Menuju konten utama
Monica Kumalasari:

"Agus Takut, Ahok Marah, Anies Marah"

"Yang paling parah dari ketiga paslon adalah pengendalian emosi. Ini kayak pertarungan emosi jadinya."

Monica Kumalasari

tirto.id - Rentetan agenda debat politik yang digelar KPU DKI Jakarta telah berakhir. Namun, yang kita lihat dan dengar dalam debat itu hanyalah permukaan. Ada banyak hal yang dipendam dan terungkapkan oleh masing-masing paslon.

Pakar Bahasa Tubuh Monica Kumalasari, yang mendapatkan lisensinya dari Paul Ekman International Plc, mengajak kita mendalami apa yang dengan sengaja disembunyikan tapi terbaca melalui raut wajah, gestur, intonasi suara, gaya verbal, dan konten verbal. Ia mengidentifikasi micro expression, bocoran gerakan alam bawah sadar yang memunculkan emosi tersembunyi. Bentuknya beragam; mulai dari kesedihan, kemarahan, penghinaan, keterkejutan, ketakutan, perasaan jijik, dan sebagainya.

Menurut Monica, seni membaca ekspresi mikro ini dipelopori Paul Ekman dan mulai dipraktikkan pada 1967 untuk memecahkan berbagai kasus kriminal. Ia menganalisis ekspesi yang muncul dalam sekian milidetik, seperti kedipan mata. “Lebih sahih mana sih antara yang dikatakan dengan gestur?” tanya Monica. “Ya, gestur. Ini berdasarkan hasil studi. Saya belajar sampai ke Manchester.”

Benarkah ekspresi mikro ini lebih valid daripada argumentasi verbal? Berikut perbincangan lengkap reporter Tirto, Dieqy Hasbi Widhana, bersama Monica.

Apa hal menarik Anda tangkap pada pembukaan debat pertama?

Pembukaan Ira Koesno itu keren banget. Dia mengajak salaman masing-masing paslon. Oh, ternyata AHY tangannya dingin sementara yang lain hangat. Nah, itu sebenarnya bawah sadar manusia dalam merespons: orang ini kepribadiannya sebetulnya bagaimana sih, apakah punya kepribadian yang hangat. Jadi, kita audiens ini kayak dipinjami tangan oleh Ira Koesno.

Pribadi Agus dingin?

Dia terlihat seperti sering mencoba fake smile, tapi itu sebetulnya bukan fake smile. Itu ekspresi rasa takut.

Di situ dia coba untuk tersenyum, tapi senyumnya enggak lepas. Senyum yang enggak lepas adalah ekspresi dari scary atau fear, sebetulnya dia takut menghadapi debat itu. Itu masih terbawa sampai dengan debat kedua.

Agus juga omong begini, “Rakyat menderita, macet di mana-mana”. Dia bicara penderitaan rakyat, tapi tidak didukung empati, dia justru tersenyum mengejek ke paslon nomor 2. Harusnya emphatically, ya, tapi dia tidak menunjukkan itu.

Waktu menjelaskan terkait visi-misi, secara verbal style-nya masih menggunakan kata 'saya', bukan 'Kami'. “Visi saya lima tahun ke depan,” dan “Saya akan berdiri di garda terdepan,” bukan kami. Padahal ini kan dia bersama wakilnya. Dia tidak memberikan cukup kesempatan untuk Sylvi, adanya cuma di akhir-akhir saja. Di debat 2 dia juga masih tetap pakai 'Saya'. Ini menunjukkan dia orangnya terlalu dominan, terhadap wakilnya pun dia terlalu dominan.

Di segmen 1 itu Ira Koesno sampai bilang, “Tenang Pak Agus.” Yang disuruh menjawab paslon nomor 2, eh, dia nyelonong. Jadi sampai ditenangkan. Dia seperti punya emosi yang meledak-ledak untuk menjawab setiap pertanyaan.

Agus bilang, disarankan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar tetap tenang. Itu kelihatan dituruti atau tidak?

Enggak. Karena berkali-kali dia mendominasi dan di debat 1 itu, setiap kali habis menjawab, sebelum mundur ke kursinya, dia seperti mencari-cari (Monica memperagakan gerakan Agus yang tolah-toleh). Dia seperti ingin memastikan, ini jawabanku sudah benar atau belum. Agus seperti minta support dari Pepo dan Memonya.

Selain terlalu banyak omong, yang kayak hafalan dan dia pakai contekan, setiap balik ke tempat duduknya dia kemudian tos dengan pasangannya. Anda bisa bayangkan, ini debat, Anda bukan sedang nonton pertandingan. Paslon 2 dan 3 enggak begitu.

Apa arti dari tos itu?

Artinya dia menganggap bahwa ini adalah sebuah pertarungan. Ini sebuah medan laga, dia bertarung dan harus menang. Sementara kalau Paslon nomor 2 santai saja. .

Apa yang Anda lihat dari paslon 2?

Si Ahok ini sadar, dia lagi jadi pergunjingan karena penistaan agama. Di debat 1 dia bilang, “Saya itu bersyukur punya Mas Djarot.” Bahkan menyebutkan nama belakang Djarot, sebagai informasi bahwa Djarot ini adalah seorang muslim dan baik. Ini cara Ahok untuk mengenyahkan isu nonmuslim.

Itu bukankah settingan?

Ya. Begini, settingan pun kalau itu ditunjukkan dengan baik ya enggak apa-apa. Ini sudah dia persiapkan supaya bawah sadar masyarakat tahu: 'jangan khawatir, wakilku bisa mewakili kalian'. Waktu dia ngomong begitu, wajahnya tersenyum tulus.

Di debat 1, cuma Ahok, Djarot, dan Anies yang hangat. Itu bukan masalah grogi atau enggak, tapi kehangatan seseorang.

Agus banyak menjawab dengan mengalihkan konten, ketika ditanya A, jawabnya C.

Bagaimana dengan pertanyaan terkait tawaran yang harus meninggalkan jabatan sebagai gubernur DKI Jakarta?

Oh, Ahok tertawa di situ. Pitch-nya seperti mengejek. Itu juga Djarot yang jawab. Di situlah masyarakat kecewa, harusnya Ahok yang maju.

Tapi Ahok banyak omong chunk kecil, artinya tindakan nyata, pelaksanaan konsep, dan ide spesifik. Sementara Agus dan Anies ke chunk besar, konsep, common sense, di mana semua orang setuju dong. Misalnya pemberantasan korupsi, membela rakyat kecil, dan sebagainya.

Bagaimana dengan pasangan nomor 3?

Gaya Anies itu bahasa tubuhnya bagus. Ya, karena dia terbiasa jadi orator. Tapi bicaranya enggak pernah ide yang detail, selalu ide besar. Berbicara di level itu dia pasti aman. Sementara Ahok detail, 'ini lho yang harus diperbaiki dengan angka sekian-sekian'. Anies ini omongannya masih mengambang, dan itu pembicaraan yang paling aman—daripada diserang.

Anies juga menjawab tidak secara langsung ke pokok permasalahan. Orang nanya A tidak langsung dijawab A, tapi dia ke C dulu baru ke A.

Ke debat 2, apa perbedaan Ira Koesno dan Tina Talisa?

Ira Koesno itu sebenarnya bagus, karena dia bisa tegas. Tapi nada atau tone suaranya terlalu tinggi, seperti orang marah, memancing situasi menjadi panas, makin panas. Sementara Tina Talisa itu seperti MC, kurang tegas. Sebagai moderator sebetulnya dia juga bisa memperdalam pertanyaan, ya, tapi saya tidak melihat itu. Fungsinya hanya sebatas MC.

Bagaimana dengan Agus, apa ada perubahan dari debat sebelumnya?

Style Agus masih 'saya', 'saya', 'saya'. Sudah begitu, dia selalu mengatakan pengalamannya di militer yang akan diterapkan. Ketiga paslon memang memiliki pengalaman masing-masing yang luar biasa, tapi apakah itu cukup aplikatif untuk di Jakarta yang sedang butuh perubahan?

Agus juga masih belum menunjukkan simpati pada saat dia berbicara ketakutan rakyat, orang Pemda yang takut dipecat. Dia membicarakan sesuatu yang miris tapi tidak dibarengi ekspresi yang menyatakan bahwa dia berempati terhadap keadaan tersebut. Di debat kedua juga ada tos-tosan di setiap sesi.

Selain itu, saat menjawab, blinking rate-nya meningkat—sempat saya hitung kedipannya. Itu menunjukkan dia grogi atau tidak yakin dengan apa yang dia katakan.

Ahok?

Ahok sebetulnya marah saat Sylvi mengkritik tidak adanya harmonisasi dengan DPRD. Kelihatan dari bibirnya yang mengatup, ini reliable message untuk kemarahan. Nah, waktu Sylvi kehabisan waktu untuk bertanya kepada Anies karena terlalu lama memberi pengantar, Ahok menertawakannya dengan ekspresi makro, bahkan seperti menari-nari saat memisahkan Sylvi dan Anies, itu sengaja dia tunjukkan.

Haha. Lalu bagaimana dengan Anies?

Dia bilang kamu jangan bangga dengan IPM yang tinggi karena itu warisan, ini mencerminkan dia benar-benar dosen atau pendidik. Itu kayak di debat 1 waktu dia bilang Sylvi “enggak nyambung.” Dia menunjukkan sikap superior.

Saat Djarot bilang “kami masih butuh waktu 5 tahun lagi,” bibir Anies mengatup marah.

Bisakah bahasa tubuh itu dimanipulasi?

Harusnya mereka memakai itu. Contohnya Obama, dia kelihatan perfect. Dia pernah bilang, “Don't vote me!” Dia bilang jangan, tapi tangannya mengarahkan bawah sadar penonton untuk memilihnya. Dalam sebuah komunikasi, kata-kata itu pengaruhnya cuma 7 persen, intonasi berpengaruh 35 persen, sedangkan 55 persennya adalah bahasa tubuh.

Saya melihat, yang paling parah dari ketiga paslon adalah pengendalian emosi. Ini kayak pertarungan emosi jadinya.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAGUB DKI 2017 atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Indepth
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Arlian Buana