Menuju konten utama
18 April 1955

Sejarah Konferensi Asia-Afrika yang Lahirkan Solidaritas Global

Konferensi Asia-Afrika digelar untuk menyatukan negara-negara pascakolonial. Indonesia berperan sangat penting dalam pertemuan itu.

Ilustrasi Konferensi Asia-Afrika. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Perang Dingin baru saja dimulai tak lama setelah Perang Dunia II selesai. Kolonialisme lawas boleh jadi hilang perlahan, tetapi diganti dengan neo-kolonialisme. Negara komunis mulai kuat. Negara liberal-kapitalis pun tak kalah kuat. Negara-negara bekas koloni, yang baru saja merdeka, pun terancam jadi ajang pertarungan negara-negara kuat.

Sebagian dari para pemimpin negara di Asia dan Afrika sadar akan bahaya Perang Dingin bagi mereka. Termasuk Presiden Indonesia Sukarno dan perdana menteri kala itu, Ali Sastroamidjojo. Dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sementara pada 23 Agustus 1953, Ali Sastroamidjojo mengusulkan pentingnya kerja sama antara negara-negara Asia dan Afrika dalam perdamaian dunia.

Pada 25 April hingga 2 Mei 1954, Ali Sastroamidjojo memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka Sir John Kotelawala. Ali bertemu dengan beberapa pemimpin negara lainnya dari Asia lainnya seperti Jawaharlal Nehru dari India, Mohammed Ali dari Pakistan, dan U Nu dari Birma. Indonesia, melalui Ali, mengusulkan diadakannya sebuah pertemuan. Di akhir tahun, tepatnya pada 28-29 Desember 1954, mereka berkumpul lagi di Bogor. Mereka merumuskan prakarsa kerja sama yang netral.

Indonesia mempersiapkan kota Bandung untuk menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi. Gubernur Jawa barat ketika itu, Samsi Hardjadinata, membentuk panitia lokal di Bandung pada 3 Januari 1955. Panitia lokal ini mengurusi akomodasi, transportasi, logistik, keamanan, penerangan, komunikasi, kesehatan, hiburan, dan lainnya. Panitia Interdepartemental juga dibentuk pada 11 Januari 1955 oleh pemerintah pusat.

Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun disiapkan sebagai tempat konferensi. Hotel Preanger, Hotel Homman, dan 12 hotel lainnya serta 31 bungalow di sekitar Lembang, Ciumbuleut, dan jalan Cipaganti disiapkan untuk penginapan. Jumlah peserta yang hadir dalam konferensi diperkirakan 1.500 orang. Akomodasi untuk 500 wartawan juga diurus. Demi kelancaran transportasi, sebanyak 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, serta 230 sopir pun disiapkan.

Pada 7 April 1955 Presiden Sukarno sudah melakukan pengecekan. Demi memperkuat identitas dan semangat, nama Gedung Dana Pensiun diubah menjadi gedung Dwiwarna dan Gedung Concordia diganti menjadi Gedung Merdeka.

Akhirnya, 29 para pemimpin dari negara-negara Asia dan Afrika pun berkumpul di Bandung. Konferensi dibuka pada 18 April 1955, tepat hari ini 64 tahun lalu, dan dilaksanakan hingga 24 April 1955. Kota Bandung dipadati rakyat. Di hari pembukaan KAA, Sukarno membacakan pidatonya, "Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru".

"Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian," kata Sukarno.

KAA pertama itu lalu menghasilkan Dasasila Bandung. Persamaan derajat, saling menghormati kedaulatan negara masing-masing negara dan kerja sama antar bangsa menjadi hal penting dalam Dasasila Bandung tersebut. Dasasila Bandung juga mengandung semangat kemerdekaan. Negara-negara baru di Asia dan Afrika harus diakui kedaulatannya.

Infografik Mozaik Konferensi Asia Afrika

undefined

Berlanjut di Non-Blok

Setelah KAA 1955, peta percaturan politik internasional mulai berubah. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bukan lagi menjadi forum eksklusif. Di PBB, biasanya negara Blok Barat dan Blok Timur adu eksistensi. Setelah KAA, muncul dunia ketiga, dan belakangan muncul Non-Blok.

Negara-negara yang berusaha netral lalu terus berkonsolidasi. Mereka juga tidak berjuang sendiri. Josip Broz Tito, pemimpin Yugoslavia, satu suara untuk tidak bermazab ke Blok Barat maupun Blok Timur. Padahal, Yugoslavia tidaklah terletak di benua Asia maupun Afrika. Yugoslavia adalah negara kuat di Balkan ketika Perang Dingin.

Bersama Sukarno (Indonesia), Gamal Abdul Nasser (Mesir), Kwame Nkrumah (Ghana), Jawaharlal Nehru (India), Tito juga ikut memprakarsai Gerakan Non-Blok. Awalnya, banyak negara netral ikut gerakan ini. Di Beograd, ibu kota Yugoslavia, pada 1 hingga 6 September 1961, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok pertama kali diadakan. Tito terpilih sebagai Sekretaris Jenderal pertamanya hingga 1964.

Sikap netral banyak negara dalam Gerakan Non-Blok itu tak bertahan lama, meski Gerakan Non-Blok masih ada. Akhir tahun 1960-an, gerakan ini kehilangan pamornya. Banyak negara-negara anggotanya merapat ke Blok Barat maupun Blok Timur. Termasuk Indonesia yang dekat dengan Amerika. Padahal, KAA pernah membuat Indonesia dianggap salah satu pemimpin dunia karena bisa menyatukan negara-negara berkembang untuk berbeda dengan Blok Barat maupun Blok Timur.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 18 April 2016 dengan judul "Menjaga Kekinian KAA Setelah 61 Tahun". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Nurul Qomariyah Pramisti
-->