Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Hunayn ibn Ishaq, Syekh Para Penerjemah

Di masa kekhalifahan Abbasiyah, Hunayn ibn Ishaq adalah penerjemah naskah ilmiah Yunani klasik paling produktif.

Hunayn ibn Ishaq, Syekh Para Penerjemah
Ilustrasi manuskrip Hunayn Ibn Ishaq. tirto.id/Sabit

tirto.id - Apa jadinya ilmu pengetahuan tanpa kehadiran penerjemah? Penemuan-penemuan fenomenal yang dituliskan dalam satu bahasa tak akan bisa dipahami oleh umat manusia yang menggunakan bahasa lain.

Teori-teori yang ditemukan di Eropa, tak akan dipahami bangsa Arab, India, atau Cina. Begitu juga sebaliknya. Kehadiran penerjemah membuat distribusi ilmu pengetahuan semakin luas. Ia menerabas batas-batas bahasa yang menjadi kendala.

Di masa kekhalifahan Abbasiyah, sekitar tahun 800-an masehi, muncul minat yang tinggi untuk mempelajari ilmu pengetahuan dari Yunani. Saat itu, ada banyak sekali literatur Yunani kuno tentang matematika, filsafat, hingga kedokteran yang belum diterjemahkan. Hanya segelintir ilmuwan Timur tengah yang bisa bahasa Yunani dan mempelajarinya. Pada waktu itu, sebuah gerakan penerjemahan yang masif dan teratur sangat dibutuhkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Tahun 809, lahir seorang anak laki-laki di keluarga Arab Nestorian—sebutan untuk bangsa Arab beragama Kristen—di Al-Hira. Anak itu diberi nama Hunayn ibn Ishaq. Al-Hira adalah sebuah kota kuno di Mesopotamia. Saat ini, kota itu bernama Kufah, bagian dari Irak. Dahulu, kota itu dikenal sebagai kota perdagangan dan perbankan.

Hunayn kecil belajar bahasa Arab dan Suriah. Saat beranjak dewasa, ia merantau ke Bagdad untuk belajar ilmu kedokteran. Saat itu, ibukota pemerintahan ada di Bagdad. Ia belajar di sekolah kedokteran swasta. Hunayn lalu mendapat kehormatan untuk belajar langsung dari dokter terkenal Yuhanna ibn Masawayh. Namun, hubungannya dengan Yuhanna tak begitu baik. Hunayn dianggap terlalu banyak bertanya sehingga membuat gurunya kesal dan enggan mengajarinya lagi.

Hunayn pergi ke Yunani untuk melanjutkan studinya di bidang kedokteran sekaligus belajar Bahasa Latin. Ia membaca dan mempelajari naskah-naskah ilmiah Yunani dan ingin sekali menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab dan Suriah.

Khalifah Abbasiyah al Mamun melihat bakat itu. Hunayn lalu ditempatkan di House of Wisdom atau Bayt al Hikmah. Ia adalah sebuah institusi yang menerjemahkan karya-karya Yunani. Hunayn juga diberi kesempatan melakukan perjalanan ke Byzantium guna mencari tambahan manuskrip seperti yang dimiliki Aristoteles dan penulis terkemuka lainnya.

Hunayn menjadi penerjemah paling produktif di masanya. Sepanjang hidupnya, ada 116 naskah telah diterjemahkannya ke dalam Bahasa Arab dan Suriah. Beberapa di antara naskah itu adalah Perjanjian Lama, Metafisika Aristoteles, hingga Timaeus yang ditulis Plato.

Dalam upayanya menerjemahkan sebanyak mungkin naskah dari bahasa Yunani, Hunayn dibantu oleh anaknya, Ishaq ibn Hunayn dan keponakannya Hubaysh. Mereka memiliki alur kerja tersendiri. Hunayn bertugas menerjemahkan naskah dari bahasa Yunani ke Suriah. Keponakannya melanjutkan menerjemahkan naskah dari bahasa Suriah itu ke bahasa Arab. Ishaq, anaknya, mengoreksi hasil terjemahan.

Berbeda dengan penerjemah pada umumnya di masa itu, Hunayn menolak menerjemahkan teks sesuai kata demi kata. Ia biasanya menuliskan ulang, dengan bahasa yang lebih sesuai, tetapi tak mengubah makna.

Hunayn dikenal sebagai seorang penerjemah dan ilmuwan yang memiliki reputasi, etika, dan integritas. Suatu kali, Khalifah Al-Mutawakil menguji integritas Hunayn. Ia menawarkan imbalan cukup besar bagi Hunayn jika mau meramu racun mematikan yang bisa digunakan khalifah untuk membunuh musuh-musuhnya.

Hunayn menolak. Menurutnya, ilmu kedokteran dan obat-obatan yang telah dipelajarinya akan digunakan untuk menyembuhkan, bukan membunuh, meskipun membunuh seorang musuh. Al-Mutawakil lalu mengancam akan menghukumnya dan terus mendesak Hunayn untuk membuat racun.

Semakin didesak, Hunayn semakin tak goyah. Dengan nada marah, ia menjelaskan bahwa seorang dokter disumpah untuk tidak memberikan obat yang merugikan atau mematikan. Khalifah lalu mengancamnya untuk dimasukkan ke penjara dan akan dieksekusi jika menentang. Saat Hunayn mengatakan ia lebih baik mati daripada melanggar etika profesi, barulah Al-Mutawakil mengatakan bahwa ia hanya sedang menguji integritas Hunayn. Kisah itu dituliskan oleh David W. pada 2003 dalam Hunayn ibn Ishaq: The Great Translator.

Infografik Hunayn Ibn Ishaq al ilmu

Jasa Hunayn dalam perkembangan pengetahuan di era kekhalifahan bukan hanya naskah-naskah terjemahan yang membuatnya mendapat julukan “Syekh Para Penerjemah”. Hunayn juga menulis 29 buku tentang berbagai topik tentang kesehatan dan menyusun indeks tulisan Galenik yang berharga dan tersedia dalam bahasa Arab dan Suriah.

Ia juga menulis sepuluh risalah tentang fisiologi, anatomi dan perawatan mata. Risalahnya tentang perawatan mata merupakan karya paling awal yang mencakup grafik anatomi mata. Ia memberi pengaruh pada perkembangan oftalmologi, tak hanya di dunia Islam, tetapi juga di Eropa.

Hunayn memang bukan seorang muslim, tetapi ia memberi kontribusi penting bagi era Kekhalifahan Abbasiyah. Ia meninggal di Bagdad pada 873, di usia 64 tahun. Dia tidak hanya meninggalkan warisan terjemahan dan karya orisinal, tapi kekokohan sikapnya semasa hidup membantu menetapkan standar perilaku etis untuk profesi tenaga medis yang ada sampai hari ini.

Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti dan pemikir Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam—melalui para sarjana dan pemikir muslim—pernah, sedang, dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Humaniora
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani