Menuju konten utama

Black Widow: Imperialisme AS yang Dikemas Manis oleh Hollywood

Feminisme dalam film Black Widow sekadar menunjukkan perempuan-perempuan dari negara selain AS sebagai pihak terjajah dan terbelakang.

Black Widow: Imperialisme AS yang Dikemas Manis oleh Hollywood
Trailer Film Black Widow. (Screnshoot/youtube/Marvel Entertainment)

tirto.id - Pada akhir Juli lalu muncul kabar bahwa Scarlett Johansson menggugat Disney dengan tuduhan melanggar klausa pendapatan dalam kontrak film Black Widow. Di kontrak tertulis secara spesifik bahwa porsi besar pendapatan Johansson berasal dari hasil penjualan tiket bioskop, namun Disney malah merilis film langsung ke platform streaming, Disney+, tanpa berkonsultasi. Johansson merasa kehilangan banyak uang karena keputusan tersebut.

Di Black Widow, Johansson terlibat sebagai bintang utama sekaligus produser eksekutif. Praktik seperti ini lazim dilakukan bintang papan atas Hollywood yang seringnya berpendapatan jutaan dolar AS. Johansson sendiri sepanjang 2018 dan 2019 memegang gelar “Highest Paid Actress” dari Forbes. Dengan merangkap jabatan, para A-lister Hollywood berhak mendapatkan bayaran sebagai talent sekaligus keuntungan penjualan tiket yang biasanya hanya menjadi hak produser.

Disney membalas gugatan Johansson lewat pernyataan terbuka. Mereka menuduh Johansson tidak sensitif dan egois, apalagi di tengah pandemi. Pernyataannya juga dianggap merugikan banyak pihak termasuk Disney sendiri.

Beberapa organisasi, misalnya Time’s Up yang mengadvokasi kesetaraan gender di Hollywood, menilai balasan tersebut sebagai serangan yang berlandaskan gender. Pernyataan terbuka Disney dianggap gagal membahas inti gugatan, yaitu ketidakjelasan pengaturan pendapatan, sekaligus malah mengalihkan isu dengan melabeli Johansson sebagai karakter perempuan egois, imaji stereotipikal perempuan layaknya tokoh antagonis sinetron yang mau menang sendiri dan mengail di air keruh.

Organisasi-organisasi tersebut menilai langkah ini diambil Disney agar mendapatkan dukungan publik. Persepsi publik atas suatu kasus menjadi faktor penentu dari gugatan hukum karena di Amerika putusan bergantung pada para juri yang dipilih secara acak dari masyarakat.

Ironisnya, Black Widow sendiri diusung Disney sebagai film feminis Marvel Cinematic Universe (MCU). Black Widow adalah upaya ala kadarnya Disney untuk mengangkat isu kesetaraan gender. Disebut sekadarnya karena meski MCU sudah berjalan lebih dari 10 tahun dengan 20 lebih film, baru ada satu film, Captain Marvel, yang menghadirkan karakter superhero perempuan sebagai tokoh utama.

Buku Syd Field berjudul Screenplay: the Foundations of Screenwriting (1979), yang kerap digunakan institusi pendidikan film sebagai bahan ajar penulisan naskah Hollywood, mengatakan tokoh utama film Hollywood harus memiliki latar belakang luas yang bisa dimanfaatkan untuk memajukan plot cerita. Latar belakang sendiri terbagi atas tiga aspek: aspek profesional yang berkaitan dengan pekerjaan karakter, aspek personal yang berkaitan dengan kehidupan keluarga karakter, dan aspek privat yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran internal karakter.

Film Black Widow yang mengeksplorasi aspek personal dan aspek private karakter ini sudah lama diantisipasi para penggemar MCU, mengingat karakter Black Widow sudah hadir sejak Iron Man II (2010). Setelah penampilan perdana itu aspek profesional Black Widow sebagai Avenger terus menerus dieksploitasi.

Sewaktu Captain Marvel dirilis (2019), sebagaimana dilaporkan Variety, para penggemar mempertanyakan keputusan Disney sebab memproduksi film superhero perempuan MCU pertama yang tidak pernah menunjukkan muka dalam MCU.

Selain itu, Black Widow merupakan satu-satunya film MCU yang dihadirkan secara post-mortem. Karena Black Widow sudah dikisahkan meninggal dalam Avengers: Endgame (2019), maka film Black Widow dikisahkan mengambil latar waktu dalam Captain America: Civil War (2016). Latar ini dipilih guna menjelaskan apa yang dilakukan Black Widow ketika setengah dari Avengers, termasuk dirinya, menjadi pembelot yang harus lari dari hukum dan pengawasan publik.

Jadi, bagaimana kira-kira hasil film “feminis” MCU yang sudah ditunggu-tunggu dan akhirnya malah memicu kontroversi ini?

Black Widow (2021) disutradarai dan ditulis oleh Cate Shortland, sutradara asal Australia yang biasa menghadirkan film-film dengan karakter utama perempuan yang tangguh, kompleks, dan abu-abu. Tidak semua tindakan karakter Shortland bisa dipandang benar dan baik secara moral, misalnya membunuh orang atau menjual diri.

Film besutan pertamanya, Somersault (2004), menjajaki berbagai tantangan yang dihadapi gadis remaja ketika hidup seorang diri setelah lari dari rumah karena tertangkap basah bermesraan dengan pacar ibunya. Dalam Lore (2012) yang berlatar Jerman pasca-Perang Dunia II, tokoh utamanya adalah remaja perempuan anak seorang jenderal Nazi yang melarikan diri bersama empat adik karena orang tuanya ditangkap pasukan AS. Dalam persembunyian, ia dibantu oleh seorang remaja laki-laki Yahudi, mantan tahanan kamp konsentrasi. Peristiwa ini membuatnya mempertanyakan doktrin Nazi.

Kekayaan khazanah karakter ini menjadi sangat berharga ketika menggarap tokoh Black Widow, agen rahasia perempuan asal Rusia bernama asli Natasha Romanoff. Romanoff adalah alumni organisasi Red Room yang terkenal luar biasa kejam dalam melatih agen. Kelak, Romanoff membelot setelah menyadari kekejaman Red Room dalam misi-misi yang mereka lakukan untuk Rusia. Ia akhirnya memutuskan untuk menjadi bagian dari kelompok superhero Avengers.

Dalam Captain America: Civil War (2016), Avengers dikisahkan sebagai organisasi internasional yang hanya tunduk kepada hukum internasional PBB. Namun, karena bermarkas di New York City, sering kali mereka bersinggungan dengan politikus dan Presiden AS, bahkan di level PBB sekalipun. Mereka juga dipimpin secara de facto oleh Captain America dan hampir semua anggota Avengers yang jelas-jelas berasal dari bumi pastilah berkewarganegaraan AS. MCU, singkatnya, bisa dibaca seturut geopolitik Paman Sam.

Black Widow (2021) dibuka dengan masa kecil Romanoff yang terlihat normal di Ohio, AS, bersama orang tua dan seorang adik perempuan. Namun ternyata keluarga ini palsu belaka; mereka adalah agen-agen rahasia Red Room yang tengah menjalankan misi mencuri hasil riset obat pengontrol pikiran yang dikembangkan AS. Setelah sukses menjalankan misi bertahun-tahun, “keluarga” Romanoff kabur ke Kuba dan disambut para petinggi Red Room. Natasha dan adiknya, Yelena Belova, mendapat “apresiasi” berupa pendidikan lanjutan sebagai agen rahasia Red Room.

Flash cut ke lini masa Captain America: Civil War (2016), Yelena (diperankan Florence Pugh)--yang nantinya akan menggantikan Romanoff sebagai seorang Avenger--sedang menjalankan misi melumpuhkan agen pembelot Red Room. Ia mendapat penangkal obat pengontrol pikiran yang sempat diberikan Red Room kepadanya agar taat perintah. Saking ampuhnya, obat pengontrol pikiran ini bisa digunakan untuk memerintahkan para agen agar bunuh diri. Ia lalu mengirimkan botol-botol penawar itu ke Natasha yang sudah menjadi seorang Avenger. Yelena berharap akan dibantu membalaskan dendam kepada Red Room.

Natasha selama ini hidup nyaman karena mengira sudah berhasil membunuh bos besar Red Room, padahal ia bersembunyi dan menjadi semakin ganas. Agen-agen Red Room telah tersebar ke seluruh penjuru dunia melalui perekrutan perempuan setempat yang dianggap bisa lebih membaur dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Para perempuan agen Red Room, seperti perempuan pada umumnya, tidak muncul di depan publik sebagai pemegang kekuasaan alih-alih sebagai istri.

Atas desakan Yelena, Natasha kembali berusaha membunuh bos besar Red Room, seorang laki-laki Rusia berkulit putih berusia sekitar 50-an. Agar berhasil, keduanya membutuhkan bantuan “orang tua” yang kini telah menjadi petinggi Red Room. Meski awalnya tidak ingin membantu, akhirnya dua agen top ini mengikuti kemauan “anak-anak” mereka karena rasa kekeluargaan, khususnya agen yang berperan sebagai “ibu”. Sosok “ibu” yang diperankan oleh Rachel Weisz ini merasa dulu hidup dalam kandang di Red Room dan tidak ingin Yelena, Natasha, dan para perempuan lain mengalami hal yang sama.

Perang Dingin Rebooted?

Agen Red Room yang mayoritas perempuan dan dikendalikan seorang laki-laki kulit putih; seorang “ibu” yang ingin menghentikan trauma antargenerasi; dan agen-agen perempuan dari berbagai latar belakang, suku, ras, dan golongan yang saling membantu adalah tema feminis yang diangkat oleh Black Widow.

Namun, feminisme Black Widow dihantui oleh sejarah geopolitik AS, merujuk pada antagonisme AS-Uni Soviet sejak berakhirnya Perang Dunia II. Selama Perang Dingin (1947-1991), permusuhan ini direproduksi melalui berbagai medium termasuk film-film Hollywood. Belakangan, semangat menjadikan pihak Rusia sebagai sosok jahat kembali muncul secara terang-terangan di Hollywood setelah kabar intervensi Rusia dalam pemilu AS 2016. Lihatlah film-film blockbuster seperti Red Sparrow (2018), Tenet (2020), juga film-film John Wick.

Feminisme dalam film Black Widow sekadar menunjukkan perempuan-perempuan dari negara selain AS sebagai pihak terjajah dan terbelakang. Sementara AS, dalam hal ini pihak Avengers, muncul bak pembebas. Pola representasi ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia sangat terkait erat dengan cara Amerika melihat dirinya dan dunia lain yang diterjemahkan ke dalam kebijakan luar negeri yang agresif. Invasi ke Irak pada 2003, misalnya, tidak hanya melibatkan militer, melainkan juga intelektual yang memberikan justifikasi moral. Salah satu justifikasinya kira-kira berbunyi: perempuan Irak harus dibebaskan dari rezim Saddam Hussein.

Samia Saliba dalam makalah “Regendering Iraq: State Feminism, Imperial Feminism, and Women’s Rights Under Sanctions” menulis retorika feminisme untuk membebaskan perempuan yang “terjajah” sudah lama digunakan bukan untuk memberdayakan perempuan, alih-alih memastikan bahwa politik luar negeri AS tetap berada di tangan para petinggi laki-laki kulit putih. Dalam kasus perang Irak, muncul stigma bahwa perempuan muslim Timur Tengah terbelakang, sebagaimana ditegaskan dalam pernyataan Presiden Bush pada 2004, bahwa “nasib setiap perempuan di Irak kini lebih baik karena ruang pemerkosaan dan ruang penyiksaan Saddam Hussein sudah selamanya ditutup.”

Studi Saliba menunjukkan bahwa kebijakan Saddam Hussein dan Ba’ath sebenarnya tidak secara spesifik bertujuan menindas perempuan. Briefing Paper Human Rights Watch (HRW) berjudul “Background on Women's Status in Iraq Prior to the Fall of the Saddam Hussein Government” bahkan menguraikan bahwa nasib perempuan di Irak sebelum invasi lebih baik ketimbang di banyak negara Timur Tengah lain. Kesetaraan gender dikukuhkan oleh pemerintahan Saddam lewat Konstitusi Provisional yang dibuat oleh Partai Ba’ath pada 1970 dengan Pasal 19 yang menempatkan semua warga negara sama di depan hukum tanpa memandang jenis kelamin, darah, bahasa, asal-usul sosial, atau agama.

Sebelum sanksi ekonomi AS, perempuan Irak menikmati kesetaraan hak di berbagai bidang. Di bidang pendidikan, misalnya, Irak menghadirkan program wajib belajar gratis untuk anak-anak usia 6-12 tahun. Pada 1990, angka perempuan yang mendaftar di perguruan tinggi naik sampai 38,5%. Pada 1976, Biro Statistik Irak mencatat perempuan menempati sekitar 38,5% pekerjaan di bidang pendidikan, 31% di bidang medis, 25% teknisi lab, 15% akuntan, dan 15% pegawai negeri. Menurut studi Saliba, sanksi AS atas Irak justru tercatat sebagai penyebab dari menurunnya partisipasi perempuan di ranah profesional karena mereka kehilangan pekerjaan dan berbagai jaminan dari negara, misalnya tunjangan untuk anak yang memungkinkan perempuan untuk bekerja di ranah publik.

Infografik Feminisme di MCU

Infografik Feminisme di MCU. tirto.id/Fuad

Dalam Black Widow, pandangan Washington itu berpindah dari Irak ke Rusia. Perempuan Rusia digambarkan tertindas dan merasa lebih baik jika mereka pindah ke AS atau minimal bersimpati kepada agen intelijen AS.

Lucunya, dengan keputusan membunuh Romanoff di Avengers: Endgame, mereka seolah menyatakan bahwa inilah satu-satunya representasi Rusia yang bisa ditoleransi: seorang agen rahasia cantik yang akan tunduk kepada Captain America dan akhirnya mau berkorban untuk keselamatan dunia—maksudnya: dunia yang sesuai dengan pandangan AS.

Proyeksi kekejaman Rusia tak hanya bisa dilihat di Black Widow, tapi juga di Red Sparrow (2018). Dalam film itu dikisahkan Jennifer Lawrence menjadi agen rahasia perempuan Rusia khas Hollywood: cantik, misterius, dan berbahaya secara seksual. Di akhir film, Lawrence digambarkan jatuh cinta kepada seorang agen CIA dan membelot ke AS.

Penggambaran perempuan cantik Rusia adalah warisan Perang Dingin. Sebagaimana dikaji oleh Raisa Sidenova dalam “Representations of Soviet Women in Hollywood Film, 1941-1945” representasi perempuan Rusia yang cantik, langsing, dan tinggi adalah propaganda era Presiden Roosevelt guna menunjukkan Rusia yang lebih feminin, bersahabat, dan tunduk kepada kuasa AS. Sebaliknya, penggambaran agen-agen seperti Black Widow dan Red Sparrow muncul untuk mengingatkan orang tentang potensi kekejaman Rusia di balik fisik yang molek.

Baca juga artikel terkait BLACK WIDOW atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Film
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Rio Apinino & Windu Jusuf

Artikel Terkait