Menuju konten utama

Risiko dan Nasib Kota Yogyakarta di Usia 260 Tahun

Di usianya yang sudah menginjak tepat 260 tahun, Kota Yogyakarta berkembang sebagai kota yang marak dengan gedung-gedung tinggi. Sudah ada 55 bangunan bertingkat di atas enam hingga 18 lantai yang ada di Yogyakarta. Padahal, kota ini sangat rentan bencana gempa.

Risiko dan Nasib Kota Yogyakarta di Usia 260 Tahun
Pekerja mengerjakan proyek penataan pedestrian di kawasan Malioboro, DI Yogyakarta, Kamis (15/9). Untuk memberikan kenyamanan kepada wisatawan, pengerjaan penataan jalur pedestrian sisi timur jalan Malioboro akan rampung pada tahun 2017, dilanjutkan penataan jalur di sisi barat dan ditargetkan seluruhnya selesai pada tahun 2019. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah.

tirto.id - Kemeriahan suasana peringatan hari ulang tahun Kota Yogyakarta pada hari ini (7/10/2016) semakin semarak dengan pemasangan 25 lampion berbagai bentuk berukuran besar. Selain pemasangan lampion, ada juga pemasangan penjor janur dari Jalan Margo Utomo hingga Jalan Malioboro dan Jalan Sudirman, sebagai pusat keramaian Kota Yogyakarta dengan gedung-gedung bertingkatnya.

Kota Yogyakarta telah berusia 260 tahun, semenjak 7 Oktober 1756, sebuah umur yang tua dalam perjalanan sebuah kota dengan segala perkembangannya termasuk peristiwa gempa besar yang terjadi pada 27 Mei 2006 silam.

Pasca gempa, kota ini lambat laut terus berkembang termasuk perubahan fisik wajah kota dengan keberadaan bangunan bertingkat yang justru menjamur di Yogyakarta. Padahal, bangunan bertingkat di Yogyakarta punya risiko tinggi karena sering dilanda gempa.

Di Yogyakarta, aturan pembatasan bangunan tinggi diatur dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) karena keberadaan Bandara Adi Sucipto di sisi timur Yogyakarta. Berdasarkan aturan itu, pada zona horizontal dalam, maksimal ketinggian bangunan adalah 45 meter.

Berdasarkan data Skyscrapercity Forum Indonesia sudah ada 55 bangunan bertingkat di atas enam hingga 18 lantai yang ada di Yogyakarta. Dari 55 bangunan tertinggi di Yogyakarta 33 di antaranya adalah hotel dan apartemen. Lima besar bangunan tertinggi di Yogyakarta tersebut yakni Alana Hotel at Mataram City 18 lantai, Alana Condotel at Mataram City 18 lantai, Indoluxe Hotel Jogja 15 lantai, Jogja City Mall & Hotel 14 lantai dan Grand Aston Hotel 10 lantai.

Jumlah bangunan bertingkat tersebut diperkirakan akan semakin bertambah. Saat ini ada 25 bangunan bertingkat di atas delapan lantai yang sedang dalam proses pembangunan. Sementara itu bangunan tinggi yang masih dalam tahap proposal ada 16 bangunan dengan tinggi dari 10 sampai 16 lantai. Sehingga diperkirakan total akan ada 96 bangunan di atas enam lantai yang berdiri di Yogyakarta.

Risiko Bencana

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta melihat munculnya bangunan tinggi tersebut membuat risiko bencana menjadi tinggi. Berkaca dari gempa tahun 2006, bukan tidak mungkin gempa serupa terjadi dan kembali meluluh-lantakan Yogyakarta, termasuk merobohkan bangunan bertingkat.

Bangunan tinggi tersebut pun menjadi perhatian khusus bagi BPBD. BPBD Yogyakarta sudah memetakan potensi bencana yang ada di Yogyakarta. Gempa bumi merupakan satu-satu bencana yang berpotensi di semua daerah di Yogyakarta.

Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Yogyakarta, Danang Samsu menjelaskan ada dilema dalam pembangunan gedung tinggi di Yogyakarta. Di satu sisi, Yogyakarta sebagai kota Pariwisata membutuhkan banyak hotel yang kini mendominasi bangunan tinggi di Yogyakarta. Namun, di sisi lain semakin banyak bangunan tinggi, semakin tinggi risiko bencananya.

Belajar dari gempa sepuluh tahun lalu, BPBD Yogyakarta terus memantau pergerakan sesar Kali Opak yang sampai sekarang masih aktif. Jika ada pergerakan lagi, dimungkinkan akan terjadi gempa. Inilah yang membuat BPBD khawatir jika terlalu banyak bangunan tinggi.

Meski sudah mengantongi izin yang berarti sudah memenuhi standar bangunan di daerah rawan gempa, namun risiko itu tetap ada. Diakui Danang, salah satu yang membuat BPBD Yogyakarta repot adalah pembangunan banyak bangunan tinggi tersebut tidak terbuka. Mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Jika itu terjadi, maka BPBD akan kesulitan melakukan evakuasi ketika terjadi bencana. Di sisi lain, BPBD ditargetkan untuk mengurangi risiko dari bencana, khususnya gempa yang pernah menelan ribuan jiwa. BPBD pun tidak ingin hal tersebut terulang lagi.

“Kalau kami dari bagian kedaruratan yang repot ketika mereka tidak terbuka dalam perencanaan, saat ada bencana gempa misalnya, mau evakuasi sulit kalau tidak tahu blue print bangunan seperti apa?" kata Danang.

Dibandingkan dengan Jepang, Indonesia belum sepenuhnya menerapkan standar bangunan di daerah rawan gempa. Jika melihat Jepang, sejak tahun 1924 merintis aturan bangunan standar gempa. Aturan tersebut diberlakukan setelah gempa besar Kanto yang menghancurkan 450.000 bangunan dan menewaskan sekitar 143.000 jiwa. Pada 1950, aturan itu pun dijadikan undang-undang Building Standard Law (BSL).

Pada 1995, Jepang kembali dilanda gempa di Kobe. Meski sudah memiliki BSL, namun rupanya belum semua bangunan menerapkannya. Akibatnya 6.433 orang meninggal dunia. Pasca kejadian itu, pemerintah Jepang meminta semua bangunan yang dibangun sebelum tahun 1981 disesuaikan dengan BSL.

Hal itu yang tidak terjadi di Indonesia. Pasca gempa Yogyakarta pada 2006, masih banyak bangunan yang tidak disesuaikan dengan Standar Nasional Indonesia untuk bangunan tahan gempa. Hanya bangunan baru saja yang disesuaikan.

“Kita khawatirnya itu bangunan yang tanggung, biasanya kalau yang tinggi itu tertib, tapi yang di bawah lima lantai biasanya abai,” pungkas Danang.

Pembawa Bencana

Dalam kacamata Pengurangan Risiko Bencana (PRB), bangunan tinggi membuat risiko bencana semakin tinggi. Forum PRB menyebutkan ada tiga bencana yang muncul akibat pembangunan yakni bencana banjir, krisis air dan konflik sosial.

Di Yogyakarta beberapa ancaman bencana tersebut sudah terbukti. Bangunan tinggi yang didominasi hotel dan apartemen membuat sumur warga kering akibat perebutan sumber air. Kasus tersebut terjadi dalam kasus Fave Hotel di Miliran, Kota Yogyakarta dan hotel 1O1 di Gowongan, Kota Yogyakarta. Di dua lokasi tersebut sumur warga menjadi kering akibat perebutan air tanah yang digunakan warga dan hotel. Dalam kasus Fave Hotel, puluhan sumur warga mengering akibat berebut air tanah dengan hotel tersebut. Sedangkan di hotel 1O1 ada lebih dari 35 kepala keluarga kesulitan air akibat sumur mengering.

Peneliti Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno melakukan riset terkait dampak pembangunan hotel di Yogyakarta terhadap krisis air. Dari hasil penelitiannya sejak tahun 2006 permukaan air tanah terus menurun sebanyak 15-50 sentimeter per tahun. Akibatnya, warga Yogyakarta semakin susah menjangkau air tanah.

Selain krisis air, banjir pun menjadi ancaman yang tidak bisa terelakan saat musim penghujan. Hal itu diakibatkan daerah resapan air yang habis untuk pembangunan hotel. Kondisi itu diperparah dengan tingkah nakal sejumlah hotel yang tidak tertib aturan. Dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Ombudsmen Swasta (LOS) Yogyakarta pada tahun 2014 dari 23 hotel yang mereka survei secara acak, ada 10 hotel yang melanggar Perda No 2/2012 karena tidak memiliki ruang hijau dan daerah resapan air yang memadai.

Menurut Perda tersebut, semua bangunan di Yogyakarta harus memiliki ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Dalam pasal 40 disebutkan setiap bangunan dengan luas 60 meter persegi harus dilengkapi minimal 1 sumur resapan dengan diameter 1 meter sedalam 4 meter. Selain itu, halaman gedung tidak boleh diplester atau dikonblok.

Masalah lanjutan yang muncul akibat pembangunan hotel yakni konflik sosial. Itu juga yang terjadi di Yogyakarta. Muncul dua kelompok warga yang pro dan kontra dengan pembangunan hotel, seperti dalam kasus pembangunan apartemen M Icon di Gadingan, Sleman. Muncul dua kelompok warga yang menolak dan setuju.

Perlawanan Warga

Pada 6 Agustus 2014, muncul aksi pertama kali perlawanan warga terhadap hotel Fave di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta. Saat itu mereka melakukan aksi demonstrasi karena sumur warga kering setelah hotel Fave beroperasi. Dodok Putra Bangsa, salah seorang warga Miliran yang sumurnya kering melakukan aksi mandi pasir di depan hotel Fave.

Dodok pun mengusung tema Jogja Asat (Yogya kering) yang kemudian menjadi gerakan bersama. Gerakan ini memberikan efek yang besar. Pasca aksi Dodok, muncul perlawanan serupa di beberapa tempat. Salah satunya di Gowongan, Kota Yogyakarta. Warga pun melakukan aksi serupa. Tidak sekedar soal sumur asat, mereka juga merasa dirugikan dengan bangunan tinggi yang menyebabkan rumah-rumah warga tidak mendapat cahaya matahari karena tertutup bangunan tinggi.

Sebelumnya, warga di Karangwuni, Sleman juga sudah melakukan penolakan terhadap pembangunan Apartemen Uttara. Namun, gerakan itu belum memberikan efek pada gerakan warga. Salah satu aktivis lingkungan, Aji Kusumo bahkan sempat dikriminalisasi karena dengan tuduhan merusak banner milik apartemen Uttara. Dia pun divonis Pengadilan Negeri tiga bulan 15 hari penjara potong masa tahanan pada Juni 2014.

Sementara itu di Gadingan, Ngaglik, Sleman, warga juga melakukan penolakan terhadap pembangunan Apartemen M-Icon. Warga khawatir, pembangunan itu akan membuat sumur mereka mengering dan muncul banjir di kampung mereka. Mereka sudah melihat banyak contoh yang terjadi di Kota Yogyakarta dan Sleman. Pada Februari 2015, mereka menggeruduk DPRD Sleman untuk menolak pembangunan M-Icon.

Moratorium

Munculnya perlawanan warga dan risiko pembangunan hotel tersebut mendapat respons dari Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Pada 23 November 2015, Pejabat Bupati Sleman, Gatot Saptadi mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) No 63/ 2015 tentang penghentian sementara pembangunan hotel, apartemen, dan kondotel di Sleman. Berdasarkan Perbup tersebut, moratorium berlaku hingga 2021 mendatang.

Hal serupa juga terjadi di Kota Yogyakarta, Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwal) No.77 Tahun 2013 tanggal 20 November 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Dalam Perwal tersebut moratorium berlaku hingga Desember 2016. Namun, pada awal 2016, moratorium tersebut diperpanjang hingga tahun 2019.

Moratorium itu pun disambut baik Perhimpunan Hotel dana Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, sebab selama ini rata-rata okupansi hotel di Yogyakarta hanya 55-57 persen. Berdasarkan data PHRI, pada tahun 2014 tingkat okupansi hotel bintang di Kota Yogyakarta sebesar 57,48 persen dan non bintang (melati) 26,77 persen. Pada tahun 2015 tingkat okupansi hotel bintang 57,64 persen dan non bintang 27,11 persen. Angka tersebut masih di bawah okupansi ideal yakni 70 persen. Jika pembangunan hotel terus dilakukan maka okupansi dipastikan menurun dan membuat hotel merugi.

Akhirnya, pembangunan hotel pun harus dipikirkan ulang. Risiko bencana yang ditimbulkan bukan hanya sekadar berdampak nasib warga tapi juga para pengelola hotel. Risiko warga menjadi korban bencana makin besar ketika hotel menjamur. Sementara hotel terancam merugi karena okupansi yang rendah akibat persaingan. Kota Yogyakarta yang usianya sudah 260 tahun sudah seharusnya lebih bijak.

Baca juga artikel terkait YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Suhendra
Editor: Suhendra