasanya menginap di hotel terbesar nomor dua di Korea Utara?

Kemewahan Menginap di Pyongyang
Lobi Koryo Hotel di Pyongyang. FOTO/alamy

tirto.id - Geliat politik di semenanjung Korea semakin menarik untuk disimak. Saat Korea Utara dianggap punya potensi untuk memantik perang besar, Amerika Serikat dan Cina sama-sama mengirimkan pasukan ke negara itu. Dua negara besar yang berkuasa di dunia itu kini mencoba untuk meredam aksi Korea Utara.

Aksi Korea Utara memang selalu memancing keingintahuan. Ketertutupan negara yang dipimpin Kim Jong Un itu justru membuat orang penasaran tentang kondisi Korea Utara yang sesungguhnya.

Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari tentang Korea Utara, misalnya tentang bagaimana mereka bersikap kepada Supreme Leader Kim Jong Un dan berbagai capaian penting misil mereka yang konon bisa membuat Korea Selatan dan Jepang ketar-ketir. Tapi Korea Utara bukan hanya tentang uji coba misil antar benua, atau segala mitos tentang Kim Jong Il, beberapa waktu lalu Bloomberg menurunkan laporan tentang Koryo Hotel, sebuah landmark penting yang ada di negara itu, hotel terbesar dan termewah kedua di Korea Utara.

Terletak di dekat stasiun Pyongyang, Hotel Koryo merupakan gedung kebanggaan pemerintah Korea Utara. Bergaya soviet dan baru saja direnovasi pada 2016 lalu, hotel ini menjadi salah satu tempat menginap banyak wisatawan atau diplomat asing selama di negara itu. Hotel Koryo memiliki dua menara kembar setinggi 143 meter dan 43 Lantai. Hotel ini selesai dibangun pada 1985 di bawah Kim Il Sung, dan dibuat sebagai simbol "Keperkasaan dan kedigdayaan Korea Utara". Renovasi terakhir memperbaiki tiga lantai utama hotel ini, meski menurut laporan Bloomberg, kamar hotel masih tetap sama seperti pertama kali dibangun.

Hotel Koryo terkenal di kalangan pebisnis asing, warga elit setempat, diplomat, dan mereka yang mampu membayar hotel dengan harga mahal. Secangkir cappuccino di lobi hotel seharga tujuh dolar, sementara kamar termurah di tempat ini senilai 100-120 dolar semalam. Dengan harga itu, anda bisa menikmati fasilitas seperti kolam renang dalam ruangan, sauna, tempat makan eksklusif seperti restoran dengan pandangan eksklusif ke segala penjuru Pyongyang.

Infografik Koryo Hotel

Yusi Avianto Pareanom, penulis dan editor yang tinggal di Depok, pernah menginap di hotel ini. Pada 2009, ia diminta Kementerian Budaya dan Pariwisata untuk menulis buku yang berkisah tentang persahabatan Indonesia dan Korea Utara. “Yang diinapkan di sini sepertinya yang dianggap pejabat atau datang untuk urusan resmi karena rombongan seniman yang datang bersama saya, musisi Dwiki Dharmawan dan grupnya serta penari Didik Nini Thowok, menginap di hotel lain,” katanya.

Dwiki Dharmawan dan Didik Nini Thowok tampil dalam acara Festival Musim Semi pada 2009, sementara Yusi mendapatkan keistimewaan untuk bisa berjalan-jalan keliling Korea Utara untuk bahan tulisannya. Ia menuturkan, hotel Koryo terdiri atas dua menara kembar sehingga gampang dikenali. Lokasinya strategis, di pusat kota. Hotel ini memiliki beberapa rumah makan yang interiornya bakal membawa pengunjung ke suasana '60-an atau '70-an dan toko cendera mata. “Tamu asing hanya boleh membeli dalam mata uang asing. Lobinya luas, diupayakan gemerlap, tapi pucat dan terasa sekali jadulnya jika dibandingkan dengan hotel-hotel besar di Indonesia,” kata dia.

Menurut Yusi pengalaman dan kesempatan untuk bisa mengunjungi Korea Utara adalah kemewahan yang tidak semua orang miliki. “Saya kira fakta bahwa saat itu saya bisa di Pyongyang sudah membuat semua pengalaman luar biasa,” katanya. Itu mengapa tinggal dan menginap di Hotel Koryo nyaris ajaib. Ia menjelaskan saat menginap di hotel itu ada banyak tamu asing. “Tetangga kamar waktu itu adalah inspektur PBB untuk senjata nuklir kalau tak salah. Para pejabat asing juga menginap di sana,” katanya.

Yusi menjelaskan bahwa koridor di lantai tempat ia menginap minim sekali penerangannya. “Mau bagaimana lagi, di Korea Utara krisis (energi) berkepanjangan. Jadi, lebih banyak gelapnya ketimbang terangnya pada malam hari,” katanya. Akibatnya, sekalipun jalan di depan hotel dan jalan-jalan besar lain berpenerangan, jalan-jalan lain yang bisa kita lihat dari kamar hotel, gelap belaka. Pyongyang, sebagai kota panggung, tidak didukung oleh pendanaan yang memadai.

Mengenai pelayanan dari Hotel Koryo sendiri tidak terlalu istimewa. Yusi menjelaskan bahwa kamar yang ia pakai sederhana saja, ada televisi dengan kurang dari sepuluh saluran, salah satunya BBC. Ini suatu fakta yang dianggap kemajuan untuk orang yang beberapa kali datang ke sana. Sarapan disediakan setiap hari. Ada menu Barat dan menu Korea. “Yang menarik, di setiap restoran yang saya kunjungi, es krim sebagai makanan penutup sepertinya menjadi kelaziman, termasuk waktu sarapan,” kata Yusi.

Tripadvisor, salah satu situs review hotel dan perjalanan dunia, memberikan penilaian 3,5 dari lima skor. Ada 162 review Hotel Koryo di situs itu, sebagian besar memuji dan memberikan nilai positif. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa desain dan arsitektur ala perang dingin yang ada membuat hotel itu seperti mesin waktu. Terperangkap dalam satu periode zaman tanpa bisa maju ke depan. Banyak pengguna menyarankan untuk tidak berjalan sendirian di hotel itu tanpa pengawasan, karena banyak daerah yang masih tertutup untuk umum. Seorang pengguna tripadvisor menyarankan siapapun yang menginap di hotel itu untuk mencoba bir yang dijual.

Yusi menyebut ia mendapatkan kemewahan yang tak diperoleh banyak orang. Saat menulis tentang pemerintah Korea Utara, ia mendapatkan mobil dengan tiga orang pendamping yang mengantar Yusi ke mana saja tiap harinya. Tiga orang ini adalah pengemudi, penerjemah, dan satu orang lagi dari Kemenlu Korea Utara. “Ketiga orang ini tidak saling mengenal sebelumnya. Ini praktik standard, jadi selain melayani dan mengawasi saya, mereka juga ditugaskan saling mengawasi,” katanya.

Yusi menjelaskan tiga orang ini selalu siaga penuh selama ia di sana. Jadi, setelah hampir dua pekan dan hubungannya dan ketiga orang itu sudah terbentuk, suatu malam si penerjemah meminta izin kepada Yusi untuk pulang sebentar ke rumahnya. “Mungkin ia kangen istrinya. Ia minta agar saya tak ke mana-mana sehingga ia bakal kerepotan nanti. Yang pasti, ketiga orang itu tak keberatan jika saya dijemput kawan-kawan Kedubes RI. Yang tidak boleh adalah jalan sendiri,” katanya.

Selama di Korea Utara, kegiatan Yusi nyaris selalu dimonitor. Meski demikian, ia masih bisa mencuri kesempatan untuk iseng melihat-lihat ke luar hotel. Misalnya ke para tukang penjual makanan di depan hotel, toko-toko, atau yang lain. “Tapi, ya tidak bisa terlalu jauh, karena si penerjemah biasanya tergopoh-gopoh menyusul. Sepertinya, ada orang di lobi yang selalu melapor ke dia. Lagi pula, tampang saya dengan misai dan jenggot saat itu mudah dikenali, pria Korea Utara tak gemar atau mungkin dilarang memelihara rambut wajah,” jelas Yusi.

Baca juga artikel terkait KOREA UTARA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Marketing
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti