Menuju konten utama

Kedaulatan RI di Balik Nasionalisasi Perusahaan Belanda

Sengketa Irian Barat dan dominasi ekonomi Belanda pada 1950-an bikin kalangan nasionalis marah.

Kedaulatan RI di Balik Nasionalisasi Perusahaan Belanda
Ilustrasi Nasionalisasi Perusahaan Belanda. tirto.id/Lugas

tirto.id - Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 meninggalkan dua “bom” yang mengganjal Indonesia selama dekade 1950-an.

Bom pertama adalah klausul yang mempertahankan penguasaan Belanda atas Irian Barat sampai ada perundingan-perundingan lebih lanjut soal statusnya. Indonesia dan Belanda memang bertemu lagi di meja perundingan untuk menyelesaikan masalah ini, tapi hasilnya buntu.

Gara-gara itu, pada Agustus 1954, Uni Indonesia-Belanda yang diamanatkan KMB bubar.

“Indonesia gagal dalam usahanya supaya suatu mosi yang lunak mengenai Papua diterima oleh PBB pada bulan yang sama,” tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008).

Indonesia kembali membawa sengketa ini ke PBB pada tahun berikutnya. Hasilnya tak seberapa memuaskan, hanya resolusi yang menyatakan harapan PBB agar perundingan Indonesia dan Belanda berhasil baik. Perundingan memang dibuka kembali, tapi pada Desember 1956 macet lagi.

Pada tahun berikutnya Indonesia mencoba lagi membawa sengketa ini ke forum Majelis Umum PBB. Kali ini dengan penekanan lebih kuat, hampir serupa ultimatum. Jika tak digubris, Indonesia memilih untuk ambil “jurusan lain” untuk menyelesaikan sengketa.

“Masalah Irian Barat demikian mudahnja. Persoalan satu2nja ialah apakah PBB merupakan tempat dimana dapat diambil keputusan mengenai itu, ataukah kita harus mengambil djurusan lain, bahkan dengan djalan mengambil risiko memburukkan keadaan di Asia Tenggara dan mungkin memberikan kesempatan kepada ketegangan2 perang dingin untuk lebih mengeruhkan perdamaian dibagian dunia itu,” seru Menteri Luar Negeri Subandrio di muka sidang Majelis Umum PBB pada 3 Oktober 1957 (Indonesia Raya, 5/10/1957).

Di Indonesia, suasana menghangat. Sentimen anti-Belanda tiba-tiba meningkat dan bahkan lebih gamblang dari sebelumnya. Seperti usai peringatan Sumpah Pemuda di Istana Negara, beberapa kantor perusahaan besar Belanda di Jakarta seperti Nationale Handels Bank dan maskapai penerbangan KLM dirisak.

Dinding dan tembok kantor itu dicoreti dengan nada provokatif. “USIR BELANDA!”, “USIR BELANDA DARI IRIAN BARAT!” Atau, “PEMUDA2, PANGGUL SENDJATA REBUT IRIAN BARAT!”

Kendaraan warga Belanda, kios bensin, dan bahkan toko buku seperti Van Dorp dan Kolff pun terjamah aksi vandalisme berselimut sentimen nasionalistik itu.

"Gerakan menulis sembojan2 diatas diadakan dalam rangka pekan Irian Barat jang sedang hangatnja menjala sedjak peringatan di Istana Negara itu, dan dibitjarakannja masalah Irian Barat dalam sidang madjlis umum PBB sekarang ini,” lapor harian Indonesia Raya (29/10/1957).

Tekanan-tekanan macam itu rupa-rupanya tak mempan jua menyedot perhatian PBB, apalagi Belanda. Pada 29 November, Indonesia gagal memperoleh suara mayoritas di PBB untuk mendesak Belanda berunding.

Kecewa dan kehabisan opsi, pemerintah Indonesia berbelok ke “jurusan lain” yang sebelumnya didengungkan Subandrio.

“Gagalnya resolusi PBB tersebut secara langsung mengakibatkan terjadinya ledakan radikalisme anti-Belanda yang dikobarkan oleh Sukarno. Pagi, 3 Desember, serikat-serikat buruh PKI dan PNI mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda,” tulis Ricklefs.

Gonjang-ganjing itu kian panas bersamaan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Tak habis di situ, hanya berselang beberapa hari, sekira 46.000 orang Belanda diusir dari Indonesia.

Hari-hari ini, momen bersejarah itu lazim disebut peristiwa nasionalisasi.

Bukan Spontanitas Belaka

Meski demikian, nasionalisasi sebenarnya tak sesederhana ekses dari kekecewaan belaka. Sebelum jadi alat penekan Belanda, isu ini sudah tumbuh sejak awal 1950-an di kalangan buruh dan golongan kiri. Pemerintah justru semula tak terlalu menaruh perhatian.

Nasionalisasi berkaitan pula dengan “bom” kedua peninggalan KMB: klausul tentang jaminan terhadap kelangsungan bisnis Belanda di Indonesia.

Klausul ini membikin kedaulatan politik Indonesia jadi semu. Perusahaan-perusahaan Belanda masih bisa bebas di Indonesia dan bahkan tetap jadi pemain utama.

Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, korporasi-korporasi besar Belanda yang dijuluki The Big Five kembali bercokol di Indonesia. Mereka adalah NV Borsumij, NV Jacobson van den Berg, NV Internatio, NV Lindeteves, dan NV Geo Wehry. Mereka bergerak di bidang industri, transportasi, ekspor-impor, dan perkebunan.

Gara-gara KMB, pemerintah Indonesia tak bisa menghalangi kegiatan korporasi itu. Keadaan ini membikin usaha-usaha milik orang Indonesia terpinggirkan. Kalah dari segi modal, kualitas SDM, dan jaringan distribusi. Bahkan dengan pengusaha lokal dari etnis Cina dan Arab saja masih kalah kompetitif.

“Beberapa nasionalis menentang secara kuat konsesi-konsesi ekonomi yang diberikan kepada Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 [...] Tetapi Indonesia sangat memerlukan hasil perdagangan luar negeri dan penghasilan pajak dari perkebunan Belanda,” tulis J.A.C. Mackie, akademikus Australian National University, dalam bunga rampai Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (2002).

Golongan kiri seperti Partai Komunis Indonesia, pengikut politik Tan Malaka, dan serikat-serikat buruh adalah pihak paling gusar soal ini.

Sejak awal, mereka adalah lapisan kelompok paling antipati terhadap KMB dan paling radikal melawan dominasi Belanda di pabrik dan perkebunan. Dari mereka pula wacana nasionalisasi perusahaan asing, khususnya Belanda, berhulu.

Aspirasi nasionalisasi juga datang dari beberapa politikus, meski lebih minor. Salah satunya adalah Iwa Kusumasumantri yang pernah menuntut nasionalisasi perusahaan asing di parlemen pada 1950-an. Atas tuntutan itu, Perdana Menteri Hatta menyatakan nasionalisasi saat itu belum memungkinkan karena ada beban utang luar negeri.

Maka, nasionalisasi sebenarnya hanyalah masalah waktu dan kesiapan. Thus, sengketa Irian Barat bukanlah pemicu tunggal, ujar sejarawan Bondan Kanumoyoso yang riset disertasinya jadi buku Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (2001).

Menurut Bondan, sengketa Irian Barat adalah momentum yang mempercepat nasionalisasi.

“Tapi, sebetulnya tanpa ada masalah itu pun Indonesia akan tetap melakukan nasionalisasi di kemudian hari,” katanya kepada Tirto.

Infografik HL Indepth Nasionalisasi

Infografik Latar Nasionalisasi Perusahaan Belanda. tirto.id/Lugas

Nasionalisasi Sebelum 1957

Bondan menyebut proses nasionalisasi sebenarnya sudah berlangsung sejak awal 1950an. Hanya saja skalanya tak masif seperti nasionalisasi pada 1957 dan dilakukan secara gradual. Caranya bukan lewat jalan perebutan dan penyitaan aset, melainkan melalui pembelian saham.

“Misalnya, De Javasche Bank yang dinasionalisasi pemerintah secara bertahap dengan membeli sahamnya mulai 1951. Pada 1953 sahamnya terbeli semua dan ganti nama jadi Bank Indonesia,” ujar dosen Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini. “Tapi direksinya masih diisi orang-orang Belanda yang baru diganti semua pada 1957.”

Sebagaimana dijanjikan Hatta, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi secara bertahap terhadap perusahaan-perusahaan yang menyangkut kepentingan umum.

Sebagaimana penelusuran Bondan dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, perusahaan Listrik Negara dan Jawatan Kereta Api adalah perusahaan-perusahaan umum yang langsung diserahkan dalam bentuk perusahaan kepada Indonesia. Ada juga Jawatan Pos Telegram dan Telekomunikasi, Jawatan Pegadaian, Jawatan Angkutan Motor, dan beberapa perkebunan.

Lain itu pemerintah melakukan nasionalisasi dan alih teknologi dengan cara berkongsi dengan perusahaan Belanda. Contohnya Garuda Indonesia Airways yang mengambil alih aset dari Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) dan kemudian menjalin kerja sama dengan perusahaan induknya, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM).

“Dengan dukungan dari pemerintah, perusahaan-perusahaan nasional mulai mengisi celah-celah di dalam pasar, meskipun belum bisa menyaingi supremasi perusahaan-perusahaan Belanda yang memang mampu menghasilkan jasa dan produk dengan mutu lebih baik,” tulis Bondan.

Dalam kurun 1951-1957 usaha nasionalisasi dan penguatan ekonomi dalam negeri sudah berjalan. Namun, progresnya lamban. Ia gagal memuaskan ekspektasi masyarakat yang jengah atas dominasi Belanda.

Masyarakat bawah, terutama kalangan buruh, menganggap Indonesia belum sepenuhnya berdaulat secara ekonomi. Ditambah publik makin skeptis karena status Irian Barat masih dikuasai Belanda.

Menurut Bondan, kedua masalah kedaulatan ini bakal meningkatkan potensi konflik bila tanpa solusi cepat. Itu terbukti saat PBB menolak usulan Indonesia membahas masalah Irian Barat. Di Indonesia, diplomasi macet itu dijawab mogok kerja dan pengambilalihan aset-aset Belanda di Indonesia.

“Itu menimbulkan kemarahan masyarakat yang memang sudah menunggu momentum,” ujar Bondan. “Ini upaya masyarakat menegakkan kedaulatan ekonomi.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Fahri Salam