tirto.id - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berwewenang untuk menentukan nilai jumlah penghasilan wajib pajak (WP). Namun, kewenangan tersebut hanya diberlakukan apabila wajib pajak tidak menunjukkan catatan maupun tidak bersedia menyerahkan jumlah pendapatannya dalam pembukuan saat diminta.
Ketentuan itu sejalan dengan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung Peredaran Bruto. Sesuai dengan aturan tersebut, para wajib pajak, baik badan maupun orang pribadi, memang wajib menyelenggarakan pembukuan.
Ada pengecualian untuk peredaran usaha dengan maksimal Rp4,8 miliar per tahun, karena tarifnya yang 1 persen final sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
“Sebetulnya PMK itu untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan, sehingga tidak adanya metode-metode penarikan pajak yang tidak jelas. Ini untuk melindungi wajib pajak dari penghitungan yang asal,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama kepada Tirto pada Jumat (2/3/2018).
Setidaknya ada delapan metode yang dapat digunakan Ditjen Pajak Kemenkeu untuk menaksir jumlah pendapatan wajib pajak per tahunnya.
Kedelapan cara itu meliputi data transaksi tunai dan nontunai, sumber dan penggunaan dana, satuan dan/atau volume yang dihasilkan wajib pajak dalam setahun, penghitungan biaya hidup, pertambahan kekayaan bersih, Surat Pemberitahuan (SPT) pada tahun sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, serta penghitungan rasionya.
“Tentu cara lain seperti itu terpaksa dilakukan apabila [wajib pajak] tidak ada pembukuannya, karena [pembukuan] itu wajib. Kalau tidak ada, lalu bagaimana orang pajak mau menghitungnya?” ungkap Hestu.
Oleh karena itu, Hestu menyatakan bahwa penentuan jumlah penghasilan oleh Ditjen Pajak Kemenkeu bisa tidak dilakukan apabila wajib pajak memperbaiki pembukuannya serta bersikap kooperatif.
Kewenangan Ditjen Pajak Kemenkeu tersebut sebenarnya juga telah tertuang dalam Pasal 14 ayat 5 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Di situ dituliskan bahwa wajib pajak yang tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan, serta tidak memperlihatkan pencatatan maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Untuk peredaran brutonya, dihitung dengan cara lain sebagaimana diatur dalam PMK.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari