Menuju konten utama

Sejarah Hari Kehakiman Nasional yang Diperingati Setiap 1 Maret

Peringatan Hari Kehakiman Nasional ini merupakan tonggak untuk mengakui profesi hakim

Sejarah Hari Kehakiman Nasional yang Diperingati Setiap 1 Maret
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Tanggal 1 Maret diperingati sebagai Hari Kehakiman Nasional, diatur pertama kali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim.

Peringatan Hari Kehakiman Nasional ini merupakan tonggak untuk mengakui profesi hakim dan mendesak keadilan agar ditegakkan di ranah hukum di Indonesia.

Fiat justitia ruat caelum, ucap Lucius Calpurnius, yang berarti: “hukum harus tegak sekalipun langit akan runtuh”. Negarawan Romawi itu mengucapkan kalimat fenomenal sekitar dua ribu tahun lalu, namun hingga kini masih menjadi patron bagi para penegak hukum di seluruh dunia.

Di Indonesian sendiri, para hakim mempunyai irah-irah: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang menunjukan bahwa seorang hakim menjadi “wakil Tuhan” di hadapan masyarakat. Bagi negara yang menganut asas konstitusi yang berpijak di atas segalanya, tuntutan mesti bersikap adil dan independen, menjadi prioritas utama bagi seorang hakim.

Pada 8 April 2009, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 47/KMA/SKB/2009 dan Nomor 2/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Dalam keputusan tersebut, hakim dituntut untuk berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegrasi tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan profesional.

Ironisnya, sepanjang tahun 2019 integritas hakim banyak disorot. Melalui situs resminya, Komisi Yudisial menerbitkan siaran pers yang berisi rekomendasi sanksi untuk 130 hakim.

Berdasarkan evaluasi dari Komisi Yudisial, 130 hakim yang masuk dalam daftar rekomendasi itu terbukti melanggar KEEPH periode 2 Januari hingga 23 Desember 2019. Pelanggarannya bervariasi, mulai dari pelanggaran hukum acara, perilaku murni, hingga pelanggaran administrasi yang membikin mereka terancam sanksi ringan.

Senada dengan siaran pers Komisi Yudisial, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga memberikan kritik terhadap penegak hukum di Indonesia.

Dilansir dari laman resmi LBH Jakarta, melalui rilis pers Hari Kehakiman Nasional, LBH Jakarta menyoroti krisis integritas dan akuntabilitas yang menjadi mandat utama kekuasaan kehakiman.

Pelanggaran KEPPH begitu jamak terjadi, yang mengakibatkan kepercayaan publilk terhadap lembaga peradilan di Indonesia kian menurun. Dengan demikian, LBH Jakarta memberikan desakan kepada pemerintah untuk melakukan langkah strategis demi memperbaiki kondisi buruk yang terjadi.

Berdasarkan siaran pers tertanggal 1 Maret 2017 itu LBH Jakarta mendesak:

  • Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan yang sistematis dan sinergis terhadap kinerja, integritas dan perilaku hakim terutama dalam hal akuntabilitas peradilan, sehingga meminimalisir hakim yang melakukan pelanggaran, yang nantinya merugikan nama baik institusi penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Termasuk dalam hal ini masalah ekseksi temuan pelanggaran oleh Komisi Yudisial oleh Mahkamah Agung;
  • Mahkamah Agung untuk melakukan pembenahan administrasi peradilan yang dapat digunakan sebagai sarana atau metode untuk menata-ulang administrasi peradilan yang agar lebih efektif, efisien, transparan, aksesibel serta serta bertanggungjawab dengan tujuan untuk memberikan pelayanan publik yang berkeadilan bagi masyarakat serta upaya preventif dan reduksi terhadap berbagai kemungkinan terjadinya praktik-praktik judicial corruption;
  • Mendorong Pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan dalam sistem rekruitmen dan pengawasan hakim baik hakim Mahkamah Konstitusi maupun hakim Mahkamah Agung dan peradilan dibawah Mahkamah Agung agar lebih transparan, akuntabel dan partisipatif agar diperoleh hakim-hakim yang berkualitas dan berintegritas.
      Adapun lahirnya Hari Kehakiman Nasional tidak lepas dari perjuangan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Malang Soebijono dan hakim Sutadji, S.H., pada 1951. Keduanya menentang perlakuan eksekutif yang memposisikan hakim sebagai warga kelas dua.

      Gagasan Soebijono ini dijadikan dasar dibentuknya Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). IKAHI berjuang untuk mengangkat hak dan kesejahteraan hakim, mulai dari hak menerima gaji layak, sampai protokoler yang setara dengan pejabat negara lainnya.

      Salah satu perjuangan dilakukan IKAHI adalah mengajukan 1 Maret sebagai Hari Kehakiman Nasional. Pemberian apresiasi ini disebabkan karena profesi hakim adalah pekerjaan berat. Dilansir dari komisiyudisial.go.id, profesi hakim adalah jalan sunyi.

      Jalan sunyi dan sepi ini meliputi upaya membatasi diri dalam hubungan masyarakat, termasuk pemakaian media sosial. Hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari perasaan memihak, untuk menghindari keputusan yang tidak adil dan subjektif.

      Baca juga artikel terkait HARI KEHAKIMAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

      tirto.id - Hukum
      Kontributor: Abdul Hadi
      Penulis: Abdul Hadi
      Editor: Yulaika Ramadhani