Menuju konten utama

Tiada Imlek Tanpa Simbol-Simbol Hoki

Ada angpau merah dan pelbagai makanan yang menjadi simbolisasi hoki dan nasib baik dalam tradisi Imlek.

Tiada Imlek Tanpa Simbol-Simbol Hoki
Tongkat keberuntungan yang digunakan di kuil-kuil dalam ritual budaya Cina. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Tahun ini, Iboi (26) belum memastikan apakah ia akan kembali ke rumah orangtuanya atau tidak pada hari Imlek. Pasalnya, perayaan dari tradisi Cina ini tidak lagi memiliki makna mendalam bagi dia. Sudah seperti perayaan ulang tahun yang diisi makan-makan saja segelintir anggota keluarga saja kata Iboi.

“Perayaan Imlek di keluarga gue udah nggak seintens 10-15 tahun lalu. Saudara-saudara yang jauh tinggalnya sampai datang ke rumah orangtua gue karena Oma dari keluarga nyokap tinggal di sana. Oma-lah yang cukup kuat megang tradisi ini karena dia asli keturunan Tionghoa, beda sama orangtua Bokap yang udah campuran [etnisnya]. Sekarang, cuma Om dan Tante anak-anaknya Oma ini yang suka dateng pas Imlek meski nyokap gue sendiri udah nggak ngerayain-ngerayain amat,” jelas mahasiswa jurusan Cultural Studies UI ini.

Ada alasan mengapa Imlek bagi Iboi atau ibunya tak dimaknai mendalam. Iboi bercerita, semenjak anak-anak Omanya menjadi penganut Kristen imbas belum diakuinya Konghucu sebagai agama, ritual tradisional Cina mulai ditinggalkan. Tidak ada lagi yang ke kelenteng atau membakar hio untuk berdoa, tidak ada lagi keyakinan teguh bahwa hal-hal tertentu membawa hoki.

“Kalaupun ada, itu cuma formalitas aja. Misalnya, makan ikan pas Imlek karena dianggap bawa hoki sama orang-orang generasi Oma. Macam sebagian orang Amerika merayakan Natal aja, buat kumpul-kumpul. Jadi ngerayain budaya makan dan ngumpulnya, bukan ngerayain kepercayaan,” imbuh laki-laki penggemar basket ini.

Tahun Baru dan Nasib Baik

Meski demikian halnya bagi Iboi, bukan berarti apa yang terhidang dalam perayaan Imlek sungguh-sungguh hidangan biasa. Ada makna di balik pilihan-pilihan makanan dan aktivitas yang biasa muncul kala Imlek. Hidangan ikan adalah salah satu contohnya.

Menurut Agni Malagina, pengajar di Departemen Sastra Cina, Universitas Indonesia, kata “yu” digunakan untuk menyebut ikan, dan “yu” ini mirip dengan “yu” yang berarti melimpah.

Tidak hanya ikan, beberapa makanan lain seperti mi, jeruk, ikan, dumpling, kue beras (niangao), lobak, dan 8 jenis manisan/permen juga diyakini mendatangkan nasib baik.

Sederet kepercayaan terkait hoki lainnya mencakup aktivitas memberikan angpao, membakar kembang api dan petasan, membereskan rumah, serta menghiasi jendela dan pintu dengan ornamen merah.

Tradisi memasang ornamen merah dan membakar kembang api dipercaya berhubungan dengan legenda tentang makhluk jahat bernama Nian. Pada Tahun Baru, Nian akan meneror warga desa dan memakan hasil panen, ternak, bahkan anak-anak mereka. Untuk mengenyahkan makhluk separuh banteng dan berkepala singa ini, warga menggunakan api, membuat suara bising, dan memajang hal-hal berwarna merah.

Kekalahan Nian yang artinya kebahagiaan dan kemakmuran warga lantas diteruskan dalam tradisi Imlek dan simbol-simbol seperti warna merah dan api (yang diwakili petasan dan kembang api) dilekatkan dengan makna keberuntungan.

Sehubungan dengan konsep keberuntungan, Agni menyatakan bahwa hal ini merupakan bagian dari kebudayaan Tionghoa yang sangat erat dengan simbol-simbol harapan. Salah satu wujud pengungkapan harapan adalah ucapan “gōngxǐ fācái” yang artinya “semoga Anda bahagia dan sejahtera di tahun baru ini”.

Lebih lanjut Agni menjelaskan, ritual atau praktik budaya terkait keberuntungan dilakukan orang-orang Tionghoa pada saat beribadah. Di kuil, ada kebiasaan mencari tahu peruntungan di tahun baru dengan mendatangi peramal atau berdoa menggunakan kumpulan stik bambu yang disebut kau cim. Stik-stik bertuliskan ramalan keberuntungan ini ditempatkan di satu wadah seperti gelas dan digoyangkan, lalu salah satu stik yang menonjol ditarik. Apa pun yang tertulis di stik yang menonjol tersebut akan mengisyaratkan nasib si pendoa.

Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul inisiatif membuat kau cim elektronik di internet. Bahkan di Hongkong, ada kuil yang menyediakan mesin kau cim otomatis bagi yang ingin diramal nasibnya.

Selain dalam ibadah, konsep keberuntungan juga disematkan dalam puisi-puisi Cina yang digantung pada pintu-pintu rumah, demikian ditambahkan Agni.

Angpau

Angpau merah yang diberikan saat Imlek kepada keluarga yang belum menikah tidak hanya dianggap berhubungan dengan keberuntungan. Hal ini juga mengisyaratkan perhatian dan kemurahan hati si pemberi.

Sebagaimana pada Idul Fitri, sanak famili dari dua keluarga jauh yang merayakan Imlek dapat bertemu dan bertukar angpau untuk anak-anak mereka. Tidak semua keluarga berstatus ekonomi tinggi, karenanya muncul kemungkinan variasi jumlah isi angpau yang diterima anak-anak dan sikap membanding-bandingkannya.

Walau demikian, menurut Ira Lin (21), perempuan asal Fuzhou, Fujian, orang-orang sesungguhnya tidak membandingkan uang yang didapatkan. Namun, mereka tetap mengingat kira-kira seberapa besar isi angpau yang diterima dari pihak keluarga lain supaya nantinya bisa membalas dengan jumlah serupa. “Ini dilakukan untuk menghindari rasa malu,” ucap Lin yang biasanya menerima angpau Imlek sekitar 200-2000 yuan kepada South China Morning Post.

Sementara pengalaman He Li (22) dari Guangdong menunjukkan, isi angpau-angpau Imlek yang ia terima tergantung pada level kedekatan dengan pemberinya. Paman dan bibi dari garis keturunan ibu Li yang cukup intim dengannya biasanya memberikan angpau berisi uang 2000-3000 yuan, sedangkan orang-orang lainnya hanya 100-200 yuan.

Bila ada anggota keluarga yang tidak memberikan angpau, mereka tetap menunjukkan kepedulian dan semangat merayakan Imleknya dengan cara lain, kata Lin, misalnya dengan turut patungan membayari makanan yang dihidangkan dalam pesta keluarga.

Infografik Keberuntungan dalam tradisi cina

Imlek dalam Perayaan Umat Kristiani

Jika pengalaman Iboi menunjukkan pengaruh kepercayaan Kristen terhadap perayaan Imlek di keluarganya, lain cerita dengan yang terjadi di beberapa gereja, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Mereka membawa perayaan Imlek dalam salah satu agenda misa tahunannya, seperti yang diadakan di Gereja St. Paulus, Bandung pada 2017.

Dalam situs katolisitas.org, Ingrid Listiati mengatakan, ada gereja-gereja yang tidak mengadakan misa Imlek dengan alasan kebijakan uskup setempat berdasarkan interpretasinya atas ajaran Katolik. Sementara gereja-gereja lain yang tetap mengadakan misa semacam ini berlandaskan pada pemikiran bahwa misa Imlek semata- mata hanya perayaan syukur.

“Apalagi di Cina sana, Imlek itu juga berkonotasi dengan musim semi. Jadi, datangnya musim semi ini dirayakan sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Jika ini motivasinya, maka tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, karena perayaan Ekaristi intinya juga adalah ucapan syukur,” tulis alumnus program magister Teologi Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat ini.

Imlek yang dikenal pula sebagai Spring Festival di Cina memang telah menjadi salah satu dari lima festival yang paling banyak dirayakan di dunia. Lazimnya, festival ini diadakan antara Januari-Februari, tergantung pada pergerakan bulan.

Spring Festival diyakini bermula sejak Dinasti Shang (1600-1100 SM). Kala itu, orang mempersembahkan sesuatu kepada para dewa dan leluhur di pengujung musim dingin. Baru pada tahun 1914, ketika Cina sudah menjadi republik, perayaan ini ditetapkan sebagai hari libur nasional di Cina. Tahun 1967, Spring Festival sempat dilarang selama Revolusi Budaya.

Kendati misa Imlek sebatas perayaan syukur umat Katolik, Ingrid tidak memungkiri ada kemungkinan pertentangan ketika gereja mengadakannya, khususnya terkait simbol budaya yang dibawa ke dalam gereja. Perayaan Imlek lekat dengan barongsai atau tarian naga, sementara dalam tradisi Katolik, naga berasosiasi dengan iblis. Karenanya, membawa tarian naga ke dalam gereja dipandang Ingrid tidak sesuai pada tempatnya.

Baca juga artikel terkait PERAYAAN IMLEK atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani