Menuju konten utama

Problem Pelibatan TNI-Polri dalam Vaksinasi PMK

Pelibatan TNI-Polri dalam vaksinasi wabah PMK dinilai sebagai kegagalan pemerintah dalam mengidentifikasi masalah.

Problem Pelibatan TNI-Polri dalam Vaksinasi PMK
Header Indepth Penyakit Mulut & Kuku. tirto.id/Ecun

tirto.id - Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bergerak setelah 63 sapi di Bali tertular penyakit mulut dan kuku (PMK) pada 2 Juli 2022. Dua hari setelah diumumkan oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Luhut melaksanakan rapat koordinasi penanganan PMK.

Rapat sore itu dihadiri Kapolda dan Pangdam wilayah terdampak, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjend TNI Suharyanto. Dalam rapat itu, Luhut meminta penyebaran PMK jangan sampai meluas, apalagi Bali menjadi lokasi pertemuan para pemimpin G20 pada November.

Pada 4 Juli, kasus ternak terjangkit PMK meningkat menjadi 181 ekor di empat kabupaten/ kota. Dalam skala nasional, hewan ternak terjangkit PMK mencapai 2.171 ekor per hari pada 2 Juli dan 5.227 ekor pada 3 Juli. Artinya kenaikan kasus nasional PMK mencapai sekitar 141 persen.

Dalam rapat koordinasi tersebut Luhut sempat berkata bahwa aktor pemerintah yang bertanggung jawab, khususnya Menteri Pertanian, kurang tanggap dalam menekan angka kasus PMK, terbukti dari naiknya angka kasus dalam hitungan hari. Ini bukan kali pertama Menteri Syahrul dianggap lambat menangani PMK. Sebelumnya Ombudsman RI dan Komisi IV DPR juga mengkritisi mantan gubernur Sulawesi Selatan itu.

Untuk mengurangi penyebaran kasus, Luhut menugaskan Babinsa dan Bhabinkamtibmas untuk melakukan pendataan dan pelaporan kasus, termasuk pembatasan lalu lintas, testing dan vaksinasi, serta pemusnahan dan pemotongan.

Kondisi itu pun dipertanyakan oleh pejabat kepolisian karena Bhabinkamtibmas maupun Babinsa tak punya kemampuan untuk vaksinasi kepada hewan.

Esoknya, Kementan melaksanakan pelatihan Training Of Trainer (TOT) vaksinasi PMK secara offline di Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan (BBPKH) Cinagara, Bogor, 5-7 Juli 2022. Polisi yang mengikuti pelatihan itu sebanyak 23 orang terdiri dari dokter hewan dan paramedik di Mabes Polri dan enam Polda, dari Sumatera, Jawa hingga Kalimantan.

Kepala BBPKH Cinagara, Wasis Sarjono mengatakan, TOT merupakan langkah strategis untuk menanggulangi dan antisipasi menyebarnya virus PMK. Dirinya berharap, peserta TOT dapat mengikuti pelatihan dengan baik tahap demi tahap terutama pada saat praktek Vaksinasi yang sesuai dengan SOPnya.

"Selesai TOT, Polri bisa dan mampu menjadi tenaga vaksinator mendukung program PMK ini”, ujar Wasis dalam laman resmi Instagram BBPKH Cinagara.

Meski telah mengikuti pelatihan TOT, anggota Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) yang bekerja di kepolisian merasa khawatir, sebab prosedur tersebut dianggap telah melanggar aturan. Salah seorang anggota PDHI yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa program vaksinasi tidak dapat dilakukan oleh polisi murni hanya dengan berbekal pelatihan singkat.

Anggota PDHI di kepolisian tersebut juga mengatakan bahwa beberapa aktor pemerintah juga menyepelekan persoalan vaksinasi, termasuk BNPB, yang menganggap PMK lebih mudah dibandingkan saat pandemi COVID-19.

Sementara itu, Pengurus Besar (PB) PDHI menyesalkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan pihaknya dalam keputusan penanganan wabah PMK. Ketua II PB PDHI, Tri Satya Putri mengatakan tidak ada diskusi atau komunikasi terkait pelibatan pihak lain di luar profesi PDHI.

"Itu yang kita sesalkan. Kita mengetahui adanya pelibatan pihak luar profesi dari forward whatsapp teman-teman. Kita kaget juga," kata Tri kepada Tirto, Rabu (20/7).

Ia menyarankan pemerintah untuk melibatkan mahasiswa koas Fakultas Kedokteran Hewan yang sudah melalui pelajaran klinik untuk program vaksinasi PMK. Tri bilang, meskipun orang di luar profesi PDHI sudah dilatih secara cepat, ada kemungkinan kesalahan protokol di lapangan. Apalagi mereka tak pernah mempelajari anatomi sapi, kerbau dan hewan lainnya.

Sementara itu Ketua III Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) Bonifasius Suli Teruli mengatakan, pernyataan BNPB menunjukan ketidakpahaman baik secara teknis maupun aturan. Jika dilihat dari sudut pandang ilmiah, pernyataan itu membahayakan diri sendiri dan masyarakat.

“Jangan menggunakan ukuran COVID untuk ukuran PMK. Kalau COVID jelas yang kena harus isolasi sampai virusnya mati. Kalau sapi gimana caranya virusnya mati? padahal sampai dua tahun sapi yang sudah terinfeksi PMK masih bisa menularkan. Jadi apa parameter dikatakan sembuh jika masih bisa menularkan?” kata Suli kepada Tirto, Rabu (20/7).

Infografik Indepth PMK

Infografik Indepth Penyakit Mulut & Kuku. tirto.id/Ecun

KontraS Kritik Pelibatan Babinsa dan Bhabinkamtibmas Dalam Penanganan PMK

Koordinator Tim Pakar Penanganan PMK Wiku Adisasmito mengatakan, pelibatan Babinsa dan Bhabinkamtibmas sebagai tenaga vaksinator dipertimbangkan guna percepatan penanganan wabah PMK.

“Pelibatan Babinsa dan Bhabinkamtibmas sebagai tenaga vaksinator kami pertimbangkan mengingat urgensi percepatan pemberian vaksin dan masih kurangnya tenaga vaksinator yang ada di lapangan,” ujar Wiku dalam keterangan pers, Selasa (26/7).

Dia menambahkan, Babinsa dan Bhabinkamtibmas yang akan dilibatkan sebagai vaksinator tentunya akan mendapatkan pelatihan teknis dari para ahli untuk memastikan proses vaksinasi pada hewan berlangsung dengan aman dan sesuai prosedur.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pelibatan TNI-Polri kontradiktif dalam penanganan wabah penyakit mulut kuku (PMK) di 22 provinsi. Pelibatan unsur TNI dan Polri dinilai tidak sesuai dengan porsinya dalam rangka penanganan wabah PMK. Apalagi ada upaya mewajarkan pelibatan tersebut.

"Negara memberi pewajaran terhadap pelibatan TNI-Polri dalam kasus PMK," kata Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar kepada Tirto, Senin (11/7).

Keterlibatan TNI-Polri dalam penanganan wabah PMK bisa menutup orang individu atau organisasi profesi dokter hewan lain terlibat untuk membantu menyelesaikan masalah. Padahal, organisasi profesi tersebut bisa sebagai garda utama dalam berhadapan dengan virus PMK yang sudah menyebar di 22 provinsi.

Ia menambahkan, keterbatasan dokter hewan bukan dijawab pemerintah dengan melibatkan TNI-Polri sebagai tim vaksinator. Tetapi pemerintah bisa mendorong lembaga organisasi profesi, fakultas kedokteran hewan, mantri dan sebagainya untuk berkolaborasi menyelesaikan permasalahan wabah. Rivan bilang jangan semua lini masalah sipil melibatkan TNI-Polri, seolah-olah sipil tak sanggup menyelesaikan masalah.

"Kalau dia (pemerintah) mau potong main melibatkan TNI dan Polri, berarti gagal mengidentifikasi masalahnya. Ini melegalkan semua cara," ucap Rivanlee.

Pelibatan TNI dalam ranah sipil bukan pertama kali di wabah PMK. Sebelumnya, pemerintah daerah melibatkan TNI untuk melakukan tindakan razia seperti yang dilakukan Kodam III Siliwangi, mengawal penggusuran di Jakarta, serta berperan dalam penangkapan pelaku narkoba.

Rivanlee meminta keterlibatan TNI dan Polri di wabah PMK harus didorong dengan mekanisme transparansi, akuntabilitas dan evaluasi yang jelas supaya keterlibatannya terukur. Pihaknya menduga dengan keterlibatan aparat seolah-olah hanya memenuhi target pemerintah semata tanpa ada evaluasi yang jelas.

"Pemerintah tidak bisa melibatkan TNI di luar kewenangannya untuk menghindari konflik kepentingan. Jika ada keterlibatan TNI dan Polri berlebihan dan tidak terukur maka akan terjadi konflik kepentingan lain," katanya.

Suntik PMK: Pencitraan Para Pejabat Pemerintah

Pertengahan Juni lalu, Kementerian Pertanian melaksanakan suntik vaksinasi PMK terhadap sapi dan hewan ternak berkuku belah lainnya secara nasional. Penyuntikan perdana tersebut dilakukan oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Nasrullah di Kabupaten Sidoarjo.

Nasrullah merupakan lulusan S3 Universitas Kagoshima Jepang Jurusan Produksi Ternak Tahun 2003. Ia pernah menduduki posisi penting seperti Pj. Kepala BPTP Sulawesi Selatan, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), serta kepala Balai Penelitian Ternak. Meskipun Nasrullah bukan lulusan dokter hewan, ia melakukan penyuntikan vaksinasi PMK terhadap sapi.

Ketua III Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) Bonifasius Suli Teruli mengatakan, banyak koleganya yang protes terkait seremonial penyuntikan vaksinasi PMK yang dilakukan oleh Dirjen PKH Kementerian Pertanian, sebab bukan dari latar kedokteran hewan. Protes cabang PDHI itu juga terjadi pada saat Wakapolres Simeulue menyuntik vaksin pada hewan ternak.

"Pejabat itu pengin dilihat bekerja," kata Suli kepada Tirto, Rabu (20/7).

Dari catatan Tirto banyak pejabat daerah yang ikut latah melakukan suntik vaksin PMK pada hewan ternak diantaranya, Sekda Tabanan, Dandim 1619 Tabanan, Kapolres Tabanan, Bali; Wakil Gubernur Jawa Tengah, dan Polres Jepara. Bahkan beberapa diantaranya tidak memakai standar alat pelindung diri (APD) lengkap dalam proses vaksinasi.

"Kalau baca aturan, mereka tidak patuh aturan. Padahal sebagai pejabat harusnya patuh aturan. Dalam UU Nomor 18 tahun 2009 yang boleh menyuntik adalah tenaga medis kesehatan hewan. Sekarang mereka melakukan tindakan itu atas landasan apa? kalau landasanya selebrasi tidak tepat. Mereka melanggar aturan walaupun tidak ada sanksinya," kata Suli.

Suli bilang penyuntikan itu sebagai pemberian obat secara parenteral: pemberian obat menggunakan suntik, infus, serta sonde (selang yang dimasukan melalui mulut atau hidung). Semua tindakan itu hanya diperbolehkan bagi mereka yang sudah memiliki kewenangan yakni dokter hewan.

Biosecurity yang Diabaikan

Bukan hanya seremonial penyuntikan, para petugas juga melakukan pengecekan sapi ke kandang-kandang hewan tanpa menggunakan APD lengkap.

Dalam paparan pelatihan vaksinasi secara online pada 29 Mei 2022, Raden Enen Rina, Subkoordinator Standarisasi dan Biosecurity Direktorat Kesehatan Hewan mengungkapkan biosecurity petugas wajib dilaksanakan ketika masuk ke kandang peternakan.

"Biosecurity untuk mencegah semua kemungkinan penularan/kontak ternak sehat dengan ternak tertular. Mencegah penyakit masuk ke dalam ataupun menyebar di dalam dan keluar peternakan," ucapnya.

Menurutnya, penerapan biosecurity penting karena sifat PMK yang berpotensi menyebabkan tingkat penularan yang tinggi. Oleh karena itu, hewan yang rentan virus PMK diantaranya sapi, domba, babi, kambing dan hewan berkuku belah lainnya. Data Kementerian Pertanian per Juli 2022 ada 430.171 ekor hewan terkonfirmasi PMK di 268 kabupaten/kota.

Dari jumlah kasus itu, 220.592 ekor dinyatakan sembuh secara klinis, 199.078 ekor belum sembuh, 6.533 ekor dipotong bersyarat dan 3.968 ekor dinyatakan mati. Rina bilang, meskipun kondisi sapi sudah pulih secara klinis, tapi ternak tersebut masih bersifat carrier di mana hewan yang pernah terinfeksi itu berpotensi menyebarkan virus PMK. Untuk hewan carrier seperti kerbau Afrika virusnya bertahan 5 tahun, sapi tiga tahun, domba 9 bulan dan kambing 4 bulan.

Sementara itu, Suli mengatakan, prosedur operasional standar lapangan bagi petugas yang mendatangi peternakan tidak dilaksanakan secara benar. Sebab praktik menjalankan higienitas dan sanitasi pada masing-masing petugas sampai keadaan bersih tidak dijalankan 100 persen.

Beda halnya dengan Australia yang memperketat biosecurity bagi warganya maupun warga negara asing yang memasuki wilayahnya. Hal tersebut terlihat dengan penemuan fragmen virus PMK pada makanan daging sapi yang dibawa oleh orang yang melakukan perjalanan dari Indonesia.

"Biosecurity disana sangat ketat sehingga menemukan fragmen virus PMK pada makanan," kata Suli.

Bahkan warga Australia yang baru pulang liburan dari Bali diwajibkan membuang sepatu ketika memasuki negaranya. Dilansir AustraliaNews, kebijakan baru diterapkan karena adanya persebaran PMK di Indonesia. Penyakit ini dapat menyebar melalui pupuk kandang, artinya ada risiko yang disebarkan melalui sepatu turis yang terkontaminasi di Bali.

Deputi Perdana Menteri New South Wales Paul Toole mendesak pelancong untuk mendukung langkah aman tersebut. Dia bahkan memohon pada warga yang kembali dari Bali untuk meninggalkan sepatunya.

"Tinggalkan sepatu Anda, karena Anda benar-benar membawa risiko penyakit kembali ke negara ini," ucapnya.

Suli mengatakan tindakan negara tetangga tersebut wajar, sebab kebijakan pemerintah terkait penanganan PMK bisa dibilang buruk. Hal ini bisa terlihat dengan masih diperbolehkannya konsumsi bagian aman dari sapi yang terpapar PMK. Bahkan, hewan kurban dengan gejala PMK ringan masih sah untuk dijadikan hewan kurban.

“Ini membuktikan kalau Indonesia sudah sangat tercemar dengan penyakit PMK. Jika sapi dipotong paksa lalu dagingnya diedarkan bisa membuat penularan selanjutnya. Negara lain tidak ada yang namanya potong bersyarat. Yang ada musnahkan hewan positif PMK,” kata Suli.

Dia menjelaskan meski virus PMK tidak menular ke manusia alias bukan kategori zoonosis, virus tersebut dapat menyebar dengan cepat dan menulari hewan sehat. Virus PMK bisa menyebar karena kontak langsung dengan hewan infeksi, produk hewani terkontaminasi seperti susu dan daging, serta dapat menyebar di udara dalam jarak 100-200 km dengan kondisi tertentu. Virus tersebut juga dapat menempel pada manusia, kendaraan dan peralatan yang terkontaminasi virus pada saat dibawa ke peternakan.

Baca juga artikel terkait PENYAKIT MULUT DAN KUKU atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Adi Renaldi