Menuju konten utama
1 Januari 1800

Kebangkrutan VOC yang Melahirkan Negara Pegawai Hindia Belanda

Pemerintahan Hindia Belanda berjalan dengan sepenuhnya bertumpu kepada birokrasi.

Ilustrasi pejabat kolonial Hindia Belanda. tirto.id/Sabit

tirto.id - Negara Hindia Belanda adalah mesin raksasa yang digerakkan oleh birokrasi ruwet. Pada 1 Januari 1800, tepat hari ini 221 tahun lalu, negara kolonial ini mewarisi birokrasi peninggalan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang centang perentang: bekerja bukan atas dasar efisiensi sebuah negara, tapi berdasarkan hitungan untung-rugi sebuah maskapai dagang.

Sehari sebelumnya, VOC resmi dinyatakan bubar. “Terhitung sejak 31 Desember 1799 VOC dinyatakan pailit, utang dan asetnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda,” tulis sejarawan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi Sampai Nyi Blorong (2002).

Dari warisan VOC itulah pemerintah kolonial membentuk sistem birokrasi modern. Herman Willem Daendels adalah penguasa pertama yang membangun fondasinya. Konsep negara dan birokrasi modern pertama kali dicetuskan oleh Daendels demi efektivitas pengaturan negara jajahan.

Baca juga: Jelang Malam Tahun Baru VOC Bubar karena Korupsi

Salah satu jalannya adalah melakukan sentralisasi pemerintahan dan mengontrol bawahan secara ketat. Inspirasinya didapat dari model negara Napoleon di Eropa. Daendels sendiri memang pengagum Napoleon dan pengikut Revolusi Perancis.

Pelan-pelan, pemerintah kolonial menata dan memperbaiki birokrasi warisan VOC. Dalam waktu tiga dekade setelah VOC runtuh, birokrasi Hindia Belanda menjadi semakin efektif di bawah pemerintahan van den Bosch—gubernur jenderal yang mencetuskan Tanam Paksa (1830-1870).

Bahkan, pada akhir abad ke-19, Hindia Belanda dipuji memiliki aparatus birokrasi paling efektif di antara negara-negara jajahan dan dijuluki sebagai beambtenstaat (negara pegawai). John Sydenham Furnivall dalam Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk (2009), buku yang pertama kali diterbitkan pada 1939, menyebut betapa seriusnya Hindia Belanda mereformasi birokrasi sampai-sampai langkah itu menjadi "mimpi buruk di siang bolong" bagi banyak pejabat kolonial (hlm. 273).

Dual System & Indirect Rule

Birokrasi Hindia Belanda menganut dual system, maksudnya terdiri para pegawai Eropa dan pribumi. Ini bukan semata kategori berdasarkan rasial, melainkan berdampak kepada cara pengelolaan dan peran masing-masing kategori. Dalam kategorisasi kolonial, yang pertama disebut Binnenlandsch Bestuur (BB) dan yang kedua Inlandsch Bestuur (IB).

BB bisa dibilang sebagai korps pegawai kolonial yang mencerminkan birokrasi negara modern. Korps ini diisi oleh orang-orang Belanda yang biasanya berlatar belakang pendidikan tinggi atau dari keluarga terdidik lainnya. Jika ditilik dari peranannya, birokrasi di Republik Indonesia merdeka berawal dari sini, bukan dari para penguasa pribumi. Korps BB dikenal relatif lumayan bersih. Sangat berbeda dengan para pendahulunya di VOC.

Sementara Inlandsch Bestuur adalah pegawai-pegawai yang diangkat dari kalangan bumiputra. Dalam banyak kasus, jabatan yang diemban oleh pegawai pribumi dilanjutkan secara turun-temurun atau berdasarkan pertalian keluarga. Dan tentu saja, mengingat jumlah orang Eropa di Hindia Belanda yang sedikit, pegawai IB jauh lebih banyak dari BB.

Alasan pengangkatan pegawai pribumi berdasarkan pertimbangan praktis belaka. Tidak mungkin pemerintah “mengekspor” orang Eropa dalam jumlah yang sangat besar untuk menjadi pegawai di negeri jajahan. Cara yang paling mudah adalah memanfaatkan priayi-priayi bumiputra sekaligus mendidik mereka dalam dunia birokrasi modern. Meski kemudian Belanda terkadang mengalami kerepotan karena banyak pegawai yang tidak becus mengurus pekerjaan.

Dalam praktik, pemerintah kolonial menerapkan sistem indirect rule (pemerintahan tak langsung), yaitu pemerintahan melalui perantaraan penguasa-penguasa pribumi. Seberapa efektif penggunaan pegawai pribumi yang tidak terdidik dalam birokrasi kolonial memang masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Tapi yang pasti, Belanda sangat membutuhkan wibawa para penguasa pribumi untuk menjangkau rakyat bawah.

Penguasa pribumi menempati posisi penting dalam hubungan pemerintah kolonial dengan rakyat. Mereka menjadi semacam perantara antara kebijakan eksekutif dari gubernur jenderal dan residen dengan pelaksanaannya di kalangan kaum pribumi. Seperti penguasa kolonial di mana pun, Belanda tak mau repot mengimplementasikan sendiri kebijakan-kebijakannya untuk rakyat tanah jajahan.

Korupsi Birokrasi

Para pegawai pribumi memang dinyatakan secara resmi sebagai pegawai Belanda sekaligus menjadi volkshoofden (pemimpin rakyat). Selain sebagai wakil pemerintah, mereka juga ditugaskan untuk semua masalah internal masyarakat.

Posisi pegawai pribumi menjadi sangat menentukan pada saat Tanam Paksa diberlakukan. Ujung tombak pemerintah kolonial untuk memperoleh hasil pertanian adalah para bupati. Mereka diserahi tanggung jawab untuk menggenjot hasil agraria ekspor dan mengoordinasikan para petani pemilik tanah.

Sistem cultuur procenten pada zaman Tanam Paksa membuat para bupati makin getol untuk meraup uang sebanyak-banyaknya dari hasil tanaman rakyat. Cultuur procenten adalah insentif dari pemerintah bagi pejabat yang daerahnya mampu menghasilkan panen melebihi ketentuan. Jika sebuah kabupaten sanggup menghasilkan tanaman ekspor lebih dari target yang ditetapkan pemerintah, bupati bersangkutan akan mendapatkan bonus sangat besar.

Karena itu, seorang bupati dan pejabat pribumi lain bisa sangat kaya raya pada masa Tanam Paksa, sementara rakyat yang diurusnya tetap miskin papa.

Infografik Mozaik Negara Hindia Belanda

Infografik Mozaik Negara Hindia Belanda. tirto.id/Sabit

Mekanisme kenaikan pangkat dalam pejabat pribumi pada abad ke-19 tidak berdasarkan merit system atau ukuran-ukuran lain seperti yang kita bayangkan dalam birokrasi modern. Tingkat pendidikan, prestasi kerja, senioritas, semuanya percuma karena nepotisme dan perkoncoanlah yang berlaku. Para pejabat pribumi saat itu lazim menjilat para atasan Belanda, begitu pula pejabat pribumi kelas rendah menjilat pejabat pribumi yang lebih tinggi.

Di sini berlaku pola patron-klien yang rumit dan lingkaran setan jilat-menjilat hampir mewarnai semua jajaran birokrasi kolonial. Negara Hindia Belanda bekerja di atas kerumitan macam itu.

Dalam Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi (1983), Heather Sutherland menyinggung kerumitan ini. Sistem patron-klien, katanya, “berputar sekeliling jaringan hubungan yang saling kait-mengait, dan mengakibatkan tumbuhnya faksi-faksi pribadi oleh priayi senior dan Binnenlandsch Bestuur” (hlm. 80).

Seorang priayi yang akan diangkat menjadi pejabat tinggi harus bersikap manis di depan bupati dan melayaninya sedemikian rupa. Sebab sang bupatilah yang akan memberi masukan dan pertimbangan kepada residen untuk mengangkat pejabat.

Residen, sementara itu, tidak begitu mengenal satu per satu tiap pejabat di daerahnya yang rata-rata berjumlah 100 sampai 250 orang itu. Masukan-masukan dari bupati soal garis keturunan, kelahiran, dan latar belakang yang bersangkutan menjadi pertimbangan utama bagi sang residen.

Karena pola ini, patronase dan faktor pertimbangan berdasarkan asas like and dislike lebih dikedepankan dalam mengangkat seorang pejabat. Ini juga berkaitan dengan kelonggaran batasan-batasan pengangkatan pegawai yang menyebabkan seorang pejabat bisa dengan seenaknya sendiri memecat atau mempekerjakan pegawai. Dalam situasi macam itu, korupsi di negara pegawai Hindia Belanda kian merajalela.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 13 September 2017 dengan judul "PNS: Warisan Kolonialisme Belanda". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Politik
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS & Irfan Teguh
-->