tirto.id - Claudio Ranieri, Pelatih Leicester City, tak kuasa menahan air mata saat timnya membekuk Sunderland, dengan skor 2-0 di Stadium of Light, Minggu (10/4/2015). Kakek tua itu tak kuasa menahan haru di tengah sorotan kamera televisi. Air matanya adalah air mata kebahagiaan.
Meski belum bisa disebut juara karena kompetisi masih menyisakan enam laga, kemenangan atas Sunderland sangat penting karena mengukuhkan posisi Leicester di puncak klasemen Liga Inggris. Dengan kemenangan itu, mereka semakin dekat ke gelar juara dengan poin 72 dan berhasil mempertahankan jarak tujuh poin dari peringkat kedua Tottenham Hotspurs,
Yang lebih spesial, hasil itu memastikan Leicester menggenggam tiket Liga Champions musim depan. Kepastian tim yang dijuluki "The Fox" atau Si Rubah lolos ke Liga Champions didapat dua jam setelah pertandingan usai, ketika Manchester United yang duduk peringkat kelima kalah dari Tottenham dengan skor 3-0. Leicester mampu memperlebar selisih 19 poin dengan MU. Dengan enam laga sisa, MU tak akan mampu menyalip Leicester sekalipun MU memenangi semua laga sisa dan Leicester kalah beruntun.
Kepada awak media sebelum pertandingan, Ranieri sudah membayangkan betapa senangnya fans Leicester saat King Power Stadium, kandang mereka, kedatangan tim-tim hebat Eropa. "Bayangkan jika kami kedatangan Barcelona. Fans kami untuk kali pertama melihat Messi dan Neymar. Sulit dipercaya. Saya ingin hal itu,” ucapnya dilansir SkySports.
Setelah kepastian lolos ke Liga Champions didapat, Ranieri meminta timnya untuk tetap rendah hati dan tak terlena. "Fans boleh saja tetap bermimpi, tapi kami harus menjaga konsentrasi dan fokus pada pertandingan. Kami belum meraih apa pun," katanya.
Uang si Rubah dari kompetisi Eropa
Di liga-liga top Eropa, jika ambisi menjadi juara liga sulit direalisasikan, lolos ke Liga Champions akan jadi target berikutnya. Target itu beralasan, keikutsertaan di Liga Champions adalah jaminan uang.
Berdasarkan aturan baru yang berlaku 2015-2018, UEFA akan memberikan hadiah 12 juta euro kepada 32 klub yang bermain di fase grup. Angka ini belum termasuk keuntungan dari setiap pertandingan. Dari enam laga di fase grup, UEFA akan membayar bonus 1,5 juta euro kepada tiap klub yang menang dan 500 ribu euro yang imbang.
Pada fase grup Liga Champions musim ini, Real Madrid jadi tim yang paling banyak dapat hadiah. Dari lima kemenangan dan satu hasil imbang yang mereka dapat, mereka dibayar delapan juta euro. Uang hadiah akan semakin meningkat jika klub berhasil lolos ke fase berikutnya.
Terlalu dini jika memprediksi Leicester bisa bicara banyak di Liga Champions musim depan. Keajaiban mereka di Liga Inggris belum tentu akan mempan di kancah Eropa. Bagi Leicester, bisa lolos dari fase grup saja sudah jadi prestasi tersendiri.
Peluang di Liga Champions
Leicester memang sudah memastikan lolos ke Liga Champions. Namun, bukan berarti mereka akan langsung bertarung di fase grup. Skenario meraup uang di kompetisi Eropa itu akan kacau jika mereka harus melaluinya dari fase play-off.
Sebelum diadu di fase grup yang dihuni 32 klub, puluhan klub-klub dari berbagai negara memang harus saling bunuh dulu di fase play-off untuk memperebutkan 10 kursi sisa. Skema buruk ini masih bisa menimpa jika mereka pada akhir musim nanti finish di urutan empat.
Dengan posisi ini, di babak play off nanti Leicester harus bersiap menghadapi lawan berat peringkat empat La Liga, Bundesliga, atau peringkat tiga Liga Italia, Liga Portugal, Liga Perancis. Bisa-bisa nasib Leicester sama seperti Lazio yang disingkirkan Bayer Leverkusen di babak play-off musim ini.
Agar nasib buruk ini tak terjadi, The Fox butuh setidaknya empat poin lagi di Liga Inggris. Empat poin ini untuk menjauhkan posisi mereka dari sang peringkat empat, Manchester City yang sekarang mengemas 57 poin. Jika mereka berhasil meraup empat poin tambahan, tiket mereka di Liga Champions akan aman dengan poin 76. Kepastian tanpa fase play-off bisa pula mereka raih pekan depan. Syaratnya, mereka harus menang melawan West Ham dan City kalah dari Chelsea.
Tapi Leicester tentunya tak ingin kehadiran mereka di Liga Champions hanya numpang lewat saja. Sebuah siasat mesti dilakukan agar lawan-lawan di fase grup nanti bukanlah tim-tim raksasa. Kemudahan itu bisa didapatkan jika mereka menjuarai Premier League musim ini.
Jika mereka memuncaki klasemen hingga akhir musim, dalam undian grup mereka akan dimasukan sebagai unggulan di pot 1—pot para juara. Ini akan menghindarkan mereka satu grup dengan juara-juara di delapan liga top Eropa seperti Benfica, Ajax Amsterdam, Barcelona, Bayern Munich, Juventus dan Paris Saint Germain. (Klub-klub ini memang belum memastikan juara di kompetisi domestik, tetapi persentase juara lebih besar ketimbang tim lainnya)
Masalah akan muncul jika Leicester finish sebagai runner-up atau posisi tiga di Premier League. Status mereka turun lagi ke pot 4, akibat koefisien penampilan mereka di kancah Eropa yang rendah. Maka siap-siap saja mereka menjumpai tim-tim raksasa Liga Champions. Klub papan atas yang dihadapi tak hanya satu, tapi dua—yang berasal dari pot 1 dan pot 2.
Meski begitu, bukan jaminan juga ketika tim kecil yang jadi juara di kancah domestik akan melanggeng mulus di fase grup Liga Champions. Dalam satu dekade terakhir ada beberapa klub liliput yang gagal mengeret keajaiban ke kancah eropa. Di antaranya dua klub Jerman, Wolfsburg (2009-2010), Stuttgart (2007-2008), dua klub Perancis, Lille (2011-2012), Montpellier (2012-2013), dua klub Belanda, Twente (2010-2011), dan rekan senegara Leicester yakni Manchester City (2012-2013). Tragisnya, dari enam klub di atas, lima klub yang disebut terakhir malah mengakhiri fase grup di posisi urutan buncit. Leicester tampaknya harus bisa mengantisipasi agar kutukan dan kegagapan tampil di Eropa ini tak menimpa mereka.
Pundi-pundi Liga Champions
Beruntung bagi Leicester yang masuk Liga Champions musim depan. Pasalnya, sejak 2012 lalu, UEFA membagi uang dari hak siar dengan sistem yang disebut market pool. Uang dibagi berdasarkan popularitas dan hak siar yang terjual. Uang yang didapat negara-negara kecil seperti Yunani, Portugal dan Turki tentunya berbeda dengan Inggris, Jerman atau Italia. Jika diambil rata-rata uang terkecil yang didapat klub Inggris selama aturan ini berlaku, maka akan muncul angka 17,5 juta euro dari hasil market pool.
Bagi tim debutan dan liliput sekelas Leicester, keikutsertaan mereka di Liga Champions akan dihargai uang berkisar 31 juta euro. Jumlah ini bagi mereka sudah seperti durian runtuh mengingat—mengutip dari situs resmi Leicester—biaya operasional mereka untuk gaji, kontrak dan segala tetek bengek lainnya hanya mencapai 57 juta euro. Katakanlah musim depan angka itu akan membengkak jadi 80 juta euro, maka dari hadiah Liga Champion saja sudah menutupi 35 persen dana itu. Persentase ini bisa bertambah andaikan Leicester bisa lolos dari fase grup. Patut diingat, pundi-pundi uang Leicester pada musim depan tentunya bukan hanya dari keikutsetaan Liga Champions saja.
Jika betul jadi juara di Premier League, uang hadiah dari kompetisi domestik bisa mencapai 113 juta euro. Pendapatan ini tentunya belum mencakup nilai sponsor yang akan mengalami kenaikan. Hal ini selaras dengan nilai perusahaan yang meningkat.
Lembaga riset, Private Company Financial Intelligence (PrivCo) menaksir tahun ini nilai klub Leicester telah meningkat 60 persen, dari 333 juta euro pada tahun lalu menjadi 544 juta euro pada akhir musim nanti. PrivCo memaparkan nilai perusahaan akan terus meningkat jika mereka tak hanya sekedar numpang lewat di Liga Champions.
Sebagai seorang dalang, Claudio Ranieri harus bisa membuktikan, keajaiban dan kisah dongeng yang ia bangun bersama Leicester City di kompetisi domestik itu bisa diterapkan dan menular di kompetisi Eropa.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti