Menuju konten utama

Tanggapan Hakim Binsar Soal Kritik atas Usul Tes Keperawanan

Saran tes keperawanan sebelum menikah yang diungkapkan Hakim Binsar Gultom dalam bukunya "Pandangan Kritis Seorang Hakim" menuai protes dari berbagai pihak.

Tanggapan Hakim Binsar Soal Kritik atas Usul Tes Keperawanan
Cover buku Binsar Gultom. FOTO/Gramedia.

tirto.id - Hakim Binsar Gultom menanggapi protes terhadap saran tes keperawanan yang dimuat dalam bukunya "Pandangan Kritis Seorang Hakim".

Binsar Gultom menulis banyak perkawinan yang kandas akibat dimulai dengan terpaksa, termasuk karena hamil di luar nikah. Tes keperawanan adalah salah satu hal yang diusulkannya untuk menekan tingkat perceraian di Indonesia.

Binsar menegaskan, usulan tes keperawanan adalah ditujukan sebagai masukan kepada orangtua yang akan menikahkan anaknya. Usulan ini untuk diterapkan secara internal, dalam lingkup keluarga.

"Agar setiap anaknya hendak menikah betul-betul memperhatikan keperawanan anaknya sudah dirusak kaum lelaki tersebut (calon suami) atau belum," kata dia.

Jika memang calon suami istri ini sudah berhubungan badan sebelum menikah, orangtua diajak untuk mengawasi apakah pernikahan dilaksanakan atas dasar cinta atau terpaksa, misalnya terlanjur hamil.

Selain tes keperawanan, Binsar juga berpendapat sudah saatnya ada tes keperjakaan terhadap pria demi keutuhan rumah tangga.

"Ilmu kedokteran kan sudah canggih termasuk teknologinya, tidak ada alasan dokter spesialis penyakit dalam, atau ahli kelamin tidak bisa mendeteksi seorang pria masih perjaka atau tidak. Ini menjadi PR bagi pemerintah," kata Binsar dalam pernyataan yang diterima Antara, Rabu (13/9/2017).

Ia kembali menekankan usulan tes keperawanan dan keperjakaan justru untuk melindungi harkat martabat perempuan yang selama ini menjadi korban.

"Bayangkan ketika wanita tersebut bukan perawan lagi karena sudah direnggut oleh pria calon suaminya. Ternyata calon suami tersebut bersedia menikah dengan si wanita tersebut karena takut "aibnya" diketahui publik," tutur Binsar.

"Mereka sebelumnya melakukan itu hanya karena nafsu birahi, bukan karena saling mencintai dengan tulus. Jika seperti ini keadaannya mereka dikawinkan, dapat saya pastikan usia mahligai rumah tangga tersebut tidak akan panjang. Fakta empiris inilah yang saya maksudkan salah satu faktor penyebab pecahnya rumah tangga, yang berdampak terjadinya KDRT dan perceraian," imbuhnya.

Menurut Binsar, pendapat ini murni datang dari dirinya sendiri. Bila pandangannya memang berseberangan dengan pihak-pihak lain, Binsar mengajak untuk saling berelaborasi secara profesional.

Sebelumnya, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menyampaikan protes terhadap pernyataan Binsar Gultom. Mereka meminta buku "Pandangan Kritis Seorang Hakim" yang sudah beredar agar ditarik dan direvisi.

Binsar menyesalkan pernyataan MaPPI FHUI yang disebut "terkesan emosional".

"Memangnya MaPPI sudah mengkaji secara komprehensif isi buku tersebut. Mestinya bersyukur dong ada gagasan tersebut, sehingga kita bisa menemukan solusinya. Jika ada yang pro dan kontra dengan pendapat isi buku tersebut justru menjadi menarik untuk didiskusikan," kata Binsar.

"Jangan serang pribadi penulis, tetapi beri tanggapan positif atas isi buku tersebut, sehingga menjadi sempurna, sehingga diskusi kita dalam buku tersebut menjadi lengkap," imbuhnya.

Selain meminta buku Binsar ditarik dan direvisi, MaPPI FHUI juga meminta agar Binsar meminta maaf secara terbuka di media cetak dan elektronik atas pernyataannya yang telah mendiskreditkan perempuan.

Mereka pun mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI agar memeriksa Hakim Binsar atas dugaan pelanggaran kode etik hakim.

Mahkamah Agung RI juga diminta melakukan sosialisasi terhadap hakim di Indonesia mengenai PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman dalam Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, juga memasukkan materi HAM berperspektif gender pada seluruh kurikulum program pembinaan calon hakim dan hakim.

Baca juga artikel terkait TES KEPERAWANAN atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri