Menuju konten utama

Bara dalam Sekam di Kazakhstan

Dari luar Kazakhstan tampak tentram, ekonomi mereka baik dan politik stabil. Namun di dalamnya terdapat gejolak, yang muncul awal tahun lalu.

Bara dalam Sekam di Kazakhstan
Ilusrasi Kazakhstan. foto/IStockphoto

tirto.id - Serangkaian demonstrasi muncul di Kazakhstan pada awal 2022. Aksi massa ini dianggap yang paling masif sejak negeri di Asia Tengah ini merdeka dari Uni Soviet tiga dekade silam. Nyaris 8.000 demonstran ditahan, sementara korban meninggal tercatat 164 orang.

Negara yang terletak di antara Rusia dan Cina dengan populasi 19 juta jiwa ini dipandang punya lanskap sosio-politik yang stabil. Performa ekonomi mereka juga tergolong kuat dibandingkan kawasan sekitar karena disokong oleh produksi minyak mentah yang melimpah.

Lalu, mengapa terjadi demonstrasi? Apa penyebabnya?

Demonstrasi bermula di Zhanaozen, kota penghasil minyak di Provinsi Mangystau, daerah barat Kazakhstan. Seiring tahun berganti, warga mendapati harga gas cair atau elpiji—yang selama ini menjadi alternatif bahan bakar murah untuk kendaraan bermotor—meroket dua kali lipat sampai 120 tenge (nyaris Rp4.000) per liter. Warga dari ibu kota provinsi, Aktau, sampai kota-kota di ujung barat laut seperti Aktobe dan Uralsk ikut melancarkan protes sebagai bentuk solidaritas.

Akhirnya, pada 4 Januari, pemerintah menurunkan harga elpiji di Mangystau jadi sekitar 50 tenge.

Namun kebijakan baru tak meredakan protes. Demonstrasi telanjur menyebar sampai ke Almaty, pusat bisnis sekaligus kota terbesar yang letaknya tiga ribu kilometer dari lokasi protes pertama. Massa dilaporkan menyerbu gedung pemerintah dan bandara. Kerugian properti diperkirakan mencapai 198 juta dolar AS (hampir Rp3 triliun), sementara 400 kendaraan hancur dan penjarahan terjadi di 100 pertokoan dan bank.

Melansir The Guardian, protes yang awalnya dipicu kenaikan harga sudah meluber jadi ekspresi ketidakpuasan terhadap pemerintah yang selama ini mengontrol Kazakhstan dengan tangan besi. Meski lekat dengan citra stabil, think tank prodemokrasi yang berbasis di Washington, Freedom House, mengategorikan Kazakhstan sebagai negara “tidak bebas”. Otoritas dipandang sudah menggelar pemilu yang tidak transparan, menindas oposisi, mendominasi media, sampai membatasi hak-hak berpendapat.

Massa juga gusar karena maraknya korupsi sampai kemiskinan dan ketimpangan ketika sumber daya alam hanya dinikmati oleh segelintir elite politik dan pengusaha.

Demonstran secara khusus menyerang Nursultan Nazarbayev (81), otokrat yang memimpin Kazakhstan sejak 1990—sebelum berdiri jadi republik yang merdeka dari Uni Soviet.

Nazarbayev memimpin Partai Komunis Kazakhstan sejak era Soviet. Persis setelah Soviet bubar pada 1991, ia jadi satu-satunya calon yang maju pada pemilu presiden dan menang. Ia kembali terpilih lewat pemilu pada 1999, 2005, 2011, dan terakhir 2015—kala itu disokong oleh 98 persen suara, statistik yang sama saat terpilih jadi presiden pada 1991.

Tahun 2019, Nazarbayev menunjuk orang kepercayaannya, Kassym-Jomart Tokayev (68), jadi presiden. Semenjak itu Nazarbayev dipandang masih berpengaruh di pemerintahan melalui posisinya sebagai Kepala Dewan Keamanan Kazakhstan, setidaknya sampai jabatan tersebut dicabut oleh Tokayev akibat ingar bingar demonstrasi baru-baru ini.

Berbagai cara lain dilakukan Nazarbayev agar publik tetap merasakan kehadirannya. Pada 2010, misalnya, ia mendirikan kampus negeri yang diberi nama Nazarbayev University. Pada 2017, jalan utama di kota terbesar Almaty diganti namanya dari Dmitry Furmanov Street jadi Nursultan Nazarbayev Avenue. Lalu, tiga tahun silam, nama ibu kota negara diubah dari Astana (bahasa Kazakhstan untuk 'ibu kota') jadi Nur-Sultan.

Dalam konteks tersebut tak heran jika dalam hiruk pikuk protes demonstran menyerukan slogan kejengahan yang menghujam jantung Nazarbayev: “Shal ket!—'Pergilah laki-laki tua!'” Massa juga merobohkan patungnya di Taldykorgan.

Nazarbayev dan Pembangunan Kazakhstan

Melansir artikel Paolo Sorbello di The Diplomat, Nazarbayev sebenarnya merupakan pejabat Soviet berat menerima kenyataan bahwa blok Timur bubar (dan sebagai gantinya berusaha mempromosikan persatuan Eurasia). Namun ia pun lekas beradaptasi dengan situasi baru agar tetap menguntungkan bagi dirinya sendiri. Tepatnya pada 1995, Nazarbayev mengakali konstitusi agar bisa menjabat sampai 1999. Dengan bertahan di tampuk kekuasaan, dirinya ingin menjaga iklim di dalam negeri tetap stabil dan ramah terhadap korporat asing.

Di bawah pengawasannya, privatisasi di Kazakhstan berlangsung lancar dan sukses melahirkan segelintir elite baru. Sorbello menyebut “neoliberalisme otoriter” di Kazakhstan sedikitnya terinspirasi dari pemerintahan Lee Kuan Yew di Singapura.

Ketika krisis moneter menghantam Asia (1997) dan Rusia (1998), ekonomi Kazakhstan dinilai tangguh berkat derasnya aliran investasi di sektor minyak dari Amerika Serikat, Eropa, sampai Cina.

Sean R. Roberts dalam studi yang terbit di Georgetown Journal of Asian Affairs (2016) mengakui Nazarbayev merupakan “pemimpin yang sangat terampil” karena berusaha membangun negerinya dengan berkaca pada “developmental state” negara-negara Asia Timur, tak terkecuali Singapura. Nazarbayev tidak mau bergantung pada satu kekuatan ekonomi saja. Ini membuat investor asing asal mana pun senang menanamkan modal di sana.

Ia memercayakan kalangan teknokrat untuk membangun sektor keuangan dan ekonomi, seiring kebijakan-kebijakannya menguntungkan lingkaran terdekat dan pengusaha kelas menengah. Institusi negara diperkuat dengan pegawai yang mumpuni dan lembaga pendidikan disokong dengan kualitas terbaik. Pakar-pakar asing pun diundang untuk ikut memajukan Kazakhstan.

Singkatnya, di bawah komando Nazarbayev, Kazakhstan memimpin pembangunan di Asia Tengah dan di antara negara-negara eks-Soviet di luar kawasan Baltik. Bank Dunia bahkan mengategorikan Kazakhstan sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas dengan Produk Domestik Bruto mencapai 170 miliar dolar AS, jauh di atas negara-negara jiran seperti Uzbekistan (57 miliar dolar AS), Turkmenistan (45 miliar dolar AS) atau Kyrgyzstan dan Tajikistan (berkisar 7-8 miliar dolar AS).

Catatan-Catatan Kelam Nazarbayev

Nazarbayev, wajah utama Kazakhstan, pun tidak luput dari skandal.

Pada awal 2000-an terungkap skandal suap dari pengusaha-bankir asal AS, James Giffen, kepada sang presiden dan seorang pejabat lain untuk mempermulus kesepakatan minyak. Pemberian termasuk mantel bulu seharga puluhan ribu dolar AS untuk istri Nazarbayev dan anak perempuannya.

Kembali melansir artikel Paolo Sorbello, alih-alih disebut sebagai pejabat korup, dalam kasus tersebut Nazarbayev dilukiskan bak pahlawan yang melindungi kepentingan nasional karena menyimpan uang publik di rekening pribadi. Menurut narasi heroik dari otoritas, rekening misterius untuk menampung uang terkait kesepakatan minyak memang sengaja dibuat oleh sang presiden dan perdana menterinya pada dekade 1990-an untuk menyelamatkan negara dari kebangkrutan saat diguncang krisis ekonomi. Sederhananya, di tangan Nazarbayev, batas antara kekayaan pribadi dan aset negara jadi kabur.

Sebagaimana pemimpin otoriter lain, Nazarbayev pun mudah saja menyingkirkan pihak-pihak yang berani menentangnya.

Gerakan oposisi Democratic Choice of Kazakhstan (DVK) yang dibentuk pada 2001 oleh Mukhtar Ablyazov, direktur institusi perbankan besar, dinyatakan sebagai grup “ekstremis” pada 2018 dan dilarang beroperasi termasuk di dunia maya. Tak lama kemudian, Ablyazov, yang telah jadi eksil di Eropa sejak 2009, mulai terseret beragam kasus penggelapan uang yang diduga sudah direkayasa.

Kolega Ablyazov, eks-bos BUMN energi nuklir Mukhtar Dzhakishev, ikut kena getahnya. Hanya karena punya relasi dengan Ablyazov, Dzhakishev harus mendekam di balik jeruji besi sampai 11 tahun, termasuk menjalani hukuman koloni dan dianiaya di salah satu gulag terbesar peninggalan era Stalin.

Ada pula aktivis HAM Vadim Kuramshin yang dijatuhi hukuman 12 tahun penjara karena gencar menyuarakan penyiksaan terhadap tahanan. Selain itu, sastrawan Aron Atabek dipenjara selama 18 tahun karena pernah memimpin aksi protes terhadap penggusuran pemukiman.

Human Rights Watch mencatat sampai 2021 otoritas Kazakhstan sudah mengusut sedikitnya 135 orang yang diduga terlibat dalam gerakan oposisi “ekstremis” DVK dan Koshe Party, gerakan politik baru sejak 2020.

Media massa yang berani vokal terhadap pemerintah pun dilarang beredar. Ini pernah terjadi pada 2012 terhadap koran Respublika dan 30 publikasi yang berafiliasi. Mereka dinyatakan bersalah karena memberitakan kekerasan polisi terhadap pekerja minyak yang protes. Dua tahun kemudian, pemerintah juga menuntut Assandi Times agar berhenti beroperasi karena para wartawannya diketahui pernah bekerja untuk Respublika.

Singkatnya, tidak pernah ada kelompok oposisi yang efektif di Kazakhstan.

Nazarbayev bahkan bermanuver untuk memastikan dapat berkuasa selamanya. Pada 2010, Nazarbayev membuat undang-undang baru yang memberinya gelar kehormatan Elbasy, 'Pemimpin Bangsa'. Sebagai Elbasy, Nazarbayev diperbolehkan mengontrol kebijakan pemerintah bahkan setelah menjadi pensiunan presiden. Ia juga dinyatakan imun atas segala tuntutan kriminal yang pernah dilakukan saat menjadi pejabat negara. Peraturan tersebut turut menjamin perlindungan aset-aset milik Nazarbayev dan keluarga.

Situasi Kacau Satu Dekade Terakhir

Nazarbayev dan keluarganya hidup bergelimang harta. Dariga, anak perempuan pertama Nazarbayev yang sempat mencicip rasanya jadi Ketua Senat (2019-2020), punya properti senilai ratusan juta dolar AS di Inggris. Salah satunya adalah bangunan di 221B Baker Street yang dikenal sebagai tempat tinggal karakter fiktif detektif Sherlock Holmes.

Anak Dariga alias cucu Nazarbayev, Aysultan, pada 2013 pernah mendatangkan musisi Kanye West untuk tampil di pesta pernikahannya dengan bayaran 3 juta dolar AS (sekarang bernilai Rp50 miliar).

Anak kedua Nazarbayev, Dinara, dan suaminya Timur Kulibaev, adalah bankir yang masuk dalam daftar miliuner versi Forbes dengan harta kekayaan masing-masing 2,8 miliar dolar AS atau total Rp80 triliun.

Istri tidak resmi Nazarbayev nomor tiga sekaligus mantan Miss Kazakhstan, Assel Kurmanbayeva, punya pekerjaan mapan sebagai direktur institut kesenian milik negara, menguasai beberapa perusahaan, bahkan dikabarkan pernah menerima uang puluhan juta dolar AS dari lingkaran pebisnis yang dekat dengan Nazarbayev.

Kehidupan gemerlap keluarga Nazarbayev kontras dengan situasi masyarakat dalam satu dekade terakhir. Pada Desember 2011, ribuan buruh di kawasan barat Kazakhstan—termasuk di kota Zhanaozen yang mengawali aksi demonstrasi kenaikan harga elpiji tahun ini—melancarkan protes kepada tiga raksasa BUMN energi minyak-gas karena kondisi kerja yang susah dan upah yang murah.

Di Zhanaozen, sedikitnya 16 orang—baik demonstran sampai pejalan kaki—tewas dibantai polisi. Sebanyak 37 orang diadili karena dituding memicu protes, termasuk pendiri gerakan oposisi Partai Alga!, Vladimir Kozlov, yang kemudian dijatuhi penjara sampai 7,5 tahun.

Rakyat Kazakhstan kembali mendapat kesulitan pada 2014, ketika pertumbuhan ekonomi melambat. Kala itu produksi minyak berkurang dan permintaan ekspor produk-produk metal dari Rusia dan Cina menurun, sementara tingkat konsumsi masyarakat melemah akibat depresiasi mata uang tenge.

Dua tahun kemudian, diperkirakan sampai dua ribu orang turun ke jalan untuk memprotes rencana reformasi lahan. Dalam rangka mengundang lebih banyak investor di sektor pertanian, pemerintah ingin mengizinkan orang asing menyewa tanah sampai 25 tahun. Sejumlah elemen masyarakat khawatir langkah tersebut akan membuat pebisnis Cina berkuasa. Pada akhirnya rencana tersebut dibatalkan, meskipun dua demonstran, Talghat Ayan dan Maks Boqaev, harus mendekam di penjara selama lima tahun karena dianggap sudah memicu kerusuhan dan melanggar aturan berkumpul.

Ketika Nazarbayev menunjuk Tokayev sebagai penggantinya pada 2019—Tokayev dipilih oleh 70 persen suara dalam pemilu yang menurut aktivis sudah dicurangi—pihak yang merasa gerah dengan rezim represif merasa dapat angin segar. “Ketika Nazarbayev pergi, rakyat merasa punya kesempatan untuk mengubah hidup mereka di Kazakhstan. Kami merasa waktunya sudah tiba,” kata jurnalis Assem Zhapisheva kepada Eurasianet. Zhapisheva juga merupakan aktivis Oyan, Qazaqstan! 'Bangun, Kazakhstan!', gerakan masyarakat sipil yang muncul menjelang pemilu terakhir. Tuntutan protes mereka meliputi reformasi politik, hak-hak berkumpul, serta diakhirinya pembatasan dan sensor internet.

Pada akhirnya, kestabilan yang dibangun dengan cara-cara represif remuk juga oleh pandemi Covid-19. Menurut Central Asian Protest Tracker, pada paruh pertama 2021, Kazakhstan mencatat aksi protes terbanyak, yakni sebanyak 548 kali. Protes dipicu oleh banyak hal, dari pemilu dewan rakyat yang “nonkompetitif” sampai upah rendah buruh.

Buruh mendominasi dengan 39 kali protes, padahal jumlahnya hanya 30 selama 2017-20. Operator mesin derek, supir bus dan ambulans, tenaga kesehatan, guru sampai kurir makanan menuntut kenaikan upah dan kondisi kerja lebih baik. Menurut pakar, aksi mereka didorong oleh faktor-faktor seperti inflasi, proteksi hukum yang lemah, sampai kurangnya kemerdekaan berserikat.

Pandemi juga semakin menunjukkan rapuhnya sistem kesejahteraan masyarakat. Sebanyak 54 aksi meletus untuk memprotes kurangnya tunjangan keamanan sosial, masalah subsidi rumah, dan pembayaran KPR.

Demonstrasi antipemerintah yang menyeruak awal tahun ini, dengan demikian, bisa dipahami sebagai puncak kegelisahan masyarakat. Awalnya memang hanya karena kenaikan harga, tapi lantas bisa merambat ke hal-hal lain karena memang itu sumber masalahnya. Mereka sudah lelah dipimpin oleh segelintir elite lama yang mempertahankan kepentingannya sendiri.

Infografik Kazakhstan

Infografik Kazakhstan. tirto.id/Rangga

Saat naskah ini dibuat, aksi massa memang sudah mereda meski jam malam dan larangan berkumpul masih diberlakukan sampai 19 Januari. Namun bukan berarti semua akan kembali “normal”.

Sampai sekarang administrasi Tokayev masih bersikeras “teroris” dan grup-grup “islamis”-lah yang berada di balik demonstrasi untuk mengambil alih pemerintahan. Narasi serupa juga digaungkan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, yang beberapa waktu lalu diminta Tokayev untuk mengerahkan pasukan dan aliansi militer negara eks-Soviet dalam rangka membantu meredam huru-hara.

Perkembangan situasi agak sulit diprediksi. Presiden Tokayev mungkin akan menerapkan cara-cara yang lebih represif untuk mengontrol keadaan, atau bisa jadi malah mau berkompromi dan memberlakukan reformasi kecil-kecilan.

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN OTORITER atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino