Menuju konten utama

Target Lifting Minyak 2021 & Mengapa Selalu Meleset dari APBN

Realisasi lifting sejak 2014 tak pernah capai target yang dipatok APBN, bahkan realisasi maupun targetnya terus turun.

Target Lifting Minyak 2021 & Mengapa Selalu Meleset dari APBN
Petugas memeriksa pengoperasian Rig (alat pengebor) elektrik D-1500E di Daerah operasi pengeboran sumur JST-A2 Pertamina EP Asset 3, Desa kalentambo, Pusakanagara, Subang, Jawa Barat, Selasa (4/2/2020). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/hp.

tirto.id - Pemerintah resmi menetapkan target produksi siap jual atau lifting minyak bumi di angka 705 ribu barel minyak per hari atau BOPD. Target ini masuk dalam asumsi makro yang disampaikan pemerintah pusat untuk dibahas sebagai RUU APBN 2021 nanti.

Angka itu sama tingginya dengan asumsi makro 2020 yang sudah dua kali direvisi melalui Perpres 72/2020 menjadi 705 ribu BOPD. Berbeda dari tahun sebelumnya, pemerintah selalu menetapkan target lebih tinggi dari tahun berjalan.

Kali ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani, mantan direktur pelaksana Bank Dunia, punya alasan tersendiri.

Lifting minyak dan gas kita masih cukup struggle,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers nota keuangan, Jumat (14/8/2020).

Penetapan target yang rendah pada 2021 memang tak terhindarkan. Pasalnya, target 705 ribu BOPD di 2020 saja berpotensi tak tercapai.

Dalam konferensi pers APBN KITA, Senin (20/7/2020) lalu, Sri Mulyani mengeluhkan target 705 ribu BOPD hasil revisi dari angka 755 ribu BOPD masih tak terpenuhi. Data Kementerian Keuangan mencatat realisasi per Juni 2020 hanya 701,7 ribu BOPD pada tahun berjalan alias year to date (ytd).

“Sudah direvisi di perpres tapi masih lebih rendah,” ucap Sri Mulyani.

Menurut SKK Migas, belum tercapainya target lifting per Jumat (17/7/2020) lalu di periode itu disebabkan COVID-19 yang membuat pelaku usaha mengurangi aktivitas bisnisnya. Di sisi lain, harga minyak dunia turun drastis hingga sempat di bawah 30 dolar AS per barel sejalan dengan penurunan permintaan.

Kepala SKK Migas Dwi Soejipto mengatakan pemerintah akan berupaya mempertahankan produksi yang sudah ada. Di sisi lain, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga akan diberi insentif agar tetap mencapai keekonomian di tengah pembatasan operasional dan turunnya permintaan.

Langkah menjaga produksi juga dilakukan dengan mempercepat realisasi metode menguras minyak secara kimiawi atau Enhanced Oil Recovery (EOR).

Kenyataannya, tren ini bukan pertama kali, melainkan sudah sekurang-kurangnya sejak periode pertama Presiden Joko Widodo. Realisasi lifting sejak 2014 tak pernah mencapai target, bahkan baik realisasi maupun targetnya terus turun.

Secara berturut-turut, antara realisasi vs target dalam ribu BOPD adalah sebagai berikut: 2015 (779 vs 825), 2016 (829 vs 830), 2017 (804 vs 820), 2017 (804 vs 820), 2018 (778 vs 800), 2019 (746 vs 775).

Gagal mencapai target lifting bahkan realisasinya terus turun memiliki konsekuensi berbahaya. Salah satunya lonjakan impor minyak yang bakal membebani moneter berupa pelemahan rupiah karena tingginya kebutuhan mata uang asing. Belum lagi, jika terus impor, harga bahan bakar minyak di Indonesia akan mengikuti gejolak harga minyak dunia yang seringkali tak ramah sehingga berdampak pada lonjakan subsidi.

Statistik British Petroleum (BP) edisi 2020 mencatat produksi minyak Indonesia selama reformasi terus turun. Dari 1,45 juta BOPD (2000) menjadi 1,09 juta BOPD (2005) dan terus anjlok menjadi 1 juta BOPD (2010), 0,84 juta BOPD (2014), dan 0,78 juta BOPD (2019). Sementara itu, konsumsi minyak Indonesia terus melejit. Dari 1,14 juta BOPD (2000), 1,30 juta BOPD (2005), 1,41 juta BOPD (2010), 1,68 juta BOPD (2014), dan 1,73 juta BOPD (2019).

Sampai-sampai Indonesia pertama kali mengalami defisit neraca minyak di 2003 dengan produksi 1,17 juta BOPD sedangkan konsumsi 1,23 juta BOPD.

Tidak mengherankan jika data US Energy Information Administration mencatat tren impor minyak mentah Indonesia terus naik. Dari 223 ribu BOPD (2000) menjadi 331 ribu BOPD (2005), 341 ribu BOPD (2014), dan 398 ribu BOPD (2016).

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan target lifting 2021 berpeluang tercapat karena sudah dipangkas ke angka 705 ribu BOPD. Meski demikian, perjalanannya tetap sangat menantang. Pasalnya, COVID-19 dan anjloknya harga minyak dunia sudah cukup memukul bisnis migas.

“Secara umum ‘bertahan hidup’. Itu kondisi industri minyak saat ini,” ucap Komaidi saat dihubungi, Rabu (19/8/2020).

Kendala lain adalah banyak sumur di Indonesia sudah tua dan terus mengalami penurunan produksi alamiah. Menurut Komaidi, pemerintah sudah melakukan upaya agar volumenya terus bisa dijaga seperti salah satunya dengan metode EOR. Masalahnya seringkali berbagai solusi teknologi yang tersedia berbiaya mahal sehingga kerap tidak menarik bagi pelaku usaha migas.

Karena itu semua, ia bilang pemerintah perlu mencari solusi lain. Solusi yang lebih konkret semakin mendesak mengingat penurunan produksi terjadi usai alih kelola blok terminasi (habis masa kontrak) dari perusahaan asing ke lokal. Ini terjadi karena alih kelola membutuhkan waktu penyesuaian yang tak cepat.

Pekerjaan rumah lainnya mencangkup menahan laju penurunan investasi di hulu migas. Data Kementerian ESDM menunjukkan realisasi investasi terus turun dari 2015 (17,9 miliar dolar AS), 2018 (12,6 miliar dolar AS) dan 2019 (12,5 miliar dolar AS).

Tanpa investasi, kata Komaidi, tentu sulit menahan laju penurunan cadangan minyak atau proven reserve apalagi berpikir mengenai tambahan produksi 5-10 tahun ke depan. Data BP mencatat proven reserve (dalam juta barel) Indonesia terus turun dari 5,1 (2000) menjadi 4,2 (2010) dan 2,5 (2019).

“Kalau enggak mau perbaiki kinerja investasi, ya panen risiko dalam beberapa waktu ke depan,” Komaidi memperingati.

Baca juga artikel terkait LIFTING MINYAK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz