tirto.id - Para investor menyetorkan uangnya ke bank minimal Rp5 juta dan maksimal Rp5 miliar dalam jangka waktu tiga tahun. Setiap bulan, mereka mendapatkan bagian dari imbal hasil sebesar 6,9 persen per tahun dari uang yang diinvestasikan. Imbal hasil itu, masuk ke rekening mereka. Sementara uang pokoknya baru bisa diambil setelah jatuh tempo.
Besaran imbal hasil atau bunga atau kupon ditentukan di awal, tidak oleh si investor tetapi oleh pengguna uang. Investor pun harus membayar pajak untuk bunga yang ia terima.
Cara berinvestasi semacam itu, sekilas mirip tabungan deposito. Tetapi bukan, ini bukan deposito, ini sukuk ritel. Ia adalah surat berharga yang diterbitkan negara berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti kepemilikan atau penyertaan terhadap suatu aset atau proyek negara. Ia disebut ritel, karena menyasar calon investor individu atau perorangan.
Februari lalu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membuka masa penawaran Sukri seri SR 009 dengan tingkat kupon (yield) sebesar 6,9 persen per tahun dan tenor tiga tahun.
Bank hanyalah agen penjual. Tak hanya bank, perusahaan sekuritas juga boleh menjual Sukri. Untuk Sukri seri 009 ini, pemerintah menunjuk 22 agen penjual yang hanya terdiri dari perusahaan perbankan.
Selain menerbitkan Sukri, pemerintah juga kerap menerbitkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI). Sama seperti Sukri, ORI juga merupakan surat berharga. Hanya saja, ia tak menggunakan prinsip syariah. ORI bisa disebut sebagai surat utang, tetapi Sukri tidak.
Kementerian Keuangan menyebutkan Sukuk Ritel bukanlah surat utang, tetapi merupakan surat berharga syariah yang mencerminkan bukti kepemilikan investor atas Aset SBSN (underlying asset) yang disewakan.
Akad syariah yang digunakan adalah akad IjarahAsset to be Leased, yaitu akad ijarah yang obyek ijarah-nya sudah ditentukan spesifikasinya dan sebagian obyek ijarah sudah ada pada saat akad dilakukan. Akan tetapi, penyerahan keseluruhan obyek ijarah dilakukan pada masa yang akan datang sesuai kesepakatan.
Sedangkan SBSN Ijarah Asset to be Leased adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas bagian dari aset SBSN yang menjadi obyek ijarah, baik yang sudah ada maupun akan ada.
Pemerintah menggunakan proyek APBN serta barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan sukuk ritel. Aset itu yang kemudian disewakan kepada Pemerintah melalui akad Ijarah Asset to be Leased. Imbalan yang diterima investor berasal dari pembayaran sewa (ujrah) dalam jumlah tetap yang dibayar secara berkala.
Sukri tahun ini memiliki nilai kupon atau imbalan lebih besar dibandingkan dengan ORI 013. Investor ORI 013 hanya mendapatkan kupon sebesar 6,6 persen.
Apabila dibandingkan dengan deposito, Sukri tampak lebih menguntungkan. Tahun ini, rata-rata bunga deposito sebesar 6,1 persen, lebih rendah dari kupon Sukri. Selain itu, pajak bunga deposito juga lebih besar, yakni 20 persen, sedangkan Sukri hanya 15 persen.
Tak seperti investasi pada reksa dana atau pasar saham yang memiliki risiko. Investasi Sukri sama seperti ORI, risikonya bisa dikatakan tidak ada, karena ia diterbitkan negara. Aset negara menjadi jaminan jika negara gagal bayar.
Layaknya surat-surat berharga lainnya, Sukri juga bisa diperdagangkan di pasar modal. Akan tetapi, berbeda dengan ORI, Sukri baru bisa diperdagangkan setelah pembayaran kupon pertama oleh pemerintah. Perdagangan Sukri juga belum selikuid ORI, jadi volatilitasnya harganya minim.
Sukri pertama kali diterbitkan pada 2009. Menurut data Kementerian Keuangan, nilai kupon yang diberikan waktu itu adalah yang tertinggi sepanjang sejarah penerbitan Sukri, yakni 12 persen setahun. Dari penerbitan perdana Sukri itu, pemerintah menghimpun dana senilai Rp5,56 triliun.
Sejak itu, setiap tahun, pemerintah menerbitkan Sukri satu kali. Tahun 2010, Sukri kedua diterbitkan. Nilai kuponnya jauh lebih kecil dari pendahulunya, hanya 8,7 persen. Namun, dana yang diraup pemerintah lebih banyak, mencapai Rp8 triliun.
Tahun 2011, diterbitkan Sukri seri 003 dengan kupon sedikit lebih rendah, 8,15 persen. Waktu itu, dana yang dihimpun menurun, hanya Rp7,34 triliun. Tahun berikutnya, Sukri kembali diterbitkan dengan kupon jauh lebih rendah, 6,25%. Akan tetapi, dana yang diperoleh tumbuh hampir dua kali lipat, yakni Rp13,61 triliun.
Pada tahun 2013, kupon Sukri turun lagi, menjadi hanya 6 persen. Sepanjang sejarah penerbitan Sukri, ini adalah imbal hasil terendah. Meski begitu, dana yang dihimpun pemerintah tahun itu naik dari tahun sebelumnya, Rp14,97 triliun.
Di tahun ke-6 penerbitan sukuk ritel, pemerintah menaikkan kuponnya, menjadi sebesar 8,75 persen. Perolehan dana pun melonjak, menjadi Rp19,32 triliun. Tahun 2015, perolehan dana lebih besar lagi, yakni Rp21,96 triliun. Waktu itu, kupon yang diberikan sebesar 8,25 persen.
Tahun lalu, perolehan dana dari penerbitan Sukri mencapai Rp31,5 triliun. Ini menjadi perolehan terbesar dalam sejarah.
Sukri 009 Sepi Peminat
Selasa, 21 Maret 2017, Kementerian Keuangan mengumumkan hasil dari penjualan Sukri tahun ini. Tak seperti tahun sebelumnya, tahun ini, penjualan SR-009 tak mencapai target. Direktorat jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu menetapkan hasil penjualan sukuk ritel hanya Rp14,04 triliun. Ini artinya tak mencapai setengah dari perolehan dana tahun lalu. Padahal, target tahun ini adalah Rp20 triliun.
Bhima Yudhistira, ekonom dan analis dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan sepinya peminat Sukri tahun ini karena imbal hasil yang ditawarkan kurang menarik. Apalagi SR-009 diterbitkan setelah The Fed, bank sentral Amerika, menaikkan suku bunga awal tahun ini.
Bhima menyebutkan, jika dibandingkan dengan nilai kupon rata-rata sukuk korporasi, SR-009 pun masih kalah. Rata-rata kupon sukuk korporasi tahun ini saja sampai 9 persen. Ini membuat kupon Sukri yang hanya 6,9 persen menjadi semakin tidak menarik.
Selain itu, tingginya inflasi Januari juga memengaruhi minat investor berinvestasi. Januari lalu, inflasi mencapai 0,97 persen. Ia menjadi yang tertinggi sejak 2015. "Ini menggerus daya beli masyarakat. Banyak yang kemudian menunda berinvestasi. Apalagi sukuk ritel profilnya kebanyakan kelas menengah yang sensitif sekali terhadap inflasi," ujar Bhima.
Tahun ini berbeda dengan tahun lalu, ketika sukuk ritel laris manis. Memang, imbal hasil yang ditawarkan tahun ini lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 8,3 persen. Dia menjelaskan, selain kupon yang kompetitif, tahun lalu itu inflasi rendah. Sampai akhir tahun, hanya 3 persen. Prospek infrastruktur juga sedang digenjot.
"Sekarang, proyek infrastruktur kena isu miring, proyek listrik 35.000 MW banyak yang mangkrak. Kereta Jakarta-Bandung juga enggak jelas," katanya.
Jika diperincikan berdasarkan profil investor, jumlah investor terbesar tahun ini ada pada kisaran pembelian Rp5 juta – Rp100 juta, yaitu 42,40 persen dan pada kisaran pembelian Rp100 juta – Rp500 juta, yang mencapai 36,96 persen.
Berdasarkan wilayah, mayoritas investor masih tersebar di Indonesia bagian Barat. Di Jakarta saja, porsinya mencapai 34,12 persen. Indonesia Bagian Barat tanpa Jakarta, mencapai 58,03 persen. Sementara di wilayah Indonesia Bagian Tengah hanya 7,21 persen, dan di Timur tak sampai 1 persen.
Jika dikelompokkan berdasarkan usia, jumlah investor terbesar berada pada kelompok umur di atas 55 tahun, yaitu mencapai 39,56 persen. Sukuk Negara Ritel seri SR-009 akan dicatatkan di PT Bursa Efek Indonesia pada 23 Maret 2017.
Tertarik investasi di sukuk ritel? Tunggu kabar penerbitannya awal tahun depan! Jika ingin membeli, calon investor cukup datang saja ke agen penjual dan membawa kartu identitas serta NPWP.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra