Menuju konten utama

Dunia Modern yang Dikepung Limbah Elektronik

Perangkat elektronik, adalah bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Ia membuat hidup manusia lebih mudah. Sayangnya, ia juga bisa membuat hidup manusia sengsara karena lmbahnya.

Dunia Modern yang Dikepung Limbah Elektronik
Sampah elektronik di China. REUTERS/Stringer

tirto.id - Meningkatnya penggunaan barang-barang elektronik memunculkan masalah seputar penanganan limbahnya. Berton-ton limbah elektronik kini dibuang begitu saja, tanpa diolah dengan benar sehingga bisa memunculkan masalah lingkungan yang tidak kalah berbahaya.

Dalam laporan berjudul “The Global E-Waste Monitor” yang digagas United Nation University, limbah elektronik merupakan frasa yang digunakan untuk merujuk pada semua barang elektrik atau perangkat elektronik dan bagian-bagiannya yang telah dibuang oleh sang pemilik tanpa ada niatan untuk mendaur-ulang atau menggunakannya kembali.

Diberitakan perhitungan The World Count, sejak umat manusia memulai tahun 2017 hingga 6 Maret, sebanyak 7 juta ton limbah elektronik sudah dihasilkan. Menurut data yang dilansir Electronics TakeBack Coalition, setiap tahun diperkirakan 20 juta hingga 50 juta metrik ton limbah elektronik dibuang di seluruh dunia.

Ruediger Kuehr dari UN University mengungkapkan beberapa alasan penyebab meningkatnya limbah elektronik di Asia, salah satunya adalah singkatnya siklus produk elektronik. Masalah inilah yang disoroti oleh Greenpeace. Menurut laporan Greenpeace USA dan iFixit, hanya 2 dari 13 model telepon pintar yang baterainya mudah untuk dilepas dan diganti baterai baru. Sebuah komponen yang rusak, dalam hal ini baterai, artinya mengganti seluruh komponen dengan unit baru. Atau, dengan kata lain, alih-alih memperbaiki perangkat elektronik yang rusak, konsumen kini lebih memilih membeli perangkat yang baru.

Di AS, masa pakai telepon pintar rata-rata 26 bulan. Sementara kepemilikan smartphone ditaksir bisa naik menjadi 6,1 miliar unit pada tahun 2020, atau sekitar 70 persen dari populasi global.

"Bila semua smartphone yang diproduksi selama satu dekade terakhir masih berfungsi baik, maka itu akan cukup untuk setiap orang di planet ini. Konsumen didorong untuk meng-upgrade model ponselnya terus-menerus sehingga rata-rata ponsel hanya digunakan dua tahun lebih. Imbasnya, bumi menjadi rusak," kata Juru Kampanye Korporasi Senior Greenpeace Elizabeth Jardim.

Singkatnya siklus hidup barang elektronik ini mungkin dikaitkan dengan jenis peralatan yang semakin tidak mudah diperbaiki. Diwartakan Wired, saat manusia mengenal tower komputer dari HP atau komputer MacMini dari Apple, memperbaiki perangkat-perangkat tersebut dan sejenisnya, bukanlah perkara yang susah untuk dilakukan. Selain itu, aspek modular atau mengganti hanya bagian yang rusak juga populer di kala tersebut. Namun, sejak pertengahan dekade 2000an, semuanya berubah. Tatkala Apple memperkenalkan Macbook Air dengan desain yang super-tipis dan super-ringan, dan diikuti oleh perusahaan-perusahaan teknologi lain, memperbaiki perangkat yang rusak menjadi jauh lebih susah daripada membeli yang baru.

Infografik Sampah Elektronik

Kyle Wiens dari iFixit, sebuah situsweb yang mendedikasikan untuk membuat konten-konten yang berisi cara memperbaiki suatu kerusakan pada perangkat elektronik mengungkapkan, “masalah terbesar dari industri elektronik adalah menghadapi kenyataan bahwa produk (elektronik) semakin tipis dan tipis.” Ia pun menambahkan, “ini (perangkat yang kian tipis) bagus bagi konsumen tapi mimpi buruk bagi pendaur-ulang.”

Sebenarnya, dalam kondisi demikian baik konsumen maupun produsen memperoleh keuntungannya sendiri. Konsumen memperoleh perangkat baru dengan desain dan teknologi baru, produsen pun mendapatkan untung dari perangkat yang terjual tersebut. Namun, lingkungan yang akan terkena dampaknya.

Wired mengungkapkan, perangkat-perangkat elektronik memiliki kandungan mineral-mineral yang berbahaya, seperti merkuri, kadmium, fosfor, arsenik, dan beragam kandungan berbahaya lainnya. Selain itu, tercatat hanya 5 persen kandungan-kandungan metal dalam perangkat elektronik yang didaur-ulang. Dengan kemampuan dekomposisi yang mencapai angka lebih dari 20 tahun, kandungan-kandungan metal yang tidak didaur-ulang akan membuat masalah berbahaya di kemudian hari.

Membuang perangkat elektronik, sama artinya melepaskan kandungan-kandungan berbahaya tersebut ke dalam tanah yang kita tinggali, dan juga turut meresap pada air tanah yang kita gunakan untuk minum.

Ini patut diwaspadai mengingat pembuangan sampah-sampah elektronik masih dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Sebagaimana diberitakan The Guardian, 90 persen limbah elektronik dibuang secara ilegal. Negara-negara di wilayah Asia merupakan salah satu tempat favorit bagi negara-negara maju membuang limbah elektronik mereka.

Diwartakan AMTA, Australia mengirimkan 12 kapal kargo yang membawa limbah elektronik dengan tujuan pelabuhan-pelabuhan di Asia. Selain itu, sebagaimana diberitakan PRI, dalam tiga tahun terakhir semenjak 2016, setidaknya 21 kapal kargo bermuatan limbah elektronik yang tiba di pelabuhan di Hongkong, dikirim balik kembali ke Amerika Serikat.

Limbah elektronik yang dihasilkan Amerika Serikat, dibuang ke negara-negara seperti Cina, Thailand, Pakistan, Taiwan, Kenya, dan Meksiko. Bloomberg mewartakan, pada 2013, 129.000 ton limbah elektronik asal Amerika Serikat, dibuang ke Meksiko.

Dengan fakta-fakta demikian, semakin modern-nya peradaban kini dengan berbagai perangkat elektronik yang menemani, justru semakin menjauhkan umat manusia dari nilai-nilai keberlanjutan yang dibutuhkan lingkungan.

Perlu dipikirkan ulang, apakah manusia jauh lebih membutuhkan perangkat elektronik semacam iPhone, iPad, MacBook, televisi, lemari es, dan sebagainya. Ataukah manusia justru lebih membutuhkan lingkungan alam yang memiliki udara segar, tanah subur, dan air jernih yang mengalir di sungai-sungai.

Baca juga artikel terkait LIMBAH atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti