Menuju konten utama

Sejarah Hidup David Ben-Gurion dan Cita-citanya Mendirikan Israel

David Ben-Gurion terlibat gerakan Zionisme sejak muda. Getol mengusahakan pendirian negara Israel sejak Perang Dunia I berakhir.

Sejarah Hidup David Ben-Gurion dan Cita-citanya Mendirikan Israel
Ben Gurion. FOTO/National Photo Collection/wikipedia

tirto.id - David Ben-Gurion adalah perdana menteri pertama Israel sekaligus pemimpin gerakan Zionisme yang dianggap berjasa dalam pendirian negara Israel pada 1948 di tanah Palestina. Sebelumnya, selama lebih dari dua milenium, bangsa Yahudi berdiaspora tanpa memiliki negara.

Ben-Gurion lahir pada 16 Oktober 1886 di Kota Plonsk, Polandia. Kala itu, Polandia masih berada di bawah rezim Tsar Rusia. Nama kecilnya adalah David Gruen.

Ayahnya, Avidgor Gruen, seorang pengacara yang membuka kantor advokat di Plonsk, Polandia. Avidgor yang terpelajar—meski beberapa sumber menyebutnya tidak pernah mendapatkan akreditasi Sarjana Hukum—mengirim David kecil ke sebuah sekolah Yahudi.

David mulai tertarik pada gerakan Zionisme yang sedang merebak di seluruh Eropa Timur kala menginjak usia remaja. Dia mulai bergabung dengan Poale Zion—kelompok zionis-sosialis—pada umur 18 tahun.

“Zionisme memesona David Gruen muda. Sejak itu, dia yakin bahwa langkah pertama bagi orang Yahudi yang ingin menghidupkan kembali Israel sebagai bangsa adalah berimigrasi ke Palestina,” demikian tulis Encyclopaedia Britannica.

Pada 1906, David pergi ke Palestina yang kala itu berada dalam naungan imperium Turki Ottoman. Semula, dia bekerja sebagai buruh tani di sebuah kawasan agrikultur Yahudi di Kota Galilea. Saat itu pula David mengubah nama Eropanya menjadi nama Ibrani kuno Ben-Gurion.

Ben-Gurion pun kembali bergabung dengan gerakan Zionisme pimpinan Israel Sochat. Ben-Gurion pun diajak terlibat dalam pendirian sebuah serikat buruh Yahudi dan merekrut banyak anggota dari kalangan buruh tani di wilayah Judea dan Galilea.

Pada 1913, Ben-Gurion mendaftar di University of Constantinopel dan menekuni ilmu hukum seperti ayahnya. Ben-Gurion menjalani masa kuliah bersamaan dengan bermulanya Perang Dunia I. Meski begitu, dia tetap melakukan propaganda dan mendapat pengikut di Turki.

Saat itu, Ben-Gurion lebih tertarik mendukung Sekutu ketimbang Turki. Dia sendiri tertarik pada Inggris dan percaya bahwa aliansi komunitas Eropa lebih kuat daripada Turki. Sikap politiknya itu rupanya tercium juga oleh otoritas Turki.

Ben-Gurion kemudian didakwa sebagai pemberontak dan diusir dari wilayah Turki. Semula, dia pergi ke Mesir dan kemudian berlayar ke Amerika Serikat pada 1915. Di Amerika, dia menggalang dana untuk membentuk Gerakan Helhaltsz dengan agenda menyusun Gerakan Yahudi-Palestina.

Insting Ben-Gurion benar bahwa Turki akan kalah dalam perang. Seiring dengan kekalahan itu, Inggris pun mulai memasuki wilayah-wilayah Turki di Timur Tengah. Para aktivis zionis dan pendukungnya pun mulai menaruh harapan bahwa suatu negara Yahudi di Palestina dapat didirikan dengan bantuan Inggris. Ben-Gurion pun mengambil kesempatan untuk mendekat pada Inggris.

Tentang hal ini Encyclopaedia Britannica menulis, “Menyusul Deklarasi Balfour yang menjanjikan pendirian negara Yahudi di Palestina pada 2 November 1917, Ben-Gurion lantas mendaftar di ketentaraan Inggris dan masuk dalam Legiun Yahudi. Dia kemudian kembali ke Timur Tengah untuk bergabung dalam perang merebut Palestina dari kekuasaan Turki Ottoman.”

Mendirikan Negara Yahudi

Ketika Perang Dunia I berakhir pada 1918, Palestina jatuh ke tangan Inggris. Sejak itu, Ben-Gurion Bersama loyalisnya dari kalangan buruh Yahudi semakin getol bergerak untuk mewujudkan pendirian negara Yahudi.

Menurut Baruch Kimmerling dalam The Invention and Decline of Israeliness: State, Society, and the Military (2001), ide dasar pendirian negara Israel adalah membangun suatu otoritas politik independen yang mampu melindungi orang Yahudi. Diaspora dan sentimen antisemitisme di zaman itu itu memang kerap membuat posisi orang Yahudi tak berdaya.

Selama satu dasawarsa sejak kekalahan Turki, Ben-Gurion sering bolak-balik ke Eropa dan Amerika untuk memperluas jaringan. Dia mengorganisasi persiapan kemerdekaan negara Yahudi yang diimpikannya dengan menggalang banyak massa.

Dia juga menyerukan percepatan imigrasi orang-orang Yahudi ke Palestina. Pamor Ben-Gurion semakin kuat sejak kolonisasi Palestina berada dalam pengawasan Inggris.

Pada 1920, Ben-Gurion mendirikan Histadrut, sebuah konfederasi pekerja Yahudi di Palestina. Di bawah kepemimpinan Ben-Gurion sebagai sekretaris jenderal, Histadrut dengan cepat menjelma jadi kekuatan sentral dalam urusan sosial, ekonomi, dan bahkan keamanan dalam komunitas Yahudi di Palestina.

Pada tahun 1930, Ben-Gurion dan beberapa organisasi buruh Yahudi mendirikan partai bernama Mapai. Lima tahun kemudian, dia terpilih sebagai ketua eksekutif World Zionist Organization. Pun, secara de facto, dia diakui sebagai pemimpin komunitas Yahudi di Palestina dan terlibat aktif mengusahakan pendirian negara Yahudi di sana.

Kolonisasi Palestina yang masif kemudian memicu konflik antara komunitas Yahudi dan Arab. Melihat hal ini, Inggris kemudian mengubah pendangan dan kebijakannya atas Timur Tengah. Kini, Inggris mulai bersimpati pada komunitas Arab, tapi itu sudah terlambat karena gerakan para zionis sudah tak terbendung.

Ben-Gurion dan para aktivis zionis bahkan berani menentang kebijakan otoritas Inggris di Palestina. Sejak 1947, Ben-Gurion berhasil mendesak Inggris dengan mengambil hati Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Sejarawan ahli Israel Anita Shapira dalam Ben-Gurion: Father of Modern Israel (2014) mencatat, Hubungan Ben-Gurion dan negara Yahudi itu sama seperti Lenin yang membawa Revolusi Bolshevik dan Churchill yang membawa Inggris ke dalam Perang Dunia. Dia tahu bagaimana menciptakan dan mengeksploitasi keadaan yang memungkinkan kelahirannya (Israel)."

Pemerintah Inggris pada akhirnya setuju untuk meninggalkan Palestina dan Ben-Gurion terus maju dengan rencana pendirian negara Yahudinya. Hal itu lantas memicu reaksi keras dari komunitas dan negara-negara Arab. Meski begitu, negara-negara Arab berada dalam posisi yang lemah karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru mendukung pendirian Israel di Palestina.

Pada 29 November 1947, PBB memecah tanah Palestina menjadi dua kawasan, yaitu kawasan Palestina dan Israel. Israel sendiri memenangkan 55 persen dari total wilayah Palestina. Kota suci Yerusalem pun di jadikan kota internasional bagi kaum Yahudi, Muslim dan Kristen.

Cita-cita besar Ben-Gurion tercapai pada 14 Mei 1948, kala dia memproklamasikan berdirinya negara Israel. Dia lantas ditunjuk sebagai pemimpin Dewan Negara Israel dan terpilih sebagai perdana menteri dalam pemilu yang digelar setahun kemudian.

Proklamasi Israel kemudian ditentang oleh negara-negara tetangganya yang mayoritas Arab, seperti Suriah, Yordania, Mesir, Irak, dan Arab Saudi. Di beberapa negara itu, terjadi pengusiran kaum Yahudi sebagai balasan atas pengusiran orang-orang Palestina oleh Israel.

Infografik Ben Gurion

Infografik Ben Gurion. tirto.id/Fuad

Lebih Banyak Lagi Orang Yahudi

Kepiawaian mengorganisasi massa buruh dan pragmatisme politik membuat Ben-Gurion terpilih kembali sebagai pemimpin pada 1959. Dia pun sukses mempertahankan kepemimpinannya atas Histadrut.

Setelah itu, menurut pemberitaan The Singapore Free Press (19 Mei 1959), Ben-Gurion mulai membuka perundingan damai dengan semua wilayah orang Arab-Palestina yang diduduki Israel, kecuali Jeruslem Timor dan Dataran Tinggi Golan. Dia berencana mengakui keberadaan komunitas Arab dalam Israel. Rencana itu sempat menimbulkan kontroversi karena menjadikan Israel bukan lagi negara eksklusif bagi kaum Yahudi.

Meski begitu, pendirian Ben-Gurion sebenarnya tidaklah konsisten dan lebih didorong pada pragmatisme politik. Di masa muda, dia pernah menyerukan penentangan terhadap orang-orang Arab di Palestina. Lalu, ketika berkuasa, dia bahkan memimpikan agar lebih banyak lagi orang Yahudi bermigrasi ke Israel. Menurutnya, Israel akan semakin kuat jika mendapat tambahan setidaknya enam juta orang Yahudi sebagai warga negara dalam rentang 10-15 tahun.

Encyclopaedia Britannica juga menulis, “Ben-Gurion punya kebijakan pertahanan yang tegas. Dia akan menjawab serangan negara-negara Arab dengan pembalasan militer.”

Pada 1963, Ben-Gurion meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri. Dia juga memutuskan undur diri dari kepemimpinan Partai Mapai pada tahun 1965. Meski begitu, Ben-Gurion baru benar-benar pensiun dari kehidupan politik pada 1970, setelah keluar dari Parlemen Israel (Knesset).

Dia menghabiskan masa pensiun itu bersama keluarga kecilnya di Sde Boqer, Negev, Israel bagian selatan. Di tempat itulah Ben-Gurion menghasilkan 11 jilid buku tentang sejarah perkembangan Israel. Ben-Gurion meninggal dunia pada 1 Desember 1973.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PALESTINA ISRAEL atau tulisan lainnya dari Siti Zainatul Umaroh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Siti Zainatul Umaroh
Editor: Fadrik Aziz Firdausi