tirto.id - Timnas Indonesia berburu gelar perdana Piala AFF saat dijamu Thailand di Stadion Rajamangala pada 17 Desember 2016 besok. Kemenangan 2-1 di leg pertama belum menjamin apapun bagi tim Merah-Putih karena Thailand pun mengejar rekor yang tak kalah prestisius di ajang sepakbola paling bergengsi se-ASEAN itu.
Jika mampu menggagalkan mimpi Indonesia di partai puncak nanti, Thailand akan menjadi tim yang paling banyak meraih gelar juara Piala AFF. Hingga saat ini, skuad Gajah Putih sudah mengoleksi 4 trofi yang didapat masing-masing pada edisi 1996, 2000, 2002, dan 2014. Dua gelar di antaranya, yakni Piala AFF 2000 dan 2002, diperoleh setelah menghantam Indonesia di final.
Sebaliknya bagi Indonesia, apabila bisa menahan imbang apalagi mengalahkan Thailanddi di final leg kedua, maka pecah telor bagi tim Garuda maupun sang pelatih, Alfred Riedl, yang belum pernah mengangkat trofi Piala AFF. Sejauh ini sejak 1996, Indonesia hanya sanggup menjadi runner-up, yakni pada 2000, 2002, 2004, dan 2010.
Garuda Sedikit di Atas Angin
Boaz Solossa dan kawan-kawan menyuguhkan penampilan mengejutkan di leg pertama final Piala AFF 2016 yang dihelat di Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 14 Desember lalu. Riedl dengan cermat ternyata bernyali menginstruksikan anak-anak asuhnya untuk tampil lebih terbuka menghadapi lawan sekuat Thailand.
Meskipun masih kalah dalam penguasaan bola yakni 43 berbanding 57 persen, tapi aksi para punggawa Merah-Putih jauh lebih baik ketimbang saat menahan Vietnam 2-2 di semifinal leg kedua. Dari 6 kesempatan, Indonesia berhasil mencetak 2 gol ke gawang Thailand melalui Rizky Pora dan Hansamu Yama Pranata. Sementara Thailand yang punya 8 peluang hanya mampu mencetak 1 gol lewat Teerasil Dangda.
Khusus di Piala AFF 2016 ini, Indonesia tampaknya sedikit di atas angin, setidaknya untuk poin-poin tertentu meskipun Thailand tentu saja juga punya beberapa keuntungan di final leg kedua nanti. Selain mengantongi modal kemenangan 2-1 di kandang, catatan yang ditorehkan skuad asuhan Riedl atas Thailand cukup baik.
Catat, Indonesia adalah satu-satunya tim yang bisa membobol gawang Thailand di sepanjang Piala AFF 2016. Gawang Kawin Thamsatchanan bahkan dijebol sebanyak 4 kali oleh anak-anak Garuda. Indonesia juga menjadi tim yang berhasil mencoreng kesempurnaan The Elephant War. Deretan 5 kemenangan beruntun Thailand terhenti di Pakansari.
Tak hanya itu, ketajaman para pemain Indonesia di Piala AFF 2016 merata di setiap lini. Dari 12 gol yang dihasilkan sejauh ini, para pemain depan, tengah, bahkan belakang sudah mencatatkan nama di papan skor. Boaz Solossa selaku striker utama masih menjadi yang paling produktif dengan torehan 3 gol. Diikuti oleh Stefano Lilipaly (tengah) dan Hansamu Yama Pranata (belakang) yang masing-masing membukukan 2 gol.
Adapun 6 gol lainnya dilesakkan oleh Lerby Eliandry (depan), Andik Vermansah (tengah/sayap), Rizky Pora (tengah/sayap), Manahati Lestusen (belakang/tengah), serta Fachrudin Wahyudi Aryanto (belakang). Proses gol yang terjadi pun cukup lengkap, dari tendangan di dalam kotak penalti lawan, tendangan jarak jauh, sundulan dari permainan terbuka, sundulan dari skema sepak pojok, hingga penalti.
Membaiknya Mental dan Fisik
Masalah fisik dan mental yang selama ini menjadi penyakit akut bagi Timnas Indonesia seolah sembuh di Piala AFF 2016. Kendati tetap terlihat kepayahan sejak pertengahan babak kedua, tapi para punggawa Garuda tetap tampil militan dan bersemangat, baik dalam skema bertahan maupun menyerang, yang sejujurnya mampu menutupi mulai terkurasnya stamina. Contoh paling nyata adalah di laga semifinal leg kedua di Vietnam yang harus dilangsungkan lebih dari 120 menit.
Begitu pula dengan masalah mental. Biasanya, mental pemain Timnas Indonesia langsung ambruk setelah tertinggal oleh gol lawan dan sangat sulit untuk bangkit lagi. Namun, tidak begitu yang terjadi di Piala AFF 2016 ini. Gol-gol kemenangan tim Merah-Putih justru lebih sering tercipta di babak kedua.
Thailand pernah dua kali merasakan kebangkitan Garuda. Yang pertama di pertemuan perdana babak penyisihan Grup A. Kala itu, gawang Kurnia Meiga sudah bobol dua kali oleh Peerapat Notchaiya di menit 4 dan Teerasil Dangda di menit 36. Tapi, Indonesia berhasil membalas lewat Boaz Solossa dan Lerby Eliandry di babak kedua hanya dalam waktu 3 menit, pada menit 53 dan 56, meskipun akhirnya kalah dengan skor akhir 2-4.
Yang kedua tentu saja di final leg pertama lalu. Teerasil Dangda membawa Thailand unggul 0-1 pada menit 33. Namun, dengan semangat juang tinggi, anak-anak Merah-Putih dengan heroik mampu membalikkan skor berkat gol Rizky Pora dan Hansamu Yama Pranata yang lagi-lagi dilesakkan dalam rentang waktu yang berdekatan, yakni pada menit 65 dan 70.
Situasi serupa juga terjadi pada laga penentuan kontra Singapura di duel terakhir penyisihan Grup A. Indonesia tertinggal di menit 27 babak pertama melalui gol indah Khairul Amri. Di babak kedua, dua gol yang tak kalah manisnya lahir dari kaki Andik Vermansah (menit 62) dan Stefano Lilipaly (menit 85) yang menjadikan skor akhir 2-1 untuk Indonesia dan mengantarkan tim Garuda melangkah ke semifinal.
Total, dari 12 gol Timnas Indonesia di 6 pertandingan Piala AFF 2016 sejauh ini, 10 gol di antaranya terjadi selepas turun minum. Uniknya lagi, ke-12 gol tersebut dibagi rata dalam 6 laga, masing-masing 2 gol tercipta di setiap pertandingan. Ini membuktikan bahwa Indonesia termasuk tim yang cukup produktif dan hanya terpaut 1 gol dari Thailand yang hingga kini telah mengoleksi 13 gol.
Menyerang dengan Cermat
Bertahan dengan cara parkir bus jelas bukan pilihan. Membiarkan Thailand terus menerus menggempur pertahanan Indonesia sama saja bunuh diri. Salah satu alasannya adalah karena Indonesia bukan tim yang menumpukan kekuatannya di lini belakang.
Di leg kedua semifinal melawan Vietnam, Indonesia malah kebobolan setelah bermain lebih pasif dan menunggu. Menghadapi Vietnam yang hanya bermain 10 orang, Indonesia justru kebobolan dua gol. Dan itu terjadi ketika Indonesia bermain aman dengan menunggu lawan di pertahanan sendiri.
Akan lebih aman jika Indonesia bermain dengan medium block, garis pertahanan yang tidak terlalu dalam, dan memerintahkan para pemin tengah untuk aktif menekan setelah Thailand masuk ke wilayah Indonesia. Salah satu dari kedua pemain sayap Indonesia, baik Rizky Pora maupun Zulham Zamrun (yang menggantikan Andik) mesti dilibatkan dalam membendung serangan Thailand sejak lini tengah. Jika Thai menyerang dari kanan, Pora harus aktif turun, jika menyerang dari kiri maka Zulham juga harus terlibat bergerak ke bawah.
Sisi sayap yang ditinggalkan oleh Pora/Zulham yang sedang aktif bertahan biar diisi oleh Ferdinand Sinaga/Boaz Solossa, dua penyerang yang juga mahir bermain dari sisi sayap. Ini penting agar tidak ada sisi sayap yang kosong ketika Indonesia melakukan serangan balik.
Serangan dari para pemain sayap, atau melalui umpan silang, masih bisa diandalkan untuk membongkar pertahanan Thailand. Empat gol yang dicetak Indonesia ke gawang Thailand (dua saat babak grup, dua saat leg pertama) selalu dicetak oleh pemain sayap atau jika tidak berawal dari umpan silang (entah melalui permainan terbuka maupun bola mati).
Thailand hampir pasti akan jauh lebih agresif sejak menit pertama untuk mengejar defisit gol. Jika jeli, akan cukup banyak ruang tersedia di pertahanan Thailand. Dan setiap celah itulah yang harus dimaksimalkan oleh Indonesia.
Kuncinya adalah jangan sampai kebobolan secara cepat. Akan menjadi persoalan serius jika Thailand mencetak gol cepat. Pekerjaan menjadi sedikit ringan jika babak pertama berakhir tanpa kebobolan. Thailand niscaya akan lebih gila-gilaan menyerang. Seiring waktu berjalan, celah di pertahanan Thailand dengan sendirinya akan semakin banyak.
Jangan juga abaikan kemungkinan adu penalti. Riedl tentunya sudah menyiapkan kemungkinan pertandingan akan diakhiri dengan adu tendangan dari titik putih. Jika ini terjadi, kekuatan mental dan keberuntungan akan menentukan.
Mitos Berlanjut di Rajamangala?
Sejak menggunakan format kandang-tandang untuk babak semifinal dan final mulai edisi 2004, tim yang memenangkan final leg pertama selalu menjadi juara Piala AFF. Baik Indonesia maupun Thailand pernah mengalami “kebenaran” dari mitos tersebut.
Indonesia, misalnya, gagal merengkuh trofi Piala AFF 2004 setelah dipermalukan Singapura dengan skor 1-3 di Jakarta dan takluk 2-1 di laga tandang leg kedua. Kegagalan terulang lagi pada edisi 2010: Indonesia kalah 0-3 di final leg pertama dari Malaysia, dan hanya mampu membalas 2-1 di final kedua di Jakarta.
Thailand juga demikian. Hanya saja, tim Gajah Putih bukan cuma merasakan pahitnya saja, melainkan menikmati manisnya pula. Di final Piala AFF 2007, Thailand gagal memenangkan pertandingan leg pertama di Singapura dan hanya imbang 1-1 di Bangkok pada leg kedua. Singapura pun menjadi juaranya.
Kesialan Thailand berlanjut di edisi selanjutnya. Kali ini, giliran Vietnam yang mengubur asa juara Teerasil Dangda dan kawan-kawan di Piala AFF 2008 karena kalah di final leg pertama di kandang sendiri dengan skor 2-1 dan ditahan imbang 1-1 di Hanoi.
Di Piala AFF 2012, nasib naas masih saja akrab dengan Thailand dan pasukan Singa untuk kedua kalinya mempecundangi armada Gajah. Di final leg pertama, Singapura menang di kandang dengan skor 3-1. Thailand kembali batal juara karena hanya mampu menang 1-0.
Thailand akhirnya merasakan berkah mitos tersebut pada Piala AFF dua tahun lalu, yakni pada 2014. Skuad asuhan Kiatisuk Senamuang menang 2-0 atas Malaysia di pertandingan final pertama, dan hanya kalah 2-3 di Kuala Lumpur. Inilah trofi juara Piala AFF pertama bagi Kiatisuk dalam karier barunya sebagai pelatih.
Indonesia adalah pemenang final leg pertama Piala AFF 2016, dan kebetulan lawannya adalah Thailand. Apakah Thailand akan mengalami kesialan di partai puncak untuk yang ke-4 kalinya, dan sebaliknya Indonesia untuk pertamakalinya mereguk nikmat juara berkat kemenangan di pertemuan pertama? Tunggu saja hasilnya dalam drama yang segera tersaji di Rajamangala.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS