tirto.id - Orang-orang berbadan liat membajak sawah dengan gembira, sungai berair jernih dan tenang, gubuk di tengah hamparan padi, bayangan kebiru-biruan gunung di kejauhan. Hanya itukah yang terlintas di pikiran ketika Anda mendengar kata “pertanian”? Tak ada persoalan, melulu sedap di mata sebagaimana dalam lukisan-lukisan mooi-indie?
Khayalan demikian ada baiknya diperiksa kembali.
September 2017, pada peringatan Hari Tani Nasional di Jakarta, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli menyebut program kedaulatan pangan yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla gagal meningkatkan kesejahteraan petani. "Kementerian Pertanian tidak menempatkan petani sebagai tulang punggung pembangunan pertanian," ujarnya.
DPP SPI menyesalkan arah program Kementrian Pertanian (Kementan) yang mereduksi “kedaulatan pangan” menjadi sekedar “ketersediaan pangan.” Ketersediaan bisa diperoleh secara mudah dengan bergantung kepada korporasi-korporasi, tetapi ia bukan langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-cita berdaulat, adil, dan makmur.
Dalam “kedaulatan pangan”, seharusnya ada jaminan bahwa harga komoditas pertanian dapat menguntungkan para petani sekaligus terjangkau bagi masyarakat miskin.
Menurut peneliti isu-isu perdesaan Nurhady Sirimorok, persoalan gawat lain pertanian adalah ketersediaan lahan. Sensus Pertanian 2013 menunjukkan: rata-rata lahan garapan sawah adalah 0,39 ha/keluarga. Amat kecil, dan pemiliknya belum tentu petani.
Dilihat dari sisi perdagangan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berpendapat: persoalan yang dihadapi petani adalah permodalan. Kesulitan modal itu membuka jalan bagi para tengkulak.
"Memang, mulai dari petani sampai dengan pedagang itu mata rantai panjang, dan di awal sudah dikuasai oleh tengkulak. Tak bisa memerangi tengkulak kalau perbankan enggak hadir," kata Enggar dalam acara Jakarta Food Security Summit di Jakarta Convention Center.
Membicarakan masalah-masalah pertanian adalah membicarakan perkara yang tidak bakal ada ujungnya. Naif jika kita membayangkan bisa keluar dari urusan sepelik itu dengan gampang. Namun, bukan berarti tak ada titik-titik terang. Salah satunya bernama Crowde.
Crowde berdiri pada 2015 dengan semangat mensejahterakan para petani Indonesia. Diinisiasi oleh Yohanes Sugihtononugroho dan Muhammad Risyad Ganis, Crowde menghimpun dana masyarakat yang kemudian disalurkan sebagai modal produksi para petani. Hasil proyek petani tersebut nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat dengan nilai permodalan berdasarkan skema bagi hasil.
Dalam praktiknya, Crowde menerapkan sistem crowd-lending yang memungkinkan siapa pun untuk memberikan modal dan memilih proyek mana yang ingin dimodali. Pada awal Agustus tahun ini saja, Crowde menangani 1.123 proyek dengan rincian 791 proyek di bidang pertanian, 115 proyek perikanan, dan 217 proyek peternakan.
Teman Baik Crowde—para pemodal yang turut serta dalam skema crowd-lending tersebut—saat ini berjumlah 17.728 orang. Ada lebih dari 10 ribu petani yang menjadi mitra, dengan kesuksesan pendanaan mencapai Rp50 miliar. Jumlah itu terbukti meningkat hingga 30% setiap bulan.
Upaya ini seakan-akan berseru: Mari #TanamkanKeberanianmu! Para petani memerlukan keberanian besar untuk terus bekerja dan menjadi tulang punggung bangsa, sebab itu tak mudah. Demikian pula masyarakat membutuhkan keberanian untuk terlibat dalam penciptaan kesejahteraan bersama. Kalau tekad sudah siap, hanya dengan menyisihkan waktu 5 menit untuk mulai berinvestasi, Anda bisa turut serta mewujudkan pertanian Indonesia yang lebih menggembirakan dan berdaulat.
Editor: Advertorial