Menuju konten utama

Jangan Paksakan Pondok Pesantren Terapkan New Normal

Banyak pihak menolak penerapan new normal di pesantren. Alasannya kultural dan ketidakmampuan semua pesantren menyediakan fasilitas penunjang protokol kesehatan.

Jangan Paksakan Pondok Pesantren Terapkan New Normal
Petugas menjaga salah satu gerbang keluar masuk kawasan Pondok Pesantren (ponpes) Lirboyo, di Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (24/3/2020). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww.

tirto.id - Pemerintah akan menerapkan new normal atau kelaziman baru di berbagai bidang, tak terkecuali di pesantren. Sebagaimana usul penerapan di sekolah biasa, new normal di pesantren juga memicu penolakan.

Penolakan misalnya datang dari Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama atau Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI NU). Ketua PP RMI NU Abdul Ghofarrozin mengatakan usul ini terlalu tiba-tiba karena selama ini pemerintah tidak memberikan perhatian khusus ke pesantren dalam penanganan COVID-19.

"Alih-alih menyelamatkan dari COVID-19, pesantren yang berbasis komunitas dan cenderung komunal justru dapat menjadi klaster baru. Sesuatu yang sepatutnya dihindari," katanya lewat pers rilis, Jumat (29/5/2020) pekan lalu.

Menurutnya new normal tak akan bisa dilakukan di pesantren sepanjang tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah, dari mulai fasilitas kesehatan seperti rapid test, handsanitizer, dan tenaga ahli kesehatan, hingga dukungan sarana, prasarana, dan biaya ke santri yang ekonominya terdampak.

Jika tak ada kebijakan konkret tersebut, kata Abdul, pesantren sebaiknya memperpanjang masa belajar di rumah.

PP Muhammadiyah juga menilai hal serupa. Menurut mereka membuka kembali pesantren terlalu berisiko karena para santri umumnya berasal dari banyak daerah. Tidak ada yang bisa menjamin mereka benar-benar 'bersih' dari virus.

Beberapa anggota DPR RI juga mempertanyakan wacana penerapan new normal di pesantren.

Salah satu yang melontarkan kritik itu adalah Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi. Sebagai salah satu partai dengan basis pesantren yang banyak, ia menilai pemerintah sebaiknya "mencarikan skema lain di luar new normal" dengan pertimbangan selama ini "infrastruktur maupun tenaga medis di pesantren masih sangat kurang."

Lewat keterangan tertulis, Rabu (27/5/2020) pekan lalu, ia mengatakan jika new normal tetap diterapkan, maka pada pertengahan bulan syawal ini akan ada 28.194 pesantren dengan jumlah santri 4.290.626 akan memulai aktivitas. Potensi penyebaran virus pun melonjak.

Sementara Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, memberikan sinyal sebaliknya. Menurutnya kalau hanya mengandalkan pemerintah, maka "enggak bisa terlalu banyak kita harapkan, terutama dari sisi biaya."

"Kalau kita berharap dari pemerintah, sudahlah, kita pasti kecolongan," kata Yandri, Kamis (28/5/2020) pekan lalu. Ia berharap para pengelola pesantren yang harus berinisiatif menegakkan protokol kesehatan yang ketat secara mandiri. "Ini kebutuhan masing-masing individu kita," katanya menegaskan.

Jangan Paksakan New Normal

Keinginan Yandri agar pesantren punya inisiatif sendiri sulit diterapkan. Faktanya tidak semua pesantren punya uang cukup untuk melengkapi segala rupa alat-alat penunjang protokol kesehatan.

Hal ini misalnya disampaikan Balya Khoirul Muna, 25 tahun, pengelola Pondok Pesantren Roudlotut Tolibin yang berada di desa Kedungringin, Bangorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Ia mengatakan pesantren yang ia kelola "tidak ada uang" dan "enggak mampu" jika menerapkan protokol kesehatan mandiri.

Lagipula sedari awal semestinya para santri tidak perlu dipulangkan dan "lockdown mandiri." "Tapi kalau dipulangkan, ya enggak usah disuruh balik lagi sampai keadaan mereda. Masalah kan sekarang belum mereda," kata Balya saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (3/6/2020) pagi.

Ia lantas menjelaskan bahwa kultur kehidupan di pesantren itu serba komunal dan membikin santri kesulitan menjaga jarak. Mereka terbiasa tidur bersama, makan bersama, salat bersama, bahkan mandi bersama. Belum lagi ketika ada kegiatan seperti kerja bakti hingga mentoring pengajian.

Atas alasan kultural dan kemampuan finansial itu ia meminta pemerintah tidak menerapkan new normal di pesantren. Ia khawatir pesantren bisa jadi klaster "penyebaran baru, terutama yang santrinya ribuan dari berbagai kota."

Baca juga artikel terkait NEW NORMAL atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino