tirto.id - Ada tiga nama yang patut diingat dari Final Liga Champions 2011/2012. Pertama, Didier Drogba. Tanpa golnya di menit-menit akhir babak kedua, mustahil Chelsea bisa selamat mengarungi 90 menit yang menegangkan di Allianz Arena. Leher anak-anak asuhan Roberto Di Matteosudah tercekik saat tandukan aneh Thomas Mueller nyelonong masuk ke celah sempit gawang Chelsea: bola memantul ke tanah lalu kembali memantul mistar pojok kanan pada menit ke-83.
Hampir sepanjang pertandingan Chelsea kalah dalam penguasaan bola. Drogba membuat pendukung Chelsea percaya bahwa keajaiban itu ada. Golnya tidak hanya menyamakan skor jadi 1-1, tapi juga membuat pemain-pemain Chelsea percaya bahwa gelar Liga Champions bukan hal mustahil untuk klub-klub yang belum pernah menjuarainya sejak 1992.
Nama kedua adalah Petr Cech. Melalui tangannya, Chelsea berhasil mengarungi dua kali babak tambahan dengan selamat. Chelsea sudah putus asa ketika Drogba menjegal kaki Frank Ribery di kotak penalti. Semua sadar, akan sangat sulit jika harus kebobolan di babak perpanjangan semacam ini. Apalagi anak-anak asuhan Jupp Heynkness begitu beringas karena partai final diadakan di kandang mereka sendiri. Ajaibnya, Arjen Robben gagal menghadapi tekanan hebat pada duel tendangan penalti di hadapan Cech. Eksekusinya begitu lemah dengan arah yang begitu mudah diterka.
Pemain-pemain Chelsea di bench pun bersorak. Di saat itulah kamera menyorot John Terry. Sosok ketiga yang patut diingat pada laga yang akan tercatat untuk sejarah klub. Tentu saja diingat di sini bukan karena kontribusinya di laga final. Ia absen di laga final karena akumulasi kartu. Ia akan diingat karena caranya merayakan keberhasilan Chelsea meraih gelar Liga Champions untuk kali pertama melalui drama adu penalti.
Terry melepas pakaian pemain cadangannya (walau ia tidak masuk sebagai pemain cadangan), menggunakan kostum lengkap dengan sepatu, kaos kaki dan ban kapten, lalu masuk ke dalam lapangan, ikut bersorak-sorak. Tak hanya itu, ia juga berusaha mengambil trofi Liga Champions dari tangan Frank Lampard saat penyerahan piala.
Terry bukan pemain Chelsea yang ikut bertarung malam itu. Kehadirannya bukan karena disimpan atau sedang cedera, pemain binaan akademi West Ham United ini ada di bangku penonton karena kebodohannya sendiri. Di partai semifinal, saat Chelsea bertandang ke Nou Camp melawan klub paling menakutkan saat itu, FC Barcelona, Terry melakukan tindakan konyol.
Dalam tekanan luar biasa karena dikurung habis-habisan oleh anak-anak asuhan Josep Guardiola, pada menit ke-37 wasit mendadak menghentikan pertandingan. Semua tidak tahu apa yang terjadi sampai kemudian Cuneyt Cakir, wasit yang memimpin laga itu, mengeluarkan kartu merah langsung untuk Terry.
Awalnya, ada simpati untuk kartu merah Terry. Apalagi lawan Chelsea malam itu, Barcelona, punya citra buruk soal kepemimpinan wasit pada laga-laga krusial Liga Champions. Tentu saja masih lekat dalam ingatan bagaimana Chelsea dikerjain habis-habisan oleh Tom Henning Ovrebo, wasit saat laga semifinal Chelsea-Barcelona musim 2008/2009 di Stanford Bridge. Laga yang kemudian membuat Drogba mencak-mencak tak karuan usai pertandingan karena tidak rela timnya gugur usai gol Andres Iniesta mengantarkan Barcelona lolos ke final.
Akan tetapi citra buruk Barcelona itu tidak berlaku begitu tayangan ulang muncul. Semua simpati untuk Terry segera lenyap tak berbekas. Lututnya, iya lutut Terry, tampak dengan sengaja menyerang Alexis Sanchez, penyerang Barcelona saat itu. Gerakan Terry bukan gerakan layaknya atlet sepakbola, gerakannya adalah gerakan atlet UFC yang hendak mematahkan tulang belakang pemain lawan. Gerakan Terry bukan upaya menghambat serangan atau menahan pergerakan pemain lawan, gerakan ini mutlak serangan untuk mencederai.
Gilanya lagi, Terry melakukannya pada situasi genting karena Chelsea sudah kebobolan satu gol dan—sekali lagi—ada ban kapten melingkar di lengan kirinya. Bahkan pemain sekeras Roy Keane atau Joey Barton sekalipun akan berpikir dua kali untuk meniru tindakan konyol ini.
Kartu merah ini jelas merugikan posisi Chelsea. Menghadapi Barcelona dengan skuat terbaik saja sudah sulit, apalagi jika hanya dengan 10 pemain di hadapan puluhan ribu tekanan pendukung lawan. Jika Chelsea kalah, maka melemparkan beban kesalahan ke wajah Terry adalah wajar. Ini jelas tidak sama dengan kesialannya saat gagal mengeksekusi tendangan penalti di Final Liga Champions 2007/2008 menghadapi Manchester United.
Sepeninggal Terry, keajaiban-keajaiban pun malah hadir menaungi Chelsea. Dari kegagalan eksekusi penalti Lionel Messi, sampai gol dramatis Fernando Torres yang membuat Garry Neville, komentator malam itu, cuma mampu berteriak-teriak layaknya sedang orgasme. Chelsea pun pada akhirnya sampai ke Munich untuk menyongsong gelar juara yang membuatnya sejajar dengan klub-klub besar Eropa yang pernah meraih Si Kuping Besar, sebutan untuk trofi Liga Champions.
Ya, Terry absen dalam laga menentukan yang bersejarah bagi Chelsea di pentas Eropa. Bahkan ia pun absen lagi ketika Chelsea meraih juara Liga Europa 2012/2013, satu tahun setelah mereka juara Liga Champions. Sekali lagi, Terry kembali mengulangi perayaan tanpa bertanding karena harus absen akibat cedera pergelangan kaki.
UEFA memang tidak melarang pemain yang terkena sanksi atau tidak bermain di laga final untuk ikut perayaan juara di lapangan, asalkan sang pemain menggunakan jersey dan peralatan lengkap. Uniknya, dalam dua tahun itu, Terry selalu mengenakan semua atribut untuk membuatnya berhak mengangkat dua trofi supremasi tertinggi Eropa secara berturut-turut dan berteriak kegirangan seolah ia juga ikut berjuang di atas lapangan.
Bahkan Roy Keane, yang bermain luar biasa di semifinal Liga Champions 1999 saat menghadapi Juventus, dengan mencetak gol dan menjagal Zidane habis-habisan sehingga harus menerima kartu kuning, yang membuatnya harus absen di final vs Bayern Muenchen, tetap mengenakan setelan jas dan dasi saat rekan-rekannya merayakan kemenangan dramatis 2-1 di Nou Camp.
Tentu saja pemain yang kini berusia 36 tahun ini tetap punya kontribusi positif untuk Chelsea. Secara raihan gelar, ia jauh lebih baik dari pemain sekaliber Giofranco Zola, Gianluca Vialli, atau Marcel Desailly di Chelsea. Bahkan, Terry juga terpilih sebagai anggota Tim Terbaik Duna versi FIFPro selama empat musim berturut-turut sejak 2005 sampai 2008.
Untuk urusan teknis, Terry selesai di sana. Ia memang betul-betul punya kualitas mumpuni sebagai seorang pemain bertahan. Tetapi, seorang legenda tidak bisa diukur hanya dari raihan gelar atau alasan ban kapten yang melingkar di lengan kirinya saja.
Paolo Maldini, Javier Zanetti, atau Xavi Hernandez menjadi legenda bukan hanya karena kualitas sebagai pemain, namun juga kualitas sebagai manusia yang tidak akan pernah meniduri mantan kekasih rekan setimnya, tidak akan mempermalukan dirinya demi masuk dalam frame dokumentasi selebrasi juara, dan akan selalu punya kharisma luar biasa karena perilakunya jauh dari skandal.
Maka ketika Chelsea dikabarkan tidak akan memperpanjang kontrak Terry pada akhir musim ini, bisa dikatakan ini adalah langkah yang seharusnya diambil sejak awal musim lalu. Sebab, hanya dimainkan dalam lima pertandingan musim ini menunjukkan bahwa Terry sebenarnya memang sudah tidak masuk dalam rencana Antonio Conte sejak awal.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS