Menuju konten utama

Hewan di Indonesia, Sudahkah Sejahtera?

Tidak hanya pada domestikasi hewan, sampai saat ini, penyiksaan hewan juga masih terus terjadi bahkan di lingkungan yang paling dekat dengan masyarakat.

Hewan di Indonesia, Sudahkah Sejahtera?
Ilustrasi Kesejahteraan Hewan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Publik Amerika Serikat dikejutkan dengan berita penyelamatan 4.000 ekor anjing jenis beagle dari sebuah fasilitas khusus pembiakan anjing milik Envigo di Cumberland, Virginia. Departemen Pertanian Amerika Serikat menemukan setidaknya 70 pelanggaran yang dilakukan Envigo di fasilitas pembiakannya.

Yuval Noah Harari, pada bukunya Sapiens menuliskan, “Dari sudut pandang evolusioner yang sempit, yang mengukur keberhasilan berdasarkan jumlah salinan DNA, Revolusi Pertanian adalah berkah luar biasa bagi ayam, sapi, babi, dan domba. Sayangnya, sudut pandang evolusioner adalah ukuran keberhasilan yang tidak lengkap. Sudut pandang itu menilai segala sesuatu berdasarkan kriteria kelestarian dan reproduksi, tanpa mempertimbangkan penderitaan dan kebahagiaan individu.

Ayam dan sapi hasil domestikasi mungkin merupakan kisah keberhasilan revolusi, namun ayam dan sapi menurut Yuval, tergolong makhluk yang paling sengsara yang pernah ada dengan adanya praktek brutal pada domestikasi hewan.

Tidak hanya pada domestikasi hewan, sampai saat ini, penelantaran sampai penyiksaan hewan (peliharaan) juga masih terus terjadi bahkan di lingkungan yang paling dekat dengan masyarakat.

Hukum Kesejahteraan Hewan di Indonesia

Di Indonesia, kesejahteraan hewan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan Pasal 83 ayat 1 dan 2. Dalam PP ini disebutkan bahwa:

(1) Kesejahteraan hewan diterapkan terhadap setiap jenis hewan yang kelangsungan hidupnya tergantung pada manusia yang meliputi hewan bertulang belakang dan hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit.

(2) Kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menerapkan prinsip kebebasan hewan yang meliputi bebas:

(a) dari rasa lapar dan haus;

(b) dari rasa sakit, cidera, dan penyakit;

(c) dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan;,

(d) dari rasa takut dan tertekan; dan untuk mengekspresikan perilaku alaminya.

Mengenai perlindungan hewan, terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 66A yang melarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Ppasal 302 KUHP menyebutkan bahwa perbuatan yang mengakibatkan hewan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan. Namun sayangnya, penerapan undang-undang ini tidak tegas dan pelaporan atas kasus penganiayaan hewan cenderung diremehkan oleh pihak kepolisian.

Doni Herdaru Tona, pendiri Animal Defender Indonesia, pada salah satu sesi talkshow bertema “Penganiayaan Hewan Terjadi Lagi, Kita Harus Apa?” mengatakan, ia kerap kali melaporkan kasus penganiayaan hewan dan mendapatkan bahwa penegak hukum, setidaknya di tingkat Polsek dan Polres, “mengecilkan” pelaporan yang dilakukannya. . Selain itu, penegak hukum juga jarang yang “melek” bahkan tahu, bahwa ada undang-undang yang melindungi kesejahketraan hewan.

Namun, keberhasilan para pejuang kesejahteraan hewan akhirnya mencapai puncaknya pada kasus penganiayaan kucing Tayo di Medan, saat majelis hakim menjerat pelaku kejahatan selama 2 tahun 6 bulan, periode terlama yang diterima pelaku kekerasan hewan sampai saat ini.

Walau dari sisi hukum di Indonesia menurut Doni masih banyak hal yang bisa diperbaiki lebih baik lagi, namun masyarakat juga harus aktif melaporkan kasus-kasus penyiksaan hewan yang terjadi di sekitarnya.

“Jangan takut untuk melapor, karena kasus penelantaran dan penyiksaan hewan dinaungi hukum. Yang penting pelapor membawa bukti, misalnya berupa buku vaksin, atau riwayat pemeriksaan ke dokter yang menunjukkan bukti kepemilikan hewan. Membawa 2 saksi, dan juga memberi keterangan dari dokter hewan yang mengenal hewan peliharaan juga perlu untuk administrasi pelaporan,” tambah Francine Widjojo, S.H., M.H, Juru Bicara DPP Partai Solidaritas Indonesia bidang Perlindungan Hewan.

Kaitan Kesejahteraan Hewan dan Manusia

Sebuah tulisan di Psychology Today menyebutkan bahwa hampir semua pelaku kejahatan yang sadis memiliki riwayat kekejaman terhadap hewan di profil mereka.

Mirisnya, hasil riset dari Asia Animal for Coalition menyebutkan bahwa Indonesia membuat “prestasi” sebagai negara peringkat pertama yang paling banyak mengunggah konten kekerasan terhadap hewan di dunia. Dari 5.480 konten yang dikumpulkan pada Juli 2020 sampai Agustus 2021 dari YouTube, Facebook, dan TikTok, sebanyak 1.626 diantaranya berasal dari Indonesia. Data ini tentu saja mengkhawatirkan, karena dapat menjadi gambaran tentang kondisi sebagian masyarakat Indonesia yang kurang dapat berempati kepada sesama makhluk hidup.

Hal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah zoonosis, yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, dan sebaliknya. Menurut Menurut data dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 60 persen penyakit di manusia merupakan zoonosis. Tak hanya dari hewan liar dan hewan yang hidup di sekitar rumah tapi tidak dipelihara, zoonosis juga dapat ditularkan oleh hewan peliharaan. Karena itu, memastikan hewan peliharaan dirawat dengan baik dan kesejahteraannya diperhatikan akan mengurangi potensi penularan zoonosis.

Penelitian pada tahun 2020 juga menunjukkan bahwa hewan-hewan ternak yang diternakkan dalam kondisi tidak layak akan membuat mereka menjadi stres dan meningkatkan produksi hormon kortisol di dalam tubuhnya. Dampak dari kondisi ini adalah adanya penurunan kualitas daging terutama pada keempukkan dan warna daging. Ini menjadi bukti lain bahwa jika kesejahteraan hewan tidak diperhatikan, maka kesejahteraan manusia pun bisa terganggu.

Infografik Kesejahteraan Hewan di Indonesia

Infografik Kesejahteraan Hewan di Indonesia. tirto.id/Tino

Saatnya Mengubah Pola Pikir Terkait Konsumsi Daging Anjing

Salah satu isu krusial yang juga saat ini tengah menjadi sorotan berkaitan dengan kesejahteraan hewan adalah konsumsi daging anjing. Menurut data dari Koalisi Dog Meet Free Indonesia (DMFI), sekitar tujuh persen dari orang Indonesia mengonsumsi daging anjing. Konsumsi daging anjing banyak ditemui di daerah-daerah yang menyebut bahwa mengonsumsi daging anjing sudah merupakan tradisi di daerah tersebut, seperti di provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Bali serta di kota Solo.

Baca juga: Bisnis Daging Anjing Bernilai Miliaran

Anita Santa F. Panggabean, seorang pegiat edukasi perlindungan dan kesejahteraan hewan yang berasal dari suku Batak, tak menampik bahwa mengonsumsi anjing banyak dilakukan orang dari suku Batak. “Saya pernah dibilang bukan orang Batak karena tidak mengonsumsi daging anjing, karena bagi saya, anjing adalah teman,” ujar pendiri Toba Animal Friends ini.

Walaupun demikian, Anita tidak setuju jika dikatakan bahwa mengonsumsi daging anjing merupakan tradisi dari masyarakat Batak. Untuk mempelajari tentang budaya suku Batak terutama mengenai konsumsi daging anjing, ia tak segan mendatangi berbagai institusi serta komunitas adat dan agama, termasuk ke komunitas agama kepercayaan Parmalim serta ke gereja Batak HKBP. Hasilnya, tidak ada menu daging anjing yang disediakan saat dilangsungkan ulaon, yaitu upacara adat seperti pernikahan pembaptisan, atau kematian dalam tradisi Batak.

“Daging hewan bertaring, seperti babi lokal dan anjing, baru mulai dikonsumsi pada zaman perang saat masyarakat kekurangan sumber pangan sehingga apa saja mereka makan. Hal ini terutama dilakukan para pekerja paksa zaman penjajahan Belanda. Saat beristirahat, mereka biasa kumpul di gubuk-gubuk dan makan apa saja yang bisa dimakan, termasuk daging anjing. Gubuk-gubuk inilah yang merupakan cikal bakal lapo,” cerita Anita.

Tak berbeda dengan di suku Batak, kebiasaan mengonsumsi makan daging anjing juga muncul di kota Solo bersamaan dengan kehadiran Belanda. Padahal, daging anjing sendiri bukanlah merupakan bahan pangan karena bukan merupakan hewan ternak tapi hewan peliharaan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018.

Namun menurut Adrianus Hane, Koordinator Wilayah Jawa dari Koalisi DMFI, saat ini aturan hukum dari pemerintah Indonesia mengenai perdagangan daging anjing memang belum tegas.

“Saat ini memang sudah ada berbagai surat edaran dari pemerintah berbagai daerah di Indonesia mengenai larangan perdagangan dengan anjing. Kami harap ini bisa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, sehingga akhirnya menjadi isu nasional dan mendapat perhatian pemerintah pusat. Memang prosesnya masih sangat panjang, tapi kami optimis hal ini bisa terwujud,” kata Adhi.

Seperti yang dikatakan Doni pada sesi talkshow, sudah saatnya manusia mengubah pola pikir sesuai zamannya. Di peradaban sebelumnya, daging anjing memang pernah “lumrah” menjadi sumber makanan. Namun, di masa yang modern ini, Doni menghimbau agar manusia lebih baik berpikir ulang mengenai pemikiran bahwa anjing adalah makanan. Kehidupan modern sampai saat ini, menurutnya, sudah mengajarkan manusia untuk memiliki nilai etika yang lebih daripada yang dimiliki masyarakat sebelumnya, termasuk dalam memutuskan bagaimana hewan seharusnya diperlakukan.

Baca juga artikel terkait PENYIKSAAN HEWAN atau tulisan lainnya dari Yunita Lianingtyas

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Yunita Lianingtyas
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Lilin Rosa Santi