Menuju konten utama

Jenderal yang Jadi "Dukun" Kepercayaan Soeharto

Soedjono Hoemardani dikenal sebagai jenderal eksentrik. Ia dan Soeharto sama-sama menggemari hal klenik.

Soedjono Hoemardhani. tirto.id/Quita

tirto.id - Tak ada jenderal yang punya potongan rambut seunik dan sekeren Soedjono Hoemardani. Jauh dari kesan klimis. Potongannya mirip Michael Jackson sebelum melakukan operasi plastik. Dengan gayanya itu, Soedjono lebih mirip seorang seniman ketimbang jenderal. Meski begitu, ia adalah jenderal kepercayaan Soeharto. Ketika meninggal dunia 12 Maret 1986, berita kematiannya ditayangkan di TVRI. Di berita itu, terlihat bagaimana jenazahnya diiringi pasukan ketika diterbangkan ke Solo dari landasan udara. Soeharto dan istri juga ada di sana.

Sedari muda, Soedjono alias Djonit tak jauh dari dunia ekonomi. Setelah lulus dari HIS Surakarta, dia sekolah di Gemeentelijke Handels School, sebuah sekolah dagang di Semarang. Ayahnya, Raden Hoemardani adalah pedagang di Carikan, barat Pasar Klewer, yang memasok berbagai jenis bahan makanan dan pakaian pamong serta abdi keraton. Setelah lulus, sekitar tahun 1937, Djonit pulang ke Solo untuk mengelola usaha ayahnya, sekaligus jadi anggota merangkap bendahara organisasi pergerakan bernama Indonesia Muda. Di zaman Jepang, awal usia 20an, dia menjadi fukudanco (wakil komandan) dari keibodan (pembantu polisi).

Sejak awal karier militernya pada masa revolusi, Soedjono Hoemardani ditugaskan mengelola bidang ekonomi dan keuangan. Sebagai anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR), suatu organisasi keamanan yang kelak berubah menjadi Tentara Nasional Indonsia dan berhubungan dengan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP), dia ditunjuk sebagai ketua bagian keuangan BPKKP di sekitar Solo,” tulis Michael Sean Malley dalam "Soedjono Hoemardani dan Orde Baru" dalam Prisma edisi khusus 20 tahun Prisma Di Atas Panggung Sejarah Dari Sultan ke Ali Moertopo (1991:105).

Di militer dia berkarier sampai jadi jenderal. Namun, dia memulainya dari pangkat Letnan Dua, karena ia terhitung orang terpelajar di tahun 1945—saat itu hanya sepersepuluh orang Indonesia yang bisa membaca.

Harry Tjan Silalahi dalam buku Soedjono Hoemardani 1918-1986 (1987:16) menyebut Soedjono menjadi bendahara di Resimen 27 Divisi IV dengan pangkat Letnan Dua dalam kurun 1945-1947. Setelahnya dia naik pangkat jadi Letnan Satu dengan jabatan perwira bagian keuangan Divisi tersebut hingga 1949. Tahun 1950, pangkatnya naik jadi Kapten. Tahun berikutnya dia dipindahkan ke Semarang.

Tahun 1957 pangkatnya jadi Mayor dengan jabatan Direktorat Administrasi Angkatan Darat (DAMAD) di Bandung. Meski sudah di Bandung, Djonit tetap berhubungan dengan orang-orang Diponegoro. Tahun 1961, pangkatnya naik lagi jadi Letnan Kolonel dengan jabatan Wakil Deputi III/KSAD.

Sekalipun dia memantapkan diri di lingkungan militer tetap jiwa kewiraswastaannya tidak dengan sendirinya hilang, tapi malah memperluas sudut pandang profesinya,” tulis Harry.

Djonit tak dikenal sebagai perwira tempur, meski dia ikut revolusi kemerdekaan. Ia melanggengkan pendapat bahwa tentara tak hanya mengurus pertempuran, melainkan juga logistik, administrasi, dan urusan di atas kertas lain.

Sebelum ditarik ke Jakarta sewaktu Soeharto jadi Panglima di Kostrad, Djonit adalah perwira administrasi di KODAM Diponegoro Jawa Tengah. Pada 1957,menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:69) Djonit pernah ikut berbisnis bersama perwira-perwira lain waktu Soeharto jadi orang penting di kalangan tentara Jawa Tengah. Bisnis itu mencakup industri, pemasaran, dan transportasi. Bersama Bob Hasan, Soedjono ikut mendirikan Pangeran Lines, perusahaan yang bergerak di bidang pengapalan.

Berbisnis waktu jadi tentara tidak sulit bagi Soedjono karena dia pernah berbisnis sebelum balatentara Jepang mendarat. Di bidang keuangan, selain pernah pernah dikirim belajar ke Fort Benjamin Harisson, Amerika Serikat, Soedjono terasah kemampuannya dengan menjadi wakil Alamsjah Prawiranegara di Finansial Ekonomi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) antara 1963 hingga 1965.

Tahun 1966, dengan pangkat Kolonel Soedjono Hoemardani menjadi Pembantu Khusus Ekubang/ Waperdam Sospol,” tulis Harry.

Ketika Soeharto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera, dia diangkat menjadi anggota Staf Pribadi Urusan Ekonomi Keuangan Presidium Kabinet Ampera merangkap anggota DPR-GR dan MPRS. Pangkat Djonit naik jadi Brigadir Jenderal di tahun 1969 dengan jabatan Asisten Pribadi Presiden Urusan Ekonomi dan Perdagangan. Meski terlihat tidak sementereng menteri, Soedjono punya peran penting di dunia bisnis Indonesia. Pengusaha-pengusaha Indonesia yang hendak berbisnis dengan Jepang harus melewati dirinya.

“Untuk mendapatkan lisensi dari perusahaan Jepang, selain rekomendasi dari Menteri Perekonomian, rekomendasi dari Soedjono Hoemardani sangat penting. Sebab, pada tahap seleksi awal, Jepang lebih percaya kepada Soedjono yang dianggap sebagai utusan langsung Presiden,” tulis Teguh Pambudi dalam Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya (2012:537).

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/11/soedjono-hoemardani--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik Soedjono Hoemardani" /

Soedjono Hoemardani, bersama Suryohadiputro dan Alamsyah Ratuprawiranegara termasuk jenderal-jenderal yang sering didatangi pengusaha. Mereka, menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:66), digolongkan sebagai Jenderal Finansial.

“Di antara mereka yang punya jalur khusus dengan Soeharto adalah Sudjono […] konon kata seorang ajudan dialah satu-satunya yang selain ibu Tien boleh masuk kamar tidur,” tulis Borsuk dan Chng.

Soedjono sering disebut-sebut sebagai penasehat spiritual Presiden Soeharto. Maklum, ia sering dianggap dekat dengan hal-hal gaib dan klenik. Laki-laki dengan pembawaan tenang ini memang dikenal eksentrik. Ada yang menyebut dia sering menerima tamu dengan telanjang kaki. Hubungannya dengan Soeharto, konon terkait dengan Soediyat Prawirokoesoemo alias Romo Diyat, seorang guru spiritual yang pernah bilang pada Soedjono agar menjaga Soeharto karena dipercaya akan menjadi orang besar. Baik Soeharto dan Soedjono, mereka berdua sering pergi ke tempat-tempat keramat.

Meski banyak yang berpikiran Soeharto berguru pada Soedjono, dalam autobigrafinya Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989:441-442) yang disusun Ramadhan KH, Soeharto mengaku: “Sangkaan begitu tidak benar. Mengenai ilmu kebatinan, Soedjono lebih banyak bertanya ke saya daripada sebaliknya.” Soeharto sendiri bilang jika Soedjono pernah bilang: “Saya berguru kepada Pak Harto.”

Selain Jenderal Finansial yang suka klenik seperti Soeharto, Soedjono terkait dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Bekas Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro, pernah bilang dalam Soemitro, Mantan Pangkopkamtip: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib (1994:253): Ramadhan KH, Jenderal Ali Murtopo, dan Jenderal Sudjono Humardani adalah yang mencari dana untuk menghidupkan CSIS.”

Melihat kedekatannya dengan Soeharto, tak heran jika Soeharto merasa kehilangan ketika Soedjono meninggal dunia pada 12 Maret 1986 di Tokyo. Menurut buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984:287), pria yang merupakan mertua mantan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo ini, ternyata punya saudara-saudara yang jadi tokoh. Ada Sardjono Hoemardani, bekas tokoh Partai Murba Jawa Tengah - yang tidak pernah terbetik lagi aktivitas politiknya. Juga Sedijono Hoemardani dengan titel doktorandus, seorang tokoh tari Jawa di Solo.

Baca juga artikel terkait SEJARAH TNI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono
-->