Menuju konten utama

Ada Apa di Balik Banyaknya Juru Pangkas Rambut Asli Garut?

Jokowi ikut acara pangkas rambut di Situ Bagendit, Garut. Ada cerita mengapa tukang cukur Asli Garut ada di mana-mana.

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (kiri) mengikuti potong rambut massal di area wisata Situ Bagendit, Garut, Jawa Barat, Sabtu (19/1/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc.

tirto.id - Hari kedua kunjungannya di Garut (19/1/2019), Jokowi mengikuti acara pangkas rambut massal di daerah Situ Bagendit, Kecamatan Banyuresmi. Kabupaten Garut, khususnya Kecamatan Banyuresmi, telah lama dikenal sebagai kampungnya para pemangkas rambut. Warganya yang merantau ke pelbagai kota di Jawa Barat dan Jakarta kerap menamai tempat pangkas rambut mereka dengan sebutan Asgar alias Asli Garut.

Beberapa kepala negara republik ini, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi, berlangganan kepada pemangkas rambut asal Garut. Kisah “keberanian” mereka memegang kepala para kepala negara pernah ditulis detikX.

“Saya mendadak diminta segera ke Istana Negara beberapa hari sebelum masuk puasa kemarin,” ujar Herman, pemangkas rambut langganan Jokowi.

Sesampainya di Istana Negara, ditemani anggota Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden), ia tak sempat lagi melewati pemeriksaan keamanan. Herman segera berlari menuju ruangan yang telah ditentukan. Tak lama kemudian Jokowi datang, dan ia pun segera melaksanakan tugasnya.

Kisah lain dialami Agus Wahidin, pemangkas rambut langganan SBY. Agus yang berasal dari Kampung Parung, Banyuresmi, mengenal SBY lewat Suripto, seorang pegawai Sekretariat Negara yang menjadi langganannya.

“Waktu itu tukang potong rambut Pak SBY lagi sakit. Pak Suripto lalu merekomendasikan saya kepada Bagian Rumah Tangga Kepresidenan,” ujarnya.

Ketrampilan Agus memangkas rambut rupanya memuaskan keluarga SBY, terutama istrinya. Sejak itu, selama belasan tahun, SBY menjadi langganannya.

“Saya tidak membayangkan bisa mencukur Presiden. Soalnya, belum pernah tukang cukur dari Garut bisa megang kepala Presiden,” kenangnya.

Bersatu di Perantauan

Selama puluhan tahun, dari generasi ke generasi, pemangkas rambut asal Garut terus bertambah. Di perantauan, mereka mengikatkan diri dengan pelbagai perkumpulan seprofesi dan sekampung. Belakangan, beberapa organisasi pemangkas rambut asal Garut terbentuk dengan jumlah anggota yang sangat besar, salah satunya PPRG (Persaudaraan Pangkas Rambut Garut).

PPRG beberapa kali terlibat dalam hajatan politik sejumlah politikus nasional. Minggu pagi (18/2/2018) dalam kampanye Pilgub Jabar, Ridwan Kamil melibatkan ratusan anggota PPRG untuk menggelar pangkas rambut gratis bagi warga Bekasi.

Organisasi pemangkas rambut asal Garut ini juga yang bertugas dalam acara pangkas rambut massal di sekitar Situ Bagendit, Garut yang dihadiri oleh Jokowi.

Tidak semua pemangkas rambut asal Garut tergabung ke dalam pelbagai organisasi profesi itu. Indra (38) salah satunya. Pemangkas rambut ala Wanaraja yang sehari-hari bekerja di sebuah barbershop di bilangan Salemba sengaja tidak ikut bergabung. Kepada Tirto saat dihubungi lewat sambungan telepon (19/1/2019), Indra mengungkapkan alasannya.

“Saya mah enggak ikutan, soalnya [organisasi-organisasi itu] udah kayak partai politik,” ujarnya.

Hal serupa diungkapkan juga oleh saudaranya, Ferdy (26), yang bekerja di sebuah barbershop di daerah Arcamanik, Bandung.

Dalam perjalanan panjangnya merapikan rambut jutaan warga, beredar cerita lisan turun-temurun tentang asal-mula profesi ini di kalangan pemangkas rambut asal Garut.

Secara umum, mereka mengetahui dari para pendahulunya, bahwa persebaran mereka bermula saat konflik bersenjata antara DI/TII pimpinan S.M. Kartosoewirjo dengan TNI terjadi di daerahnya. Untuk menghindari pertumpahan darah, mereka banyak yang mengungsi ke luar kota dan menghidupi diri dengan pelbagai pekerjaan, salah satunya menjadi tukang pangkas rambut.

Baik Indra maupun Ferdy, yang usia keduanya masih relatif muda, mengatakan asal-usul pemangkas rambut asal Garut bermula dari zaman gerombolan—sebutan mereka untuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

“Kata para pendahulu kami sih gitu asal mulanya,” ujar Indra.

Informasi serupa disampaikan oleh Ada Syuhada. Ia yang mulai menekuni profesi sebagai pemangkas rambut sejak tahun 1965, menerima cerita dari ayahnya, Aki Uca.

Menurut penuturan orangtuanya, saat konflik bersenjata menghebat antara DI/TII dengan TNI, warga Banyuresmi banyak yang mengungsi ke sejumlah daerah di sekitar Garut. Aki Uca saat itu mengungsi ke Majalaya, Kabupaten Bandung, dan bekerja sebagai pemangkas rambut.

Ada juga yang mengemukakan versi lain. Dalam laporan Kompas, Ada Syuhada bercerita bahwa orangtuanya telah menjadi pemangkas rambut sejak zaman Jepang. Artinya, orang-orang Garut telah menekuni profesi ini sebelum kecamuk separatisme merongrong pemerintahan Sukarno.

Keterangan serupa disampaikan Achmad Tossin, putra Muhammad Ero Saefulloh, asal Kampung Peuteuy, Garut. Ia bercerita orangtuanya telah menjadi pemangkas rambut sejak akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia.

“Dia belajar cukur dan menjadi pegawai tempat pangkas rambut Dinasty milik orang Jepang sejak 1945-1949 di Jalan Asia Afrika (dulu bernama Jalan Raya Timur), Bandung. Setelah Jepang hengkang, Ero kemudian membuka bisnisnya sendiri. Lokasinya tak beranjak sampai sekarang,” tulis Tempo mengutip Achmad Tossin.

Kiwari, meski tak semua pemangkas rambut Garut berasal dari Banyuresmi—seperti Indra dan Ferdy yang berasal dari Wanaraja—tapi Banyuresmi masih menjadi penyumbang terbesarnya.

Para pemangkas rambut ini, seperti ditulis Iin Imadudin dalam “Perkembangan Etnopreneurship di Garut 1945-2010” (Jurnal Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011) yang diterbitkan Balai Pelestari Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, kampung-kampung penghasil tukang cukur di Kecamatan Banyuresmi kebanyakan dari Parung, Bagendit, Bantarjati, Pasirsalam, Peundeuy, Sargenteng, Balakasap, dan Haurseah.

Bersatu di Perantauan dan Bagaimana Mereka Bermula

Seperti profesi di sektor informal lainnya, tukang pangkas rambut asal Garut bukanlah satu-satunya pekerjaan yang hadir di perkotaan akibat terpapar konflik politik para elite.

Martin van Bruinessen yang melakukan penelitian selama setahun di daerah Sukapakir, Bandung mencatatnya dalam Rakyat Kecil, Islam, dan Politik (2013). Menurutnya, gerakan bersenjata DI/TII di Garut dan sekitarnya, telah mendorong banyak penduduknya mengungsi ke Bandung dan menjalani pekerjaan di pelbagai sektor informal seperti tukang kayu, penjual buah-buahan, dan tukang pangkas rambut.

“Kota ini menerima arus masuk pendatang dalam jumlah besar pada awal tahun 1950-an, akibat pemberontakan Darul Islam (DI) […] Tindakan balasan kedua belah pihak terhadap orang-orang desa yang dicurigai, membuat desa menjadi tidak aman […] Jumlah pengungsi yang datang ke Bandung pada tahun-tahun itu dapat dipastikan mencapai sekitar seratus ribu jiwa,” tulisnya.

Infografik Asgardian

Infografik Asgardian

Selain konflik bersenjata di era 1950-an, imbuh Bruinessen, peristiwa tahun 1965 juga cukup berpengaruh terhadap persebaran warga Garut dan sekitarnya di Kota Bandung sebagai salah satu kota besar di Indonesia.

Ia mewawancarai Husen, kelahiran 1925, warga Sukapakir yang berasal dari Garut. Husen mula-mula datang ke Bandung pada 1948. Setelah menikah, ia memboyong istrinya ke kampung untuk menggarap sawah. Namun, pada 1950, pasukan DI/TII membunuh beberapa warga desanya sehingga ia balik lagi ke Bandung.

Setelah pemberontakan DI/TII berakhir, ia bersama keluarganya kembali ke Garut. Selang beberapa tahun, peristiwa G30S kembali mengacaukan kampungnya.

“Rupanya dia tidak dapat lama hidup tenang di sana. Ada banyak orang yang dicap komunis di desanya, dan setelah peristiwa G30S, saling bunuh pun terjadi. Dia kembali melarikan diri ke Bandung, setelah menjual lahan sawahnya yang terakhir, dan kemudian berjualan buah-buahan di salah satu pasar,” terang Bruinessen.

Kekacauan mengancam keamanan, kehidupan ekonomi pun kian sulit. Faktor-faktor yang berkelindan itulah yang pada mulanya mendorong warga Garut dan sekitarnya, termasuk para tukang pangkas rambut, untuk keluar dari kepompong kampungnya.

Menurut Karl D. Jackson dalam Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat (1990), mereka kemudian membentuk kehidupan di perkotaan melalui hubungan “patron-klien” yang didasarkan pada perbedaan daya jangkau terhadap sumber-sumber daya langka, yaitu tempat tinggal, pekerjaan, jaringan koneksi, dan keahlian.

Namun, menurut Bruinessen dalam Rakyat Kecil, Islam, dan Politik (2013), hubungan tersebut tetap terikat dengan hubungan kewenangan tradisional, yakni kesetiaan primordial yang bersandar pada kekerabatan, kedaerahan, kesukuan, dan paham keagamaan.

Hal ini, terlihat dari pola regenerasi para pendatang yang bekerja di sektor informal, termasuk tukang pangkas rambut asal Garut. Sampai hari ini, banyak kisah bagaimana misalnya seorang tukang pangkas rambut, mula-mula meniti kariernya. Mereka biasanya mengikuti jejak orangtua, saudara, tetangga, atau pun sahabat.

Tanpa bantuan orang lain, imbuh Bruinessen, hampir mustahil mereka memperoleh pekerjaan di kota.

“Kebanyakan pendatang mencari keluarga atau teman sekampungnya, jika ada, dan meminta bantuan mereka memperoleh tempat berteduh dan pekerjaan. Kehadiran teman sekampung di kota ternyata merupakan salah satu faktor pendukung utama kepindahan mereka ke kota,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait TUKANG CUKUR atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani