Menuju konten utama

Problem Pelatihan Kartu Prakerja: Dimonopoli dan Tidak Relevan

Kelas pelatihan dalam program kartu prakerja diduga dimonopoli oleh platform digital yang ditunjuk pemerintah.

Problem Pelatihan Kartu Prakerja: Dimonopoli dan Tidak Relevan
Ilustrasi Monopoli Kartu Prakerja. tirto.id/Lugas

tirto.id - Sebulan setelah Perpres Nomor 36 tahun 2020 diterbitkan, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menerbitkan aturan pelaksana program kartu prakerja untuk jaring pengaman sosial korban PHK. Dalam aturan setebal 25 halaman itu, pemerintah meminta platform digital sebagai mitra kartu prakerja untuk mengkurasi lembaga pelatihan sesuai tahapan yang ditetapkan.

Alur kurasinya begini, pertama lembaga pelatihan yang ingin membuat kelas program kartu prakerja wajib mendaftar kepada delapan platform digital. Kedua, platform melakukan kurasi lembaga pelatihan selama 14 hari sejak didaftarkan. Ketiga, hasil kurasi diberikan kepada pemerintah untuk dikurasi lagi. Terakhir, pemerintah menetapkan lembaga pelatihan paling lama tujuh hari setelah penyampaian hasil kurasi oleh platform digital.

Direktur Kemitraan, Komunikasi dan Pengembangan Ekosistem Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Panji Winanteya Ruky mengatakan kurasi kelas pelatihan dilakukan setelah aturan pelaksana permenko No 3 tahun 2020 yang terbit pada 27 Maret 2020. Sementara itu Menko Perekonomian Airlangga membuka pendaftaran resmi kartu pra kerja pada 11 April 2020. Artinya, dalam waktu 15 hari pemerintah sudah menetapkan 2.055 kelas pelatihan dari 198 lembaga pelatihan.

Bagaimana standar kurasi lembaga pelatihannya?

"Standarnya masih sama dengan Permenko. Pasal 25," kata Panji kepada Tirto, Senin (20/4/2020).

Pasal yang disebut Panji itu hanya berisi aturan bahwa pelatihan diselenggarakan oleh lembaga swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau pemerintah.

Sementara kriteria diatur dalam pasal 26 poin b. Poin itu menyebut bahwa kriteria lembaga pelatihan; memiliki kerjasama dengan platform digital, memiliki sistem tata kelola yang mendukung, menyelenggarakan pelatihan yang mengacu kepada keterampilan, keahlian dan/atau Kompetensi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Selain itu, lembaga pelatihan wajib memiliki kurikulum, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang terstruktur untuk masing-masing program pelatihan, mampu menyediakan sarana dan prasarana pelatihan sesuai dengan program pelatihan, menyediakan tenaga pendidik dengan kualifikasi kompetensi yang relevan dan memiliki sistem evaluasi pembelajaran.

Bila melihat kriteria di atas, ada celah monopoli yang mungkin dilakukan oleh delapan platform yang ditunjuk pemerintah. Sebab tidak ada aturan tegas pembatasan terhadap lembaga pelatihan yang memiliki relasi bisnis dengan delapan platform.

Proses seleksi ini pun sarat dengan dengan konflik kepentingan ketika platform digital mengkurasi lembaga pelatihan milik sendiri. Panji menjawab kemungkinan itu dengan diplomatis, dia bilang kementerian juga melakukan kurasi.

"Berpatokan pada standar (permenko)," kata Panji.

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mencurigai kriteria dan syarat yang tercantum dalam permenko itu bisa hanya sebagai alibi. Sebab, selama ini prosesnya tidak diketahui publik, tidak transparan dan akuntabilitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Ia khawatir lembaga yang bekerjasama itu bukan lembaga yang punya kompetensi atau akreditas yang baik. Sebab tidak ada keterbukaan soal akreditasi pelatih dan lembaga.

"Kondisi ini mengindikasikan pelaksanaan itu sendiri tidak ada urgensinya. Sekadar bagi-bagi kue. Jadi diputar doang. Artinya pemegang kartu prakerja hanya dijadikan objek untuk aktivitas mereka memperoleh keuntungan finansial," kata Trubus.

Monopoli Kelas Pelatihan

Program kartu prakerja ini jadi tambang uang instan bagi delapan platform digital yang ditunjuk pemerintah. Karena mereka tidak hanya menjadi platform, tapi juga sekaligus menjadi lembaga pelatihan.

Misalnya Pintaria, platform pembelajaran daring yang diluncurkan HarukaEDU pada 24 Juli 2018. HarukaEDU menjadi lembaga pelatihan yang diseleksi oleh Pintaria dan platform lainnya. Hasilnya tentu bisa ditebak, HarukaEDU lolos dan mendapat porsi besar untuk kelas pelatihan program kartu prakerja.

Pada laman resmi pintaria.com, ada 19 katagori: Bermanfaat, Business & Management, Customer Service, Data Science, Digital Marketing, Education, Entrepreneurship, Finance, Hospitality, IT, Kreatif, Kulinari, Laku, Language, Logistic, Office Administration, Programming, Sales dan Tourism.

Untuk kategori Bermanfaat, HarukaEDU memiliki 22 kelas pelatihan dari 52 kelas yang tersedia, sisanya dibagi ke 10 lembaga pelatihan lainnya. Pada katagori Laku, ada 27 kelas pelatihan yang dilaksanakan empat lembaga pelatihan. Sebanyak 16 kelas di antaranya kelas pelatihan milik HarukaEDU. Sisanya dibagi untuk tiga lembaga pelatihan lain.

Masih banyak lagi kelas pelatihan yang disediakan oleh HarukaEDU dalam program kartu prakerja di platform miliknya sendiri, Pintaria.

Begitu pula dengan platform daring lainnya, seperti Ruangguru, sekolah.mu, maubelajarapa, mereka menggunakan trainer atau lembaganya sendiri dalam kelas-kelas pelatihan. Misalnya, Iman Usman, selain CEO-Ruangguru, dia mengisi kelas pelatihan bedah curriculum vitae untuk sekolah ke luar negeri, beasiswa, dan lamaran kerja.

Trubus Rahadiansyah menilai kondisi ini menunjukkan dugaan adanya usaha monopoli kelas pelatihan dalam platform digital. Akibatnya, ada persaingan yang tidak sehat dalam program kartu pra kerja. "Iya jelas, sifat monopoli, sifat oligopoli ada di situ," katanya.

Jika disimulasikan, pundi-pundi uang dari kelas pelatihan ini sangat menggiurkan. Catatan Tirto, ada 28 kelas pelatihan di bawah HarukaEDU dengan biaya dari Rp150 ribu sampai Rp600 ribu per kelas. Dengan asumsi 28 kelas pelatihan masing-masing diisi oleh satu orang saja, HarukaEDU bisa mendapatkan dana sebesar Rp12.950.000.

Itu hanya untuk satu orang saja. Sementara ada 5,6 juta orang penerima manfaat kartu prakerja. Permasalahnya keuntungan itu hanya berputar bagi HarukaEDU dan Pintaria yang dimiliki perusahaan yang sama. Haruka EDU merupakan perusahaan yang berkibar di bawah bendera PT Haruka Evolusi Digital Utama.

Mayoritas saham PT Haruka Evolusi Digital Utama dipegang oleh Harukaedu PTE.LTD yang beralamat di 77 Robinson Road 16-00 Singapura. Berdasarkan data Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM perusahaan asal Singapura itu memegang 14.038.400 lembar saham senilai Rp14.038.400.000 dari total 14.187.800 saham dengan nilai Rp14.187.800.000.

Direktur PT HarukaEDU ini dijabat Gerald Wiratmo Adli Ariff dengan kepemilikan saham sebesar Rp36,6juta dan presiden direktur dijabat Novistiar Rustandi dengan nilai kepemilikan saham Rp39,5juta. Dua pemilik saham lainnya adalah Tovan Krisdianto dan PT London Sukses Makmur Sejahtera dengan masing-masing memiliki saham senilai Rp36,6juta.

Persoalan lainnya adalah ada kelas pelatihan di platform digital maubelajarapa bisa diwakilkan orang lain bila peserta tidak bisa hadir. Hal itu terjadi pada lembaga pelatihan Digital Marketist Indonesia dan Banking World. Saat dikonfirmasi, manajemen pelaksana kartu prakerja meminta waktu untuk konfirmasi ke platform yang dimaksud.

"Saya telah memeriksa dengan platform digital yang bersangkutan. Menurut mitra ini kesalahan copy paste informasi dari syarat ketentuan yang berlaku umum kepada pelatihan khusus prakerja. Mitra ybs akan segera mengkoreksi informasi di layar tersebut," kata Panji.

Tak hanya itu, persoalan lainnya pengistimewaan pembayaran pelatihan kepada platform digital dengan peserta pelatihan kartu pra kerja.

Jika merujuk pada pasal 31 Peraturan Menteri Keuangan 25/PMK.05/2020 disebutkan pembayaran biaya bisa dilakukan kepada platform digital sebelum pelatihan dimulai dengan syarat membuat surat pernyataan kesanggupan penyelesaian pelatihan dari platform digital.

Sedangkan penerima manfaat yang lebih membutuhkan uang pada masa pandemi COVID-19 justru pembayaran insentif dipersulit. Dalam pasal 32, peserta pelatihan kartu prakerja baru dibayarkan insentif setelah selesai mengikuti pelatihan.

Infografik HL Indepth Kartu Pekerja

Infografik Monopoli Kartu Prakerja. tirto.id/Lugas

Pelatihan Tidak Relevan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan terdapat 198 lembaga dari delapan mitra platform digital yang akan menyediakan pelatihan secara digital kepada peserta program kartu prakerja. Jumlah sendiri mencapai 2.055 kelas pelatihan. Sayangnya berbagai pelatihan yang diberikan kurang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang saat ini.

Ketika ditelusuri Tirto, pada laman maubelajarapa.com, terdapat paket pelatihan Belajar Penulisan CV dalam Bahasa Jepang seharga Rp950 ribu yang diselenggarakan lembaga pelatihan Worldnesia. Paket tersebut berlangsung selama dua jam dengan pengajar Monica Xie. Kemudian pelatihan Tips Yang Harus Dilakukan Saat Jualan Anyep seharga Rp900 ribu, belajar buat website wordpres Rp500 ribu, teknik buat cv keren Rp350 ribu, Latihan Soal CPNS 1 (plus kunci jawaban) Rp 150 ribu, English for Ojek Driver Rp500 ribu.

Pelatihan itu tidak relevan dalam kondisi sekarang ini. Misalnya English for Ojek Driver, apa guna driver ojek online belajar bahasa inggris sementara pada masa sekarang ini driver ojek online tidak bisa bekerja? Pertanyaan lain, apakah setelah mahir berbahasa inggris, driver ojek online bisa mendapatkan lebih banyak orderan?

“Kalau orderan mah tergantung rejeki masing-masing, nggak ada pengaruh bahasa inggris. Kalau bahasa Inggris paling ya sesekali biar paham kalau dapat bule, tapi jarang paling dua atau tiga kali,” kata Fauzi, driver ojek online di Jakarta yang mendaftar kartu prakerja.

Fauzi mengaku bila pelatihan tidak sesuai kebutuhan, paling tidak ia punya kegiatan untuk mengisi waktu.

Alasan serupa juga diungkapkan Thita Chisilia, lulusan salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia mengikuti program kartu prakerja karena sudah bosan di rumah. Dia berencana mengambil kelas bahasa inggris, akuntansi dan membuat CV & trik wawancara.

Thita mengatakan hanya mengincar sertifikatnya. Menurut Thita, perusahaan melihat pengalaman calon pekerjanya dalam bentuk sertifikat. Meski demikian Thita masih bingung melamar ke perusahaan mana. Sebab saat ini justru lebih banyak PHK daripada lowongan kerja.

Trubus Rahadiansyah mengajukan pertanyaan kritis serupa, “emang ada perusahaan yang memperkerjakan peserta kartu prakerja usai pelatihan selesai, sementara wabah COVID-19 belum selesai? Enggak ada.”

Menurut Trubus, awalnya program kartu pra kerja disepakati untuk mengurangi pengangguran karena ada masalah link and match antara dunia pendidikan dan industri. Dengan kata lain kartu prakerja disiapkan untuk fresh graduate.

"Kalau sekarang dalam konteks COVID-19, jadinya beda semua. Kesannya ini alibi saja untuk mengarahnya korupsi kebijakan," kata Trubus.

Baca juga artikel terkait KARTU PRAKERJA atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Mawa Kresna