Menuju konten utama
Kartel Kolombia

Bagaimana Kolombia Berkembang Menjadi Sarang Kartel Narkoba

Jejak bisnis narkotika di Kolombia dari ganja hingga kokain.

Bagaimana Kolombia Berkembang Menjadi Sarang Kartel Narkoba
Pada tahun 1983, bos kartel narkoba Medellin, Pablo Escobar, kiri, menonton pertandingan sepak bola di Medellin, Kolombia. Sebuah film dokumenter yang mengeksplorasi infiltrasi kartel narkoba di sepak bola Kolombia menggunakan Pablo Escobar dan pemain sepak bola Kolombia Andres Escobar sebagai referensi. AP PHOTO

tirto.id - Rasanya sial betul menjadi warga Kolombia. Dua hal paling terkenal dari negara tersebut adalah keburukan: Pablo Eskobar dan kokain. Tapi mari kita mulai tulisan ini dengan bagaimana sejarah bisnis narkotika bermula di Amerika Latin.

Pada awal tahun 1900-an di Amerika Serikat, berbagai surat kabar kerap memberitakan bermacam-macam tuduhan tak berdasar yang menyasar dua etnis di negara tersebut: warga Cina yang menggunakan opium untuk memperkosa wanita kulit putih dan kaum kulit hitam di negara-negara bagian selatan mengonsumsi kokain untuk menjadi manusia super. Pelbagai propaganda tersebut sontak membuat warga AS dilanda kecemasan. Situasi genting itu kemudian dimanfaatkan para politikus untuk tampil sebagai juru selamat melalui janji-janji mereka.

Singkat cerita, muncullah seorang dokter bernama Hamilton Wright pada 1908. Dialah “Bapak Pemberantas Narkotika” pertama di AS. Jabatannya kala itu adalah Kepala Pemberantasan Opium. Dalam wawancaranya dengan New York Times pada 1911, Wright berapi-api mengatakan bahwa wabah kecanduan opium di AS sudah mencapai tingkat yang amat mengkhawatirkan.

“Kebiasaan (mengonsumsi opium) sudah tidak dapat dinalar lagi. Penjara-penjara penuh, rumah sakit juga sesak oleh korban. Ribuan pebisnis menjadi tidak bermoral dan seperti binatang buas. Inilah penyebab utama kenapa AS berlumur dosa dan ketidakbahagiaan. Kebiasaan tersebut sudah menjadi kutukan nasional. Jika kita ingin tetap mempertahankan kecerdasan dan moralitas tinggi di antara bangsa lain, mereka harus segera diperiksa.”

Sebetulnya Wright (dan pemerintah AS) tidak salah-salah amat ketika menggembar-gemborkan mengenai bahaya laten opium. Jumlah pecandu opium di AS kala itu meningkat dari 100 ribu ke 300 ribu orang. Hanya saja, dari total jumlah tersebut, 0,25 persennya mengonsumsi opium karena anjuran medis.

Wright juga mengkhawatirkan jenis candu lainnya: kokain. Untuk meyakinkan warga, Wright berusaha mengumpulkan berbagai laporan polisi mengenai penggunaan kokain oleh orang kulit hitam. Setelah itu, ia menyebarkan laporan-laporan itu ke berbagai media sambil membubuhinya dengan sentimen rasial. Dari sekian pemberitaan, yang paling menohok adalah berita New York Times pada 2 Agustus 1914 yang berjudul: “Negro Cocaine ‘Fiends’ New Southern Menace”.

Berita yang sebagian besar isinya hanya desas-desus tersebut menceritakan seorang warga kulit hitam yang membunuh orang kulit putih setelah mengonsumsi kokain. Selain itu juga ada kisah mengenai seorang polisi di North Carolina terlibat keributan dengan pemuda kulit hitam yang tentunya juga tengah berada dalam keadaan mabuk.

“Seorang polisi berhadapan dengan seorang negro yang mengamuk karena pengaruh kokain. Dia sempat mencoba menikam seorang pemilik toko dan juga memukuli anggota keluarganya sendiri. Karena keadaan mendesak serta pelurunya juga tinggal tiga butir, polisi tersebut akhirnya mencabut revolvernya dan segera menembak dada pria negro tersebut agar ia segera tewas.”

Berita tersebut dengan segera membuat warga kulit putih AS kian cemas. Sebanyak 13 negara bagian AS sepakat menandatangani perjanjian tentang pengendalian opium dan kokain. Pada Desember 1914, untuk pertama kalinya Kongres AS mengesahkan undang-undang narkotika yang disebut Harrison Narcotics Tax Act (PDF).

Undang-undang baru tersebut memang berhasil mengendalikan peredaran narkotika di AS. Tapi tidak di pasar gelap. Bisnis narkotika, terutama opium dan kokain, justru kian merajalela. Sejak itulah kartel-kartel Amerika Latin mulai bermunculan. Dan Kolombia, dalam hal ini kartel Medellin yang didirikan Escobar, adalah pemain terbesar yang memulainya.

Ganja, Kokain, dan Kartel

Pada mulanya adalah ganja.

Sebelum kokain menjadi komoditi utama bisnis narkotika di Kolombia, para sindikat kriminal di negeri itu lebih dulu berbisnis ganja. Adalah Black Tuna—geng Kolombia yang berbasis di Miami, AS, dan dipimpin oleh dua orang, Robert Platshorn dan Robert Meinster—yang menjadi pemain utama di komoditas ini pada awal 1970-an. Bisnis mereka sangat masif karena ketiadaan kompetitor sepadan. Black Tuna bahkan pernah mengirim 500 ton ganja ke negeri Paman Sam.

Black Tuna semula adalah kode khusus yang digunakan Platshorn dan Meinster dalam berkomunikasi melalui radio kala melakukan pengiriman ganja. Adalah Badan Penegak Hukum AS (Drug Enforcement Administration, DEA) yang mengetahui hal ini sebelum akhirnya kode itu populer berkat pemberitaan di media. Menurut DEA, kala itu Black Tuna adalah sindikat kriminal paling canggih yang pernah mereka ketahui.

Salah satu bentuk kecanggihan sindikat tersebut adalah cara mereka menggunakan peralatan khusus untuk menyadap percakapan polisi dan Bea Cukai AS. Black Tuna juga kerap menggunakan metode komunikasi yang kreatif dan tidak konvensional, misalnya seperti sekotak popok kepada rekan lain sebagai kode bahwa mereka sudah siap untuk melanjutkan transaksi narkotika.

Sindikat Black Tuna berhasil dibubarkan setelah FBI dan DEA menggelar operasi yang dikenal dengan sebutan Operation Banco. Operasi tersebut fokus melacak transaksi di berbagai bank di Florida Selatan, hingga akhirnya DEA menemukan akuntan Black Tuna tengah menyetor uang dalam jumlah besar di di sebuah bank di Miami. Delapan anggota Black Tuna, termasuk Platshorn dan Meinster, akhirnya ditangkap dan dihukum berat, terlebih sebelumnya mereka juga sempat mengancam hakim ketua dan mencoba menyuap juri suap.

Menjelang akhir 1970-an, bisnis ganja mulai tergeser komoditas lain yang keuntungannya jauh lebih menggiurkan: kokain. Produksi kokain di Amerika Latin semula berpusat di Chili dengan pasokan daun koka dari Peru dan Bolivia, lalu Kolombia berperan sebagai penghubung ke Amerika Serikat. Ketika Augusto Pinochet memerintah Chili, sindikat kriminal di Kolombia mulai mengambil alih bisnis tersebut. Dua pemain utamanya adalah kartel Medellin bentukan Pablo Escobar dan kartel Cali, partner bisnis yang kelak menjadi kompetitor mereka.

Kartel Medellin bisa dibilang adalah cetak biru organisasi-organisasi kartel hari ini. Tidak hanya liat dalam berbisnis, mereka juga punya sistem yang kokoh untuk menyuap hingga menghabisi nyawa para aparat serta pejabat. Dari kartel Medellin pula ide membentuk grup paramiliter sebagai benteng pengamanan dimulai. Biasanya grup ini berasal dari kelompok prajurit sayap kanan yang biasa bertempur dengan gerilyawan Marxis-Leninis.

Laporan Business Insider menyebutkan, pada periode 1980-an, kartel Medellin menjadi pemain terbesar bisnis narkotika dengan menguasai 80 persen pasar kokain di seluruh dunia—15 ton dikirim ke Amerika Serikat tiap harinya. Keuntungan yang diraup mencapai $420 juta per minggu atau sekitar $22 miliar per tahun. Begitu banyaknya uang tersebut, sampai-sampai tiap minggunya mereka membelanjakan $1.000 per minggunya hanya untuk membeli gelang karet guna membungkusnya.

Selepas Escobar tewas dalam pengejaran polisi dan kartel Medellin bubar, posisi raja bisnis narkotika di dunia diambil alih oleh kartel Cali. Berbeda dengan gaya kartel Medellin yang brutal dan memosisikan diri sebagai musuh pemerintah, kartel Cali memperkokoh jejaring bisnisnya melalui pendekatan yang persuasif terhadap figur-figur penting di pemerintahan, aparat, hingga para oligark Kolombia.

Infografik Bisnis Narkotika di Kolombia

Infografik Bisnis Narkotika di Kolombia. tirto.id/Sabit

Sejak awal, kartel Cali tidak mempunyai pemimpin tunggal. Kartel ini didirikan oleh empat orang, yakni Rodríguez bersaudara (Gilberto dan Miguel), José Santacruz Londoño, dan Helmer "Pacho" yang dijuluki “Los Caballeros de Cali” atau “Gentlemen of Cali”.

Dalam laporan bertajuk "New Kings of Coke" yang terbit di Time pada 2001, kartel Cali juga disebut-sebut mencuci uang secara lebih rapi dengan membuat bisnis legal, seperti jaringan apotek Drogas la Rebaja—berada di 400 lokasi di 28 kota dan punya 4.200 pegawai—dan juga bank bernama First InterAmericas Bank. Bisnis pencucian uang ini menjadi sumber pendapatan terbesar kedua kartel Cali. Di New York saja, pencucian uang ini menghasilkan $7-12 juta per bulan.

Pada masa puncaknya, kartel Cali memasok 70 persen kokain di AS dan 90 persen di pasar Eropa. Menjelang keruntuhannya, kartel ini diperkirakan telah meraup pendapatan $7 miliar selama 1996 hanya dari pasar New York. Namun, kartel Cali hancur sejak José Santacruz tewas dibunuh, Pacho menyerahkan diri pada 1 September 1996 (dan ditembak mati dua tahun kemudian di dalam penjara), dan Gilberto dan Miguel ditangkap.

Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2016, hingga kini Kolombia masih menjadi penghasil tanaman koka terbanyak di dunia dan memproduksi 442 ton kokain dari tanaman itu setiap tahun. Pada tahun yang sama tanggal 15 Mei, kepolisian Kolombia turut menyita 8 ton kokain dari salah satu sindikat kriminal besar di negara itu, Los Urabeños. Adapun beberapa sindikat lain yang juga masih beroperasi adalah Gaitanista Self-Defense Forces of Colombia (AGC) dan Oficina de Envigado.

Namun, setidaknya kini Kolombia tidak hanya dikenal sebagai negeri para kartel saja. Medellin, misalnya, telah berubah secara drastis dan menjadi salah satu tujuan wisata favorit di dunia. Pada 2013, kota ini bahkan dianugerahi penghargaan "Kota Paling Inovatif" oleh lembaga nirlaba Urban Land Institute, mengalahkan dua kota lainnya: Tel Aviv dan New York.

Bapak Anies Baswedan mungkin telah menyaksikan sendiri perubahan Medellin, mengingat Selasa (9/7/) lalu ia diundang sebagai pembicara di World Cities Summit yang diselenggarakan di kota tersebut.

Baca juga artikel terkait KARTEL NARKOBA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Windu Jusuf