Menuju konten utama
K O N F R O N T A S I

Bobroknya Omnibus Law: Kepentingan Parpol di atas Tuntutan Rakyat

Omnibus Law diteruskan begitu saja, RKUHP tidak dibahas. Pemerintah mengabaikan desakan publik.

Bobroknya Omnibus Law: Kepentingan Parpol di atas Tuntutan Rakyat
Ilustrasi Omnibus Law. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956 kekesalan Sukarno sudah di ubun-ubun. Wacananya cukup gila. Sebagai kepala negara, dia malah mengajak rakyat ramai-ramai membubarkan partai politik.

“Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!" teriak Sukarno.

Berdasarkan Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010), Sukarno begitu geram dengan partai politik yang memperjuangkan kepentingan sendiri. Partai-partai peserta Pemilu 1955 saling sikut baik di eksekutif maupun legislatif mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Dua hari setelah pidato itu, Sukarno mengenalkan konsep Demokrasi Terpimpin. Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2005) mencatat konsep ini mulai dikampanyekan oleh Sukarno pada pertengahan 1957.

Demokrasi Terpimpin menguatkan pengambilan keputusan oleh presiden. Bagi beberapa pihak, konsep ini justru berlawan dengan demokrasi dan justru mendekatkan Sukarno pada predikat diktator. Salah satu partai yang menolak wacana ini adalah Masyumi.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan, era Demokrasi Terpimpin resmi berlaku di Indonesia. Masyumi yang menentang Sukarno terkena imbasnya. Melalui surat Keputusan Presiden Nomor 200 tahun 1960, Masyumi resmi dibubarkan.

Demokrasi parlementer ala 1950-an memang sudah berakhir dan Demokrasi Terpimpin ala Sukarno boleh saja dibilang gagal, tapi ada satu watak parpol yang tak berubah sampai sekarang: kendati mengatasnamakan rakyat, parpol lebih suka mengutamakan kepentingannya sendiri.

DPR Tak Peduli Penolakan Rakyat

Tingkat kepercayaan DPR yang rendah bukan kabar baru. Bila sebaliknya, mungkin justru patut diragukan. Lazimnya, anggota DPR selalu mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat yang dipercaya konstituen. Tapi hasil ini tidak berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan masyarakat pada kinerja mereka di parlemen.

Pada periode 2009-2014, Poltracking Institute melakukan survei terkait kepuasan masyarakat pada hasil kerja DPR. Angka yang muncul hanyalah 12,64 persen. Dengan perolehan tersebut, kinerja DPR masuk dalam kategori sangat buruk. Lembaga survei lain, Institut Riset Indonesia, bahkan mencatat sebanyak 81,4 persen respondennya tidak puas terhadap kinerja DPR.

Kini situasinya kian parah. Berdasarkan sigi Lembaga Survei Indonesia, tingkat kepercayaan masyarakat pada DPR periode 2014-2019 hanya 40 persen dari 1.010 orang responden. Sedangkan mereka yang tak percaya dengan hasil kerja DPR mencapai 45 persen.

DPR periode 2019-2024 harusnya punya pekerjaan besar memulihkan kepercayaan masyarakat. Namun faktanya, mereka justru meneruskan warisan kebobrokan tersebut.

Tingkat kepercayaan terhadap DPR menurun pada periode sebelumnya karena beberapa faktor. Dua di antaranya adalah pengesahan revisi UU KPK yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah dan usaha mengesahkan Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) yang baru dan dianggap merugikan masyarakat.

Belakangan, publik ramai-ramai menolak DPR untuk mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Alasan DPR semata-mata karena sulit. Padahal kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan masih banyak. Tahun 2019 saja setidaknya ada 4.898 kasus kekerasan seksual.

Selain itu DPR juga meneruskan pembahasan Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja kendati banyak penolakan. Masalah yang cukup menjadi sorotan ada pada klaster ketenagakerjaan.

Perkara itu diantaranya: pertama, adanya penghilangan upah minimum provinsi. Kedua, soal jam kerja yang mematok maksimal 8 jam sehari, tapi tanpa keterangan batasan berapa hari dalam seminggu. Aturan yang terbaru malah mencatat buruh bisa bekerja sampai 6 hari. Ketiga, skema pesangon yang tidak jelas. Bisa jadi jumlah pesangon berkurang bahkan kompensasi yang harusnya diberikan pada buruh yang di-PHK menghilang.

Perkembangan terakhir, beberapa organ buruh sudah menarik diri dari pembahasan Omnibus Law. Alasannya, tidak tercapai kesepakatan dengan pengusaha. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, Apindo dan KADIN bahkan terkesan arogan dan tidak memberitahu buruh apa yang mereka mau untuk mencapai jalan tengah. DPR juga belum mencapai pembahasan tentang klaster tenaga kerja. Pembahasan terbaru, mereka masih mengkaji klaster pertanahan.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), 52 persen dari 2.215 responden mendukung Omnibus Law. Menurut SMRC, perdebatan Omnibus Law bukan pada substansi, tapi justru bersifat politis. Sebagian yang setuju adalah pendukung Jokowi, sebagian yang tidak setuju adalah pendukung Prabowo dalam Pilpres 2019.

Namun dalam survei SMRC sebelumnya, dari 2.003 responden, hanya 20 persen orang yang tahu soal Omnibus Law. Mereka yang setuju atau tidak belum tentu tahu soal pasal-pasal bermasalah dalam undang-undang tersebut.

Pada periode lalu, DPR dan pemerintah juga sepakat untuk menunda pengesahan RKUHP. Dengan begini RKUHP diwariskan pada DPR periode sekarang. Namun sampai detik ini, tidak ada pembahasan lagi soal RKUHP. Padahal bukan saja pekerjaan rumah periode lalu harus dituntaskan, tapi RKUHP juga menyandera RUU PKS.

Tidak sepenuhnya benar jika dua RUU ini dibuat demi menguntungkan masyarakat. Dalam salah satu aturan RKUHP, koruptor mendapat hukuman yang lebih minim daripada di UU KPK. Pelaku korupsi biasa terdiri dari pengusaha, pejabat publik, termasuk juga anggota DPR. Di periode lalu, lembaga parlemen bahkan mencetak 254 koruptor yang berasal dari anggota DPR dan DPRD. Dengan adanya aturan ini, anggota parlemen bisa bernapas lebih lega karena hukuman mereka mungkin tidak sebanding dengan uang yang mereka terima.

Begitu pula dengan Omnibus Law. Mereka yang ngotot mengesahkan aturan ini bukan berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organ pekerja, tapi pemerintah dan DPR. Jokowi sangat berharap Omnibus Law bisa lolos demi memudahkan investasi. Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan perpanjangan tangan Jokowi lantas melakukan safari politik, bertemu pimpinan partai oposisi demi memuluskan lajur Omnibus Law di DPR.

Bagi pemerintah dan DPR, yang perlu mendapat penjelasan terkait Omnibus Law bukan rakyat terlebih dahulu, tapi justru para elite. Bagaimanapun, mereka yang nantinya akan membuat keputusan.

Jika ditilik lebih detail, sebenarnya tidak heran jika kinerja DPR sekarang sama-sama mengecewakan atau mengabaikan desakan publik dengan periode sebelumnya.

Lebih dari setengah anggota DPR, yaitu sebanyak 298 (50,26 persen), diisi wajah lama dan hanya 286 (49,74 persen) yang diisi wajah baru. Komposisi parlemen juga tidak banyak berubah. PDIP tetap memegang suara tertinggi di parlemen, disusul Partai Golkar dan Gerindra di bawahnya.

Hanya dua partai yang mendesak pembahasan Omnibus Law ditunda, mereka adalah Demokrat dan PKS. Namun penolakan mereka sebenarnya tidak banyak berpengaruh karena minim suara di parlemen dibanding partai lain yang mendukung pemerintah dalam usaha mengesahkan Omnibus Law.

Dalam rapat paripurna pengesahan Prolegnas prioritas 2020 saja, 248 anggota DPR tidak hadir. Padahal di hari yang sama, masyarakat memberanikan diri turun ke jalan di tengah pandemi demi mencegah pasal bermasalah dalam Omnibus Law lolos di DPR.

Mengutip kata-kata Mahfud MD, seperti dilansir Antara pada 2014 silam, sebelum dia bergabung dengan pemerintahan: “Hampir tak ada partai politik yang benar-benar mewakili rakyat.”

Infografik Konfrontasi Omnibus Law

Infografik Konfrontasi Pemerintah & DPR Bermasalah. tirto.id/Sabit

Jangan Buru-Buru Omnibus Law

Di tengah pandemi corona, berdasarkan catatan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi Triwulan I (periode Januari-Maret) Tahun 2020, dengan total investasi mencapai Rp 210,7 triliun, naik 8,0% dibanding periode yang sama tahun 2019, yaitu sebesar Rp 195,1 triliun. Nilai investasi selama Triwulan I Tahun 2020 untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp 112,7 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp 98,0 triliun. Sedangkan target investasi tahun 2020 mencapai Rp 886,1 triliun.

Namun menurut Andree Surianta, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies, dan Arianto A. Panturu dalam sebuah artikel di laman East Asia Forum, Omnibus Law belum tentu bisa menaikkan investasi sesederhana itu. Masalah pandemi bukan hanya menyasar Indonesia, tapi juga negara besar seperti Cina dan Amerika Serikat.

Di tengah pandemi ini, produktivitas negara dalam menghasilkan barang dan jasa ikut terganggu. Hal ini membuat pemasukan perusahaan dan negara kian menurun. World Trade Organization memprediksi akan ada penurunan perdagangan internasional antara 13-32 persen akibat pandemi. Kendati perizinan dipermudah dengan Omnibus Law, tak ada jaminan investor berani menanam modal di Indonesia.

"Undang-undang itu tidak mungkin mengatasi masalah yang menyebabkan Indonesia kehilangan peluang investasi global, seperti masalah disebabkan oleh pergeseran produksi dan pengadaan dari Tiongkok," catat Andree dan Arianto.

Pada periode sebelumnya, DPR sebenarnya punya banyak RUU yang lebih bisa diutamakan daripada sekadar Omnibus Law dan RKUHP. Misalnya saja RUU Pelindungan Data Pribadi dan RUU PKS.

RUU PKS sudah dihentikan pembahasannya oleh pemerintah, sedangkan RUU Perlindungan Data Pribadi setidaknya baru 7 kali mengadakan rapat dan masuk dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Beberapa waktu lalu baru saja ada kasus bocornya data pribadi dari karyawan Telkomsel ke publik. Ini jelas menunjukkan urgensi aturan perlindungan data pribadi di Indonesia.

Setiap berganti periode, DPR selalu punya ratusan RUU yang tidak selesai. DPR periode 2009-2014, misalnya, mengaku punya tanggungan 268 RUU. Selama lima tahun, target DPR adalah menyelesaikan 279 RUU menjadi undang-undang. Namun faktanya hanya 126 RUU yang berhasil disahkan.

Dalam periode 2014-2019, DPR juga mendapat PR banyak. Prolegnas pertama sudah mencapai 189 RUU. Hingga akhir masa jabatan, DPR hanya bisa menyelesaikan 91 RUU menjadi undang-undang. Yang berkurang dari Prolegnas sebenarnya hanya 36 RUU, sisanya adalah RUU Kumulatif Terbuka.

Omnibus Law diproyeksi akan berdampak pada 81 undang-undang dan lebih dari 1.244 pasal. Jika menimbang pengalaman DPR sebelumnya, undang-undang dengan jumlah sebanyak itu adalah hasil kerja anggota parlemen selama empat tahun. Barangkali memang Omnibus Law bisa menunjang iklim investasi di Indonesia, tapi menyelesaikannya dalam 100 hari sebaiknya tetap berada dalam angan-angan Jokowi saja.

Bukan saja terlalu buru-buru, pemerintah juga mengesampingkan RUU PDP, PKS, dan RUU lain yang mungkin lebih mendesak untuk diselesaikan.

Wakil Ketua MPR sekaligus anggota Fraksi PPP, Arsul Sani, sempat berharap Omnibus Law seharusnya selesai dalam waktu 100 hari dan rampung menjelang peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2020.

Sayangnya, bukan hanya Omnibus Law dan investasi yang mungkin menjadi hadiah ulang tahun Indonesia jika Omnibus Law benar-benar selesai tahun ini, tapi juga kegagalan pemerintah dan wakil rakyat memenuhi harapan publik. Ini termasuk mewariskan lagi ratusan RUU yang belum selesai hanya demi memenuhi ambisi Jokowi mengesahkan Omnibus Law.

==========

KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan