Menuju konten utama

Aher Sebagai Maskot Baru PON

Acara PON XIX 2016 tinggal menunggu hitungan waktu. Sosialisasi besar-besaran dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan memenuhi papan reklame di seantero kota-kota di Jabar. Dominasi Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan pada iklan-iklan ini tak ayal membuatnya jadi ikon maskot PON baru selain Surili

Aher Sebagai Maskot Baru PON
Baliho PON XIX 2016 Jawa Barat terpasang di depan Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, Senin (22/8). [tirto/erman]

tirto.id - Gelaran PON XIX 2016 memang agenda nasional. Namun, acara itu menjadi "milik" Jawa Barat karena provinsi ini jadi penyelenggara hajatan. Posisi provinsi-provinsi lain hanya jadi pendukung, dengan mengirimkan atlet dan kontingen sebagai partisipan. Sebagai kegiatan akbar, memang sudah sepatutnya rakyat Jawa Barat lebih terlibat. Sosialisasi acara ini pun dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jabar sejak jauh-jauh hari.

Sayangnya, banyak kejanggalan dari sosialisasi itu. Salah satunya materi promosi kampanye PON XIX 2016 berupa spanduk, baliho, dan banneryang disebarkan juga di luar Jabar. Padahal, provinsi itu tidak ada sangkut pautnya denganpenyelenggaraan PON.

Pemasangan billboard dilakukan di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Batam, Makasar, Medan, Bali, dan beberapa kota besar lainnya. Alat kampanye ini dipasang pada lokasi srategis dekat bandara atau stasiun kereta api. “[Supaya] masyarakat yang menggunakan jasa transportasi tersebut dapat mengetahui jika PON nanti digelar di Jabar,” kilah Ketua Bidang Penyiaran dan Pelayanan Media (PPM) PB PON Jabar, Ateng Kusnandar dikutip dari situs resmi PON.

Sudah jadi kebiasaan, di mana ada sosialisasi program pemerintah maka disitulah akan muncul wajah kepala daerah-nya, dalam kasus ini merujuk pada narsisme gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Pada beberapa billboard, pesan terkait PON malah jadi bias karena tertutupi kesan kehendak untuk mengenalkan Aher. Jadi sebenarnya siapa yang maskot PON itu? Dua Surili - sejenis kera dengan nama latin Presbytis Comata - yang diberi nama Lili dan Lala atau Aher?

Pada Pilkada DKI Jakarta 2012 silam, publik Kota Bandung geger dengan billboard Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin yang terpampang di Jalan Pungkur. Kala itu, Alex sudah memutuskan hendak ikut bertarung di Pilkada DKI Jakarta.Alex memasang iklan yang memasang fotonya dengan tema ajang olahraga Islamic Solidarity Games 2013. Dalam hal ini, Alex mengkampanyekan event olahraga internasional yang dihelat di Palembang di kota Bandung.

Dengan muncul di bilboard, Aher mungkin berharap kadar kepopulerannya bertambah. Tapi Aher dan Alex mungkin lupa, orang zaman sekarang itu cerdas-cerdas, sadar bahwa nilai baik-buruk pejabat itu bukan ditentukan banyaknya baliho tapi berdasarkan kinerja. Aher tampaknya harus belajar dari Ahok dan Risma.

Belajar pada Ahok dan Risma

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama marah saat mengetahui fotonya terpanjang di LED display sejumlah tempat strategis di Jakarta. Fotonya itu muncul dalam kampanye sosialiasi HIV/AIDs. “Itu kurang ajar itu. Saya sudah instruksi berkali-kali tidak boleh ada foto saya,” ucapnya dengan kesal.

Gubernur yang biasa dipanggil Ahok itu memang sejak lama melarang pejabat DKI Jakarta memakai fotonya untuk bahan kampanye program pemerintah DKI. “Saya paling benci kalau saya datang acara atau bikin iklan apa, pakai foto saya," katanya terus terang.

Ahok mengaku sudah meminta kampanye sosialisasi yang memasang foto dirinya itu dicabut. Ia pun menuduh ada orang yang ingin menjatuhkannya. “Tiba-tiba muncul. Makanya saya sedang selidiki ini maunya apa. Ini bukan mau menolong saya, ini namanya mau menjatuhkan saya,” ucapnya menambahkan.

Foto-foto Ahok ini muncul menjelang pelaksanaan pemilihan daerah (pilkada) DKI Jakarta pada 2017. Tentu saja isu ini menjadi sangat sensitif. Ahok mengaku tak ingin mendompleng posisinya sebagai petahana dengan memajang foto yang menunjukkan kinerjanya.

Jauh sebelum Ahok mencak-mencak karena foto dirinya dipajang, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini sudah melakukan hal serupa. Beberapa bulan jelang Pilwalkot Surabaya digelar, atau tepatnya pada awal tahun 2015, koran lokal Harian Surya memasang foto Risma pada reklame di beberapa titik.

Tulisan yang muncul dalam reklame tersebut adalah kata-kata bijak Risma. Billboard itu muncul untuk menyambut ulang tahun Surya. Sebagai koran besar di Surabaya, memakai ikon Risma yang memang identik dengan Surabaya sejatinya tidak masalah. Namun, billboard itu hanya bertahan lima hari saja. Kepala Bagian Humas, Pemkot Surabaya, Muhamad Fikser mengakui Risma tak nyaman dengan hal itu. “Iya betul, bu Risma yang meminta untuk dicopot,” kata dia lewat pesan pendek.

Narsisisme Pejabat

Terlepas dari murni atau tidaknya niat Ahok dan Risma, sikap mereka untuk tidak narsis di depan publik itu patut mendapat apresiasi. Sudah layaknya pejabat lebih mengutamakan kinerja ketimbang mejeng di depan publik meski miskin prestasi. Apalagi, Indonesia selama ini sudah cukup kenyang dengan iklan narsis para pejabat dan pemimpin daerah. Padahal, narsisme pejabat lebih banyak mengundang cemooh ketimbang pujian masyarakat.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD pernah mengutarakan sistem negara demokrasi selalu menyumbang plus dan minus. Dua macam penyakit yang selalu mengiringi sistem politik demokrasi, yakni demagog dan narsisme. Dia sebenarnya hanya mengulang apa yang sudah disampaikan pemikir Yunani Kuno, Aristoteles, 24 abad silam.

“Demagog adalah para orator ulung, terdiri dari pejabat negara yang pandai membuat citra baik, tetapi hakikatnya mereka membohongi rakyat," ujar Mahfud.

Ekses dari demadog adalah narsisme yang berlebihan. Dengan berupaya selalu ingin tampil di depan publik seraya memuji-muji diri sendiri. "Sebagai pemimpin mereka merasa berhasil, padahal rakyat tak merasakan kesejahteraan dari periode kepemimpinannya," tambahnya.

Hal mencolok dari budaya narsisme yakni banyak pejabat yang berperan ganda sebagai bintang iklan. Tak peduli rupawan atau tidak, mereka sering kelihatan muncul di billboard-billboard layaknya selebritis. Dengan dalih mengkampanyekan program, mereka narsis dibiayai oleh negara.

Lebih parahnya lagi, sebaran iklan tersebut tak dibatasi oleh territorial politik semata. Demi popularitas tak jarang mereka menerabas daerah provinsi lain. Misalnya saja Bandara Internasional Soekarno Hatta. Saat ini bisa dikatakan bandara yang terletak di Cengkareng itu sebagai ensiklopedia yang tepat jika anda ingin mengetahui nama-nama pejabat daerah di Indonesia. Berbagai macam promosi daerah dilakukan di sana. Soal efektif atau tidak, itu urusan belakangan.

Masalah ini sempat disentil Risma, yang menyindir baliho Gubernur Papua di Jakarta. "Lha, buat apa pasang baliho di Jakarta? Apa ya orang Jakarta mau milih Gubernur Papua?” kata dia.

Di beberapa titik di Jakarta, sering kita temui juga kampanye program pemerintah provinsi Banten. Hal ini secara jenaka lagi-lagi sempat dikritisi oleh Risma yang langsung menegur kepada Gubernur Banten, Rano Karno. Risma memprotes baliho besar di Jakarta bergambar Rano. "Anda itu sudah terkenal, ngapain pakai pasang baliho segala? Ngabisin APBD aja," kata Risma saat berbincang dengan wartawan di ruang kerjanya, Rabu, 4 Februari 2015.

Para pejabat memaksakan keinginan agar masyarakat mengingat dirinya. Hal sama juga dilakukan para pejabat-pejabat daerah lain dengan memasang foto dirinya di reklame. Dalam istilah ilmiah upaya ini disebut libidinal politics. Sikap pejabat ini disebut politik narsistik.

Kenapa disebut narsistik? Karena dalam soal visualisasi desain, sebagian besar iklan lebih terpaku pada dominasi gambar wajah si pejabat itu. Padahal dalam dunia periklanan visualisasi gambar adalah penilaian pertama bisa sampai atau tidaknya sebuah pesan. Narsisme pejabat ini yang terkadang membuat konten pesan yang ingin disampaikan dan visualisasi gambar tidak nyambung.

Di Bandara Soekarno Hatta lazim kita temui reklame besar mengenai promosi potensi wisata di daerah-daerah. Jika niatnya untuk mempromosikan daerah mereka kenapa malah yang dipajang adalah wajah si bupati atau gubernur? Bukan gambar pemandangan, kesenian atau budaya khas daerah tersebut.

Selain tidak sesuai konteks, banyak pula reklame yang pesan dan visualisasi gambar malah bertolak belakang. Misal, reklame tentang anjuran berolahraga dan menerapkan gaya hidup sehat, tetapi yang muncul sebagai bintang adalah pejabat yang tubuhnya jauh dari proporsi sehat alias tambun. Sampel kelucuan ini bisa kita lihat pada reklame PON yang menampilkan Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar - serta pejabat lokal lain - yang mayoritas bertubuh subur.

Sinkronisasi antara visualisasi dan pesan ini disadari betul oleh Presiden Joko Widodo. Semasa menjabat walikota Solo, dia dipuji karena selalu jadi sosok yang anti-popular. Hal itu diimplementasikan saat jadi Gubernur DKI Jakarta.

Jokowi sadar ada kebiasaan pada para kepala daerah yang sering muncul jadi bintang iklan “Harusnya yang dipasang tari, lokasi wisata, dan lain lain. Bukan yang ada malah wajah kepala daerahnya. Ini mau mengunjungi pak gubernurnya atau daerahnya. Itu keliru,” ucapnya pada 2012 silam.

Dia pun sempat geram saat pernah ada dinas di DKI Jakarta yang memajang fotonya di spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa. Bagi Jokowi hal itu tidak ada manfaatnya. “Sudah pernah sekali dinas pasang muka saya di spanduk. Setelah itu saya marahi,” tegasnya.

“Puasa itu yang penting kalau sore buka puasa, kalau pagi sahur. He-he-he. Ngapain harus pasang spanduk? Nggak ada manfaatnya,” lanjutnya.

Selain di Jakarta, hal yang sama juga terjadi di Surabaya. Jarang kita dapati foto promosi bergambar Risma di sana. Risma menjamin hal itu tak ada di wilayahnya. “Untuk apa itu? Aku nggak suka yang begitu-begitu. Aku jamin nggak ada baliho atau spanduk sosialisai pemkot yang ada gambar fotoku," kata Risma dikutip dari Antara, Juni 2015 lalu.

"Eman (sayang) duitnya rek, bikin banner 1 lembar berapa, mahal kan. Itu pakai APBD juga. Daripada pakai gitu mending dikasihkan anak yatim atau anak yang kurang mampu, jauh lebih berguna kan?" terang Risma.

Belanja Iklan Pemerintah Daerah

Biaya narsis pejabat antara lain bisa dilihat dari naiknya tren biaya promosi pemerintah untuk iklan yang naik 7 persen. Data pertumbuhan belanja iklan 2015 yang dilansir Nielsen mengungkapkan, iklan yang dipasang pemerintahan dan Organisasi Politik jadi kontribusi tertinggi untuk nilai belanja iklan. Jumlahnya mencapai Rp7,4 Triliun atau 6,4 persen dari total keseluruhan yang mencapai Rp118 triliun.

Jika didetailkan lagi, maka 68 persen pengeluaran itu dilakukan oleh pemerintah daerah menyentuh angka Rp5,03 Triliun. Hampir 73 persen pos anggaran iklan itu lari ke media-media cetak lokal.

Masih data dari Nielsen, dominasi iklan pemerintah daerah adalah artikel atau advertorial yang mencapai 56 persen. Sisanya berupa ucapan selamat sebesar 15 persen, pengumuman sebesar 14 persen, dan pemberitahuan acara spesial sebesar 12 persen.

Pemda yang paling banyak membelanjakan iklan adalah Pemprov Riau dengan nilai belanja mencapaai Rp569 Miliar, disusul oleh Pemprov Kalimantan Timur yang mencapai Rp534,8 Miliar. Angka ini tentu cukup mengagetkan karena APBD Riau pada 2015 hanya Rp10,68 triliun, sedangkan APBD Kaltim Rp9,34 triliun.

Jika dipersentasekan, berarti 5, 3 persen APBD Riau dan 5,7 persen APBD Kaltim tersedot untuk membiayai narsisme para pejabat lokal. Sebuah angka yang sangat mahal. Andai saja dana sebesar itu untuk pembangunan, mungkin sudah ada puluhan sekolah dan ribuan kilometer jalan sudah terbangun.

Pada kasus PON kali ini, betapa cerdiknya Aher, dia berhasil menyebarkan wajahnya ke dalam benak sebagian masyarakat Indonesia. Dalam politik faktor ini akan menelan biaya yang mahal. Namun dengan menumpang sosilisasi si Surili yang dikabarkan menelan angka hingga ratusan miliar, Aher punya modal untuk bertarung di kancah perpolitikan nasional pasca dia pensiun dari gubernur 2018 nanti.

Baca juga artikel terkait PON 2016 JABAR atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti