Menuju konten utama

Keberanian dan Akhir Hayat Sang Pemburu Buaya

Sepuluh tahun lebih Steve Irwin mengampu acara televisi bertajuk The Crocodile Hunter. Nahas, ia meninggal setelah terkena sabetan ekor ikan pari.

Keberanian dan Akhir Hayat Sang Pemburu Buaya
Header Mozaik Steve Irwin Si Penakluk Buaya. tirto.id/Tino

tirto.id - Jauh sebelum kemunculan para vloger dan publik figur yang memelihara hewan-hewan liar, saya lebih dulu mengenal Steve Irwin. Ia adalah pencinta hewan sekaligus pewara The Crocodile Hunter, acara TV tentang kehidupan hewan-hewan liar berbahaya yang dianggap musuh oleh manusia.

Meski program televisi ini telah berhenti beberapa tahun lalu, ingatan saya masih jelas. Irwin memiliki gaya khas: berambut pirang acak-acakan, lengkap dengan pakaian safari warna cokelat, celana pendek, dan bersepatu bot.

Ia selalu menggebu-gebu saat menjelaskan aktivitas hewan di alam liar. Tak jarang, Irwin juga melakukan aksi berbahaya nan menegangkan, seperti mencium kobra atau mengejar-ngejar buaya.

Pekerjaannya itu berhasil mengubah cara pandang masyarakat--atau setidaknya saya--dalam memahami hewan-hewan liar nan berbahaya. Manusia kerap melakukan pembunuhan terhadap hewan-hewan tersebut yang berdampak pada berkurangnya populasi. Irwin dihormati sebagai salah satu pencinta hewan paling berpengaruh di dunia.

Keluarga Pencinta Satwa

Stephen Robert Irwin tumbuh besar dan mengakhiri hidupnya di alam bebas. Ia lahir pada 22 Februari 1962 dari keluarga pencinta hewan. Bapaknya, Bob Irwin, adalah pakar reptil Australia dan pemilik penangkaran binatang yang berisi puluhan reptil, khususnya ular.

Irwin kecil kerap bertanya tentang kehidupan hewan kepada ayahnya. Dalam buku Who Was Steve Irwin? (2015), ia mengisahkan bagaimana sang ayah meluruskan pandangannya tentang hewan liar berbahaya.

Suatu hari, ia diajak ayahnya untuk menangkap buaya. “Kenapa kita nangkep buaya?” tanyanya.

“Untuk dipindahin ke tempat aman. Agar orang-orang gak membunuhnya,” balas sang ayah.

“Kenapa orang-orang ingin membunuh buaya?”

“Karena mereka takut dan gak bisa memahami kehidupan buaya,” terang ayahnya.

Jawaban ini memantik keseriusan Irwin kecil untuk lebih mencintai hewan. Lebih dari itu, ia berniat untuk menyebarluaskan pemahaman terhadap hewan liar di masa depan. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi yang dapat membahayakan kelangsungan hidup hewan liar.

Atas kecintaannya itu, kehidupan Irwin lebih banyak dihabiskan di luar rumah. Hutan, sungai, dan alam tandus menjadi rumah keduanya. Ia kerap menghabiskan waktu berjam-jam bersama ayahnya untuk mengamati kanguru, misalnya.

Lalu berada di pinggir sungai dan rawa-rawa untuk sekadar melihat gerak-gerik hewan. Ayahnya pun ibarat kamus berjalan yang siap memaparkan jawaban panjang demi menjawab rasa penasaran Irwin.

Tak heran jika sejak usia 6 tahun ia sudah bisa menangkap ular. Lalu tiga tahun setelahnya, Irwin berhasil menaklukkan buaya di pinggir sungai. Ini tentu bukan aktivitas yang wajar dilakukan anak seusianya. Meski begitu, keluarganya tak pernah melarang dan meragukan ambisi yang tumbuh pada diri Irwin.

Menjadi Pawang Buaya

Saat dewasa, Irwin tidak belajar di bangku kuliah. Kehidupan masa mudanya hanya terfokus pada dunia satwa. Di usia 20 tahunan, ia dan ayahnya bekerja di Program Manajemen Buaya. Maklum, saat itu buaya menjadi salah satu hewan yang cukup ditakuti di Australia.

Melalui program ini, keduanya menghabiskan waktu berbulan-bulan di semak-semak. Kerja ini membuahkan hasil karena membuat namanya dikenal sebagai penangkap buaya terbaik di Australia.

“Itu seperti taman bermain bagi Irwin dan saya. Kami melakukan penyelidikan di rawa dari siang sampai malam hari. Berkamuflase demi mengamati buaya lebih dekat supaya tidak mengganggu kehidupannya,” kenang Bob Irwin dalam buku semi-autobiografi The Last Crocodile Hunter: A Father and Son Legacy (2017).

Satu hal menarik yang dilakukan Irwin selama berkerja di alam bebas adalah selalu merekam segala aktivitasnya. Layaknya vloger di zaman sekarang, ia memasang kamera di tripod lalu berbicara seorang diri sembari menjelaskan sesuatu kepada pemirsa.

Ini konsisten dilakukannya selama beberapa tahun. Dan kegiatan ini pula yang kemudian membuka jalan kehidupan baru bagi Irwin.

Sekali waktu di tahun 1990-an, kegemarannya melakukan perekaman menarik perhatian produser saluran TV Australia, Channel 10. Irwin ditawari untuk mengubah rekamannya menjadi film dokumenter. Tawaran ini tentu sesuai dengan cita-cita Irwin yang ingin mengubah pandangan manusia terhadap hewan liar.

Irwin setuju dan lahirlah acara TV The Crocodile Hunter pada 1992. Tanpa diduga, acara ini sangat populer di masyarakat. Nama Irwin pun semakin melambung dan menjadi ikon konservasi hewan liar. Apalagi setelah Discovery Channel mengambil lisensi acara itu untuk disiarkan ke ratusan negara.

Dari sini tayangannya semakin bervariasi. Tidak hanya tentang buaya, tapi juga hewan-hewan lain seperti kadal, kanguru, ular, dan hewan-hewan laut.

Tiap episode acaranya memiliki alur serupa: Irwin menjelaskan tentang hewan yang dituju, lalu melakukan aksi cukup berbahaya sembari memaparkan juga langkah pencegahan tanpa membunuh seandainya hewan itu menyerang.

Selain itu, penangkaran hewan milik ayahnya pun semakin besar. Bahkan pada 1998 statusnya dapat diubah menjadi kebun binatang. Tempat ini menjadi media Irwin untuk memulai pendidikan konservasi kepada masyarakat melalui cara-cara menarik.

Irwin juga membentuk komunitas pejuang satwa liar untuk melakukan perlindungan terhadap satwa yang terluka, terancam, atau hampir punah.

Infografik Mozaik Steve Irwin

Infografik Mozaik Steve Irwin Si Penakluk Buaya. tirto.id/Tino

Akhir yang Tragis

Acara TV yang ia ampu bertahan hingga lebih dari 10 tahun. Namun, semua berubah pada 4 September 2006. Hari itu, Irwin dijadwalkan melakukan syuting film dokumenter berjudul Ocean’s Deadliest di perairan Great Barrier Reef.

Perairan itu dikenal sebagai salah satu tempat paling indah di dunia karena memiliki pemandangan bawah laut yang dihiasi terumbu karang. Namun, keindahan itu bersampingan dengan bahaya dari serangan hiu dan ikan pari.

Bagi Irwin, hal itu tidak jadi soal. Aktivitas seperti ini sudah dilakukannya berkali-kali dan dilalui tanpa masalah. Maka, ia bertekad segera menyelesaikan syuting dan membuat liputan khusus tentang ikan pari.

Irwin terjun ke laut bersama seorang kru, lengkap dengan pakaian dan peralatan menyelam. Syuting pun dimulai. Perlahan, ia mulai mendekati seekor ikan pari. Di sinilah malapetaka terjadi.

Rupanya pergerakan Irwin memancing ikan pari bertindak agresif. Ikan tersebut langsung menebaskan ekor tajamnya ke dada Irwin. Seketika, ia tidak sadarkan diri dan situasi langsung mencekam.

Para kru bergegas membopongnya dan melakukan tindakan darurat. Namun, takdir berkata lain. Irwin dinyatakan meninggal tidak lama setelah sampai di kapal. Hanya ada satu kalimat terucap menjelang ajalnya tiba: “Aku sekarat.”

Setelah kematiannya, The Crocodile Hunter pun hilang dari layar kaca.

Baca juga artikel terkait PENCINTA HEWAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi