Menuju konten utama

Ragam Ritual di Asia Timur: Momen Perenungan & Perayaan Kolektif

Di Asia Timur, beberapa ritual dirayakan sebagai festival yang bisa menggaet wisatawan, sisanya dilakukan sembunyi-sembunyi untuk menghindari persekusi.

Ragam Ritual di Asia Timur: Momen Perenungan & Perayaan Kolektif
Header Mozaik Ritual Tolak Bala di Asia Timur. tirto.id/Ecun

tirto.id - Mulai dari bilang permisi di tempat angker hingga membangun gedung tanpa lantai 13, takhayul dan ritual adalah hal biasa di Asia. Beberapa ritual dilakukan sebagai momen perenungan yang tenang, lainnya adalah waktu untuk datang bersama-sama dalam perayaan kolektif.

Daniel Sarabia dan J. David Knottnerus dalam jurnal ilmiah “Ecological Stress and Deritualization in East Asia”, menyebut bahwa sejak dahulu kala, budaya telah memandu interaksi manusia, dan alam memungkinkan komunitas manusia untuk memproduksi material nyata yang penting bagi kehidupan.

Sementara itu, mempertahankan hubungan dengan yang sudah tiada secara historis berarti pelaksanaan berbagai ritus. Melalui duka, pengorbanan, dan persembahan, individu harus menghormati orang mati dan membantu transisi mereka ke alam baka.

Setiap kota, negara, dan kelompok budaya memiliki tradisinya sendiri. Ini jadi cara menandai berlalunya waktu, meneruskan tonggak budaya dan spiritualitas. Ada banyak ritual yang dilakukan sebelum atau sesudah peristiwa penting.

Banyak budaya Asia mempraktikkan ritual karena ini membuat mereka merasa percaya diri tentang keberuntungan dalam hidup, dan upaya menolak sial serta bencana. Meski beberapa ritual dirayakan sebagai festival yang bahkan bisa menggaet pelancong, ada yang harus dilakukan sembunyi-sembunyi agar tak dipersekusi.

Festival Hantu Menyajikan Makan Pada Roh

Dalam budaya Tiongkok, hari kelima belas bulan ketujuh dalam kalender lunar disebut Hari Hantu. Dan bulan ketujuh secara umum dianggap sebagai Bulan Hantu, ketika hantu dan roh, termasuk leluhur yang telah meninggal, keluar dari alam bawah.

Disebut juga sebagai Festival Zhongyuan, pada hari kelima belas alam surga dan neraka dan alam hidup terbuka, baik Tao maupun Buddhis akan melakukan ritual untuk mengubah dan membebaskan penderitaan orang yang meninggal.

Festival Hantu, seperti disebut dalam China Daily, juga jatuh bersamaan dengan bulan purnama, musim baru, panen musim gugur, puncak pertapaan monastik Buddhis, kelahiran kembali leluhur, dan berkumpulnya komunitas lokal.

Selama bulan ini, gerbang neraka dibuka dan hantu bebas berkeliaran di bumi tempat mereka mencari makanan dan hiburan. Hantu-hantu ini diyakini sebagai nenek moyang dari mereka yang lupa memberikan penghormatan setelah mereka meninggal, atau mereka yang tidak pernah diberikan ritual pelepasan yang layak.

Disebutkan para hantu ini memiliki leher panjang setipis jarum karena belum diberi makan oleh keluarganya, atau sebagai hukuman agar tidak bisa menelan. Oleh karena itu, anggota keluarga berdoa kepada kerabat mereka yang telah meninggal.

Mereka juga menawarkan makanan dan minuman dan membakar kertas merang. Barang-barang kertas merang diyakini memiliki nilai di alam baka, dianggap sangat mirip dalam beberapa aspek dengan dunia material. Orang-orang membakar kertas berbentuk rumah, mobil, pelayan, dan televisi untuk menyenangkan para roh.

Keluarga juga memberikan penghormatan kepada roh gentayangan lain yang tak diketahui, sehingga jiwa-jiwa tunawisma ini tidak mengganggu kehidupan mereka. Sebuah pesta besar diadakan untuk para hantu pada hari keempat belas, ketika orang-orang membawa contoh makanan dan meletakkannya di atas meja persembahan. Ini untuk menyenangkan para hantu dan menangkal nasib buruk.

Lentera berbentuk teratai dinyalakan, dan diapungkan di sungai agar hanyut ke laut, yang secara simbolis memandu jiwa-jiwa yang tersesat dari leluhur yang terlupakan ke alam baka. Kegiatan selama sebulan akan mencakup menyiapkan persembahan makanan ritual, membakar dupa, dan membakar kertas merang untuk arwah para leluhur yang berkunjung.

Olahan masakan, sering kali dengan porsi vegetarian, akan disajikan dengan kursi kosong untuk setiap orang yang meninggal dalam keluarga. Mereka memperlakukan orang yang meninggal seolah-olah mereka masih hidup.

Perayaan lainnya termasuk membeli dan melepaskan miniatur perahu kertas dan lentera di atas air, yang menandakan memberikan arahan kepada hantu dan roh leluhur yang tersesat dan dewa-dewa lainnya.

Secara tradisional, diyakini bahwa roh menghantui Pulau Taiwan selama tujuh bulan penuh, ketika Festival Hantu pertengahan musim panas diadakan. Bulan ini dikenal sebagai Bulan Hantu. Hari pertama bulan ditandai dengan pembukaan gerbang kuil, melambangkan gerbang neraka.

Pada hari kedua belas, lampu di altar utama dinyalakan. Pada hari ketiga belas diadakan prosesi lampion. Pada hari keempat belas diadakan parade pelepasan lampion air. Dupa dan makanan dipersembahkan kepada arwah untuk mencegah mereka mengunjungi rumah dan uang kertas arwah juga dibakar sebagai persembahan.

Selama bulan itu, orang-orang menghindari operasi, membeli mobil, berenang, pindah rumah, menikah, bersiul dan pergi keluar atau berfoto setelah gelap.

Sesaji dan Nyanyian Bersama Dewa dan Leluhur

Banyak ritual di Asia Timur berakar dari budaya Tiongkok klasik. Sejak zaman kuno, orang Jepang telah menghargai festival masing-masing dari empat musim. Sejak Jepang belajar menanam padi, musim semi menjadi musim untuk membajak ladang dan musim gugur sebagai musim untuk memanen tanaman telah menjadi fondasi masyarakat Jepang.

Fabio Rambelli dalam The Sea and the Sacred in Japan Aspects of Maritime Religion menyebut festival tahunan yang dilakukan pada waktu yang berbeda dalam setahun berasal dari ritual dan festival Shinto.

Sebagai bagian dari ritual, penduduk setempat akan mempersembahkan makanan yang telah menerima berkah khusus untuk menyambut kami, yang bisa berarti dewa atau roh.

Diyakini bahwa kami pangan dan pertanian, Ukanomitama, bersemayam di dalam beras, sehingga beras sangat terkait dengan cara hidup mereka. Karena alasan inilah makanan atau minuman yang terbuat dari nasi seperti mochi atau sake menjadi persembahan pokok.

Selama festival, juga disebut matsuri, orang Jepang menghibur para dewa dengan sake dan makanan yang digunakan sebagai persembahan. Sesaji ini kemudian dimakan oleh para peserta festival. Selanjutnya mereka menikmati sake dan makanan yang telah dipersembahkan kepada para dewa secara bersama-sama.

Persembahan makanan yang diberikan kepada kuil Shinto ini disebut shinsen. Pendeta Shinto, yang menyucikan dirinya terlebih dahulu, harus memberikan sesaji sesuai tradisi sebanyak yang dia bisa. Persembahan terdiri dari makanan yang disiapkan dengan hati-hati.

Ada juga aturan tentang cara menyajikan dan mempersembahkan makanan, agar tidak melecehkan para dewa. Tergantung pada kuil, mungkin ada perbedaan dalam cara persembahan dibuat, tetapi semua berusaha untuk mempersembahkan makanan yang sebaik dan semenyenangkan mungkin untuk dilihat.

Makanan yang ditawarkan bisa berkisar dari nasi hingga makanan laut, makanan yang digali dari pergunungan, makanan musiman, makanan khas lokal, atau makanan yang berhubungan dengan kami yang diabadikan.

Dalam Shinto, persembahan memiliki kekuatan khusus, yang disebut "berkah para kami". Dikatakan bahwa makan makanan yang mengandung kekuatan kami memungkinkan seseorang untuk menerima berkah mereka dan memperkuat hubungan antara manusia dan dewa.

Di akhir ritual, makanan yang dipersembahkan disantap bersama untuk mendapatkan rasa persatuan dengan kami, dan untuk mendapatkan berkah dan perlindungan mereka.

Infografik Mozaik Ritual Tolak Bala di Asia Timur

Infografik Mozaik Ritual Tolak Bala di Asia Timur. tirto.id/Ecun

Bergeser ke tetangganya Jepang, Gut adalah ritual yang dilakukan oleh shaman Korea, yang melibatkan persembahan dan pengorbanan kepada dewa, roh, dan leluhur.

Ritual ini dicirikan oleh gerakan berirama, lagu, nubuat dan doa. Ini dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan, memohon para dewa untuk campur tangan dalam keberuntungan manusia.

Diperkirakan 50.000 upacara shamanisme ini diadakan setiap tahun di Seoul, menurut Kim Dong-kyu, seorang sarjana agama di Universitas Sogang. Beberapa orang Korea Selatan melihat shamanisme, yang mendahului agama Buddha dan Kristen, sebagai harta budaya yang hidup.

Anthony Kuhn dalam Shamanism Endures In Both Koreas — But In The North, Shamans Risk Arrest Or Worse menyebut bahwa beberapa orang menganggapnya sebagai aktivitas primitif yang memalukan bagi masyarakat modern dan kosmopolitan. Meski daya tariknya bertahan, bahkan di Korea Utara, tempat ritual itu dianggap ilegal.

Ritual shamanisme dimaksudkan untuk membawa panen yang baik, membantu desa atau komunitas makmur dan membantu jiwa orang mati dalam perjalanan mereka ke alam baka.

Mereka meramal berdasarkan sistem kalender Cina dan berkomunikasi dengan dunia roh. Mereka membantu klien memilih nama untuk anak-anak, melayani sebagai mak comblang dan memilih tanggal keberuntungan untuk pernikahan, pindah rumah atau membuka bisnis.

Shamanisme di Korea Utara sepenuhnya bergerak secara klandestin dan tanpa organisasi formal, sebab bakal dilaporkan sebagai pembelot. Praktisi dapat dipenjara, dikirim ke kamp pendidikan ulang dan kerja paksa. Bahkan dieksekusi karena mengambil bagian dalam apa yang dianggap sebagai takhayul ilegal.

Di Asia Timur, beberapa ritual dirayakan meriah sebagai festival yang bisa menggaet wisatawan, sisanya harus dilakukan sembunyi-sembunyi justru agar efek tolak balanya berfungsi.

Baca juga artikel terkait TRADISI TOLAK BALA atau tulisan lainnya dari Arif Abdurahman

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Arif Abdurahman
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Irfan Teguh Pribadi