Menuju konten utama

Polusi Udara Jalur Tengkorak Cilincing: "Mata Perih, Dada Sesak"

Sebagai salah satu pusat bisnis industri manufaktur, Cilincing juga dikenal dengan wilayah berpolusi tinggi.

Polusi Udara Jalur Tengkorak Cilincing:
Header Indepth Sumber Polusi Jakarta. tirto.id/Ecun

tirto.id - "Mata saya sering perih kemasukan debu. Jadi merah dan gampang lelah,"

Kalimat itu keluar dari mulut Emi (37), seorang driver ojek online perempuan yang saban hari melintas di Jalur Cilincing, Jakarta Utara.

Pagi itu, Rabu (30/11/2022) sekitar pukul 06.30 WIB, perempuan yang akrab dipanggil Mpok Emi ini tengah menyiapkan perlengkapan sekolah dua anaknya yang berusia 6 dan 12 tahun, sedangkan anak sulungnya (16) mempersiapkan perlengkapannya sendiri. Ini adalah rutinitas Emi sebelum pergi kerja sebagai ojek online. Mereka tinggal di kawasan Kelapa Dua Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.

"Saya ini janda, jadi apa-apa harus urus sendiri," ucapnya.

Usai mengantar anaknya ke sekolah, Emi pulang ke rumah. Ia mengenakan kerudung berwarna krem, dan dipadankan dengan jaket ojek online yang berwarna hijau. Tak lupa, Emi memakai helm dan masker. Biasanya tepat pukul 9 pagi, dia mulai mencari pundi rupiah.

Tak seperti ojol pada umumnya, Emi lebih memilih mengambil penumpang yang tak jauh dari rumahnya. Kawasan kerjanya berkisar di sekitar Cilincing, Tanjung Priok, Koja, dan Kelapa Gading. Hal itu agar ia tetap bisa mengurus ketiga anaknya. Emi mengaku kerap kali melintasi jalan Raya Marunda dan Cakung Cilincing (Cacing) yang disebut oleh warga sekitar sebagai 'Jalur Tengkorak'. Bahkan sehari bisa sampai lima kali.

Penamaan 'Jalur Tengkorak' ini lantaran jalanan itu dilintasi kendaraan besar: truk, dump truk, hingga truk kontainer. Jika itu belum cukup menggentarkan, masih ditambah kondisi jalan yang rusak dan berlubang besar, plus polusi udara dari asap kendaraan dan debu jalanan.

Ketika melintas, Emi mengaku matanya sering terkena debu asap kendaraan dan debu jalanan yang menggumpal. Efeknya: mata memerah, iritasi, kelilipan, mata mudah lelah, hingga pandangannya terganggu.

"Kalau saya lap di ujung mata nih, debunya tebel banget menggumpal, sudah kaya belek deh," ucapnya.

Jika mata memerah, Emi akan mengompresnya dengan air hangat dan menggunakan timun paling lama dua hari. Emi turut mengalami dampak jangka panjang dari polusi udara di Jalur Tengkorak. Matanya kini mengalami rabun jauh atau minus. Padahal sebelum ia kerja sebagai ojol pada 2021, penglihatannya masih normal.

Efek polusi udara ke kesehatan Emi tidak hanya sampai di sana. Selain gangguan pada mata, kulit Emi kerap merasa gatal dan lengket. Banyaknya debu ditambah dengan sinar matahari terik di jalur tersebut, bikin kulit Emi seperti terbakar. Jika kamu menengok pergelangan tangannya, terlihat belang di sana.

Selama melintas di 'Jalur Tengkorak', Emi juga mengaku pernah melihat beberapa truk pengangkut batu bara milik PT. Karya Cipta Nusantara (KCN) melintas di jalur tersebut. PT. KCN merupakan perusahaan yang dicabut izin operasionalnnya oleh Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup pada Juni 2022 karena mencemari lingkungan Rusunawa Marunda dan sekitarnya dengan debu batu bara.

Saat mobil itu melintas, kata Emi, seringkali serpihan batu bara berjatuhan lantaran jumlahnya yang melebihi muatan. Tak hanya itu, saat truk melintas, debu batu bara selalu berterbangan ke jalan dan ke pemukiman warga. Ia mengaku pernah melintas di jalanan yang jaraknya dekat dengan PT KCN. Ia menyaksikan debu yang hitam dan cukup tebal menggumpal.

"Debunya hitam. Setahu saya itu parah. Jadi kami ojol kalau dapet orderan ke daerah sana, mending dibatalkan. Sudah jalanan rusak, licin, jadi risiko terlalu besar," pungkasnya.

Sebagai tulang punggung keluarga dan ibu rumah tangga, Emi mengalami beban ganda yang membuat tenaga serta waktunya terkuras. Emi adalah satu dari sedikit sekali ojol perempuan yang beroperasi di Jalur Tengorak. Namun itu ia lakukan demi ketiga buah hatinya. Seringkali ia mengantuk ketika menerima pesanan di tengah kondisi lalu lintas yang rawan.

***

Sari adalah buruh perempuan yang bekerja di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, Jakarta Utara. Saban hari, Sari menempuh waktu satu jam perjalanan atau sekitar 25 kilometer dari rumahnya di Bekasi menuju tempat kerjanya. Bila macet, ia bisa menghabiskan dua jam di jalan.

Perempuan asal Jawa Timur ini sudah 23 tahun bekerja di pabrik garmen. Ia merasakan perubahan era transportasi. Dulu banyak karyawan pabrik yang memakai kendaraan umum, atau antar jemput karyawan (AJP). Sekarang mayoritas sudah memakai sepeda motor.

KBN berada sekitar 5 km dari pelabuhan utama Tanjung Priok dengan luas kawasan mencapai 176,7 hektare. Sebagian besar, sekitar 166,6 hektare berstatus kawasan berikat, sedangkan sisanya berstatus non-berikat. Di lokasi ini beroperasi 104 pelanggan pengolahan (produsen) yang 78 di antaranya adalah pelanggan asing, serta 15 perusahaan pergudangan dan 34 usaha jasa lainnya.

Sebagai salah satu pusat bisnis industri manufaktur, Cilincing juga dikenal dengan wilayah berpolusi tinggi. Dalam laporan Ventusky- sebuah perusahaan yang berfokus pada visualisasi data meteorologi (curah hujan, kecepatan angin, suhu, kualitas udara) secara realtime- selama seminggu terakhir, kualitas udara atau PM2.5 di Cilincing mencapai 348 mikrogram per meter kubik (µg/m3) pada jam 4 pagi- 9 Desember 2022.

Meski ada penurunan pada siang hari (65 µg/m3), bukan berarti kualitas udara di Cilincing bagus. Pasalnya, batas aman harian (24 jam) kualitas udara berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 15 µg/m3, sedangkan tahunan 5 µg/m3.

Pada 1 September 2022, data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat kualitas udara Jakarta mencapai 130 µg/m3. Angka itu masih kecil bila dibandingkan dengan kualitas udara 9 Desember di Cilincing.

Batas aman kualitas udara yang ditetapkan pemerintah berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 2021 untuk PM2.5 harian 55 µg/m3 dan tahunan 15 µg/m3. Sedangkan mutu udara bersih atau batas aman yang ditetapkan pemerintah pada kenyataannya tidak sesuai dengan standar WHO atau masih di bawah angka standar kesehatan yang diakui secara internasional.

Pola meningkat dan menurunnya polusi udara PM2.5 pada dini hari, siang dan malam terjadi selama enam hari ke depan- 15 Desember 2022. Jumlah itu di atas ambang batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Sementara itu, laporan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebutkan PM2.5 tiga tahun terakhir di atas ambang batas tahunan yang ditetapkan pemerintah pusat yakni 15 µg/m3. Pada 2019, PM 2.5 di Kelapa Gading mencapai 43 µg/m3, 2020 mencapai 33 µg/m3 dan 2021 mencapai 37 µg/m3.

Pada September 2021, WHO merilis pedoman kualitas udara terbaru. Pedoman itu merekomendasikan perubahan parameter kualitas udara, salah satunya partikulat atau debu halus PM2.5. Kadar PM2.5 harian (24 jam) misalnya menjadi 15 µg/m3 dari sebelumnya 25 µg/m3. Sedangkan untuk tahunan yang awalnya 10 µg/m3 menjadi 5 µg/m3.

PM2.5 memiliki lebar sekitar 2 sampai 1,5 mikron. Ukuran ini 30 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia. Itu berarti polusi udara di Jakarta Utara sudah jauh dari ambang batas aman yang ditetapkan WHO.

Polusi udara adalah salah satu yang diyakini sebagai faktor penyebab keguguran yang dialami Sari. Ia mengakui selama puluhan tahun bekerja tak pernah menggunakan masker sebagai pelindung diri, baik dalam perjalanan menuju pabrik maupun di dalam pabrik. Alhasil pada 2010, duka menyelimuti keluarga kecilnya yang baru dibangun empat bulan bersama suami.

"Saya keguguran," ucap Sari kepada Tirto, Kamis (8/12/2022)

Usia kehamilannya baru beranjak dua bulan atau trimester pertama pada saat mengalami keguguran. Ia sedih, hampa karena pertama kali hamil terus pendarahan dan keguguran. "Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan," ungkap Sari.

Dalam jurnal "Air Pollution-Induced Missed Abortion Risk for Pregnancies" yang dimuat di Nature Sustainability, disebutkan bahwa polusi udara yang tinggi dapat meningkatkan risiko keguguran, janin meninggal pada trimester pertama, prematur, berat badan bayi yang rendah, dan risiko kesehatan lain bagi perempuan hamil.

Penelitian ini dilakukan di Beijing dengan 255.668 responden perempuan yang mengandung pada rentang 2009-2017. Dari jumlah itu, sekitar 17.500 responden perempuan mengalami keguguran. Peneliti mempertimbangkan parameter kelompok umur, pekerjaan, dan suhu udara. Perempuan yang berusia lebih dari 39 tahun dan perempuan yang berprofesi sebagai petani atau buruh memiliki risiko keguguran lebih tinggi akibat paparan polusi udara.

Sari mengakui pada tahun itu, ia belum menyadari bahwa polusi udara baik di dalam ruangan maupun luar ruangan berdampak pada kesehatan janinnya. Bukan hanya dia, beberapa teman perempuan yang dia kenal mengalami kasus serupa: pendarahan, kista, iritasi mata, bayi lahir prematur dan penyakit di dalam rahim.

Selain harus mengalami keguguran, kata Sari, polusi udara punya dampak kesehatan lain baginya: iritasi mata dan paru-parunya kotor. Kalau sudah batuk terkadang dada terasa sesak.

Ia mengetahui kondisi parunya setelah melakukan pengecekan kesehatan yang diselenggarakan oleh perusahaan sekitar tiga tahun lalu. Ia disuruh dokter untuk mengecek lebih lanjut ke rumah sakit, tapi Sari enggan karena akan mengeluarkan biaya pribadi.

"Saya sering batuk juga. Kalau ke dokter mungkin perlu perawatan khusus karena kita orangnya ndablek. Sakit tetap juga dijabanin kerja," kata Sari. "Kalau buruh gak boleh sakit, kalau sakit enggak dapat duit."

Hal serupa juga dirasakan Ntin Handayani (29), seorang buruh KBN Cakung ketika melintasi Jalur Tengkorak. "Mata saya iritasi, memerah, kaya berair, perih gitu lah," kata Ntin setelah pulang kerja di kediamannya (28/11/2022).

Dengan wajah yang tampak lelah ia menyambut saya dan mengajak berbincang di Sekretariat Komunitas Nelayan Cilincing (Kunci), Jakarta Utara. Ia mengenakan sweater biru dengan rambut yang dikuncir kuda.

Pernah suatu hari ketika ia tengah mengendarai sepeda motor matanya kemasukan debu. "Waktu itu saya keliling, pas buka mata tiba-tiba sudah dekat sama kontainer. Kan jadi kaget. Ngeri banget," imbuhnya.

Sari juga pernah terancam nyawanya karena kecelakaan di jalur ini. Suatu hari, ketika sedang naik sepeda motor, sebuah angkot menyeruduknya dari belakang. Sari terlempar dari motornya hingga tiga meter. Motornya ringsek, dilindas angkot.

***

Apa yang dirasakan para pekerja perempuan itu memang benar adanya. Saya coba melintasi 'Jalur Tengkorak' pada siang hari dengan menggunakan sepeda motor.

Sekitar pukul 12.30 WIB (30/10), saya mengendarai sepeda motor dari lampu merah jalan baru hingga kawasan Marunda yang menjadi perbatasan dengan Bekasi. Di tengah terik matahari yang menyengat, kepulan debu berterbangan dari asap knalpot berbagai kendaraan, dari truk besar hingga kontainer. Asapnya berwarna abu-abu, bahkan banyak juga yang berwarna hitam pekat.

Di tengah jalan, ada pot-pot berisi tanaman pembatas jalan. Mereka seperti hidup enggan, mati pun tak bisa. Tak jauh dari tanaman yang tak punya gairah hidup itu, saya melihat ada dua perusahaan pasir besar yang lokasinya saling berseberangan. Pasir ditumpuk di sana, menyerupai gumuk. Kalau angin kencang, pasir berterbangan, menampar-nampar muka dan mencolok mata.

Kalau kendaraan besar melintas, pasir dan debu langsung berhamburan seperti pecahan proyektil. Kondisi ini bikin pandangan saya terbatas walau telah menggunakan masker dan kacamata. Partikel-partikel debu yang kecil tetap menyelip masuk ke mata dan menempel di wajah. Hal itu menambah rasa tak nyaman.

Ini seperti berjudi dengan maut. Polusi udara tebal menghalangi pandangan, sedangkan saya harus berbagi jalan dengan kendaraan besar. Lengah sedikit, nyawa bisa tumpas.

Saya juga menyaksikan banyak cerobong yang mengeluarkan asap hitam. Saya membayangkan kondisi London era Revolusi Industri. Era yang disebut sebagai The Great Stink and the Great Smog. Udara dipenuhi jelaga hitam beracun, seperti menjanjikan jalan kematian yang panjang dan menyiksa.

Cerobong yang saya lihat ini disebut-sebut sebagai corong penyumbang polusi debu batubara di Rusunawa Marunda.

Untuk mendekati cerobong tersebut, saya masuk ke kawasan Marunda Pulo yang mengalami banjir rob dan melintasi lokasi seperti rawa-rawa. Di sini terhampar eceng gondok serta pohon bakau.

Saya menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu bekas untuk menuju ke atas tanggul yang membendung air laut aliran sungai Blencong dengan Kampung Marunda Pulo. Setibanya di atas, terlihat kapal-kapal besar, tongkang batubara, PT. KCN, dan berbagai gedung perusahaan pasir.

"Cerobong itu yang kami duga sebagai pencemar debu batu bara," kata warga bernama Maman sambil menunjuk ke arah cerobong yang berjarak sekitar 250 meter dari lokasi kami berdiri.

Sekira 15 menit berada di sana, angin berubah arah menuju Marunda Pulo. Asap ikut berpindah ke arah kami. Dalam sekejap saja mata terasa perih, dan pernapasan tak nyaman.

Sebagai wartawan, saya pernah melintasi banyak jalan raya yang penuh dengan kendaraan besar dan kawasan industri. Namun di sini, di Jalur Tengkorak Cilincing, adalah salah satu jalan raya dengan polusi udara terparah yang selama ini saya rasakan.

Sumber Polusi di Jakarta

Awal Agustus lalu, Pietr Jakubowski, co-founder Nafas Indonesia mengatakan, faktor cuaca dan demografi mempengaruhi polusi udara yang ada di daerah manapun, termasuk Jakarta. Untuk menentukan sumber polusi, harus dijalankan penelitian source apportionment, yang menganalisis sisi kimia partikel PM2.5.

Ia menjelaskan, pihaknya belum menginvestigasi sumber polusi tersebut. Namun Vital Strategis, sebuah organisasi kesehatan global yang berdiri pada 2003 di New Delhi dan bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), melakukan penelitian sumber polusi udara di Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada musim hujan (Oktober 2018-Maret 2019) dan musim kemarau (Juli -September 2019) dengan pengambilan sampel di Gelora Bung Karno, Kebun Jeruk dan Lubang Buaya.

Infografik Indepth Polusi Udara di Jalur Tengkorak

Infografik Indepth Polusi Udara di Jalur Tengkorak. tirto.id/Ecun

Dalam dokumen penelitian berjudul "Menuju Udara Bersih Jakarta", ada tiga sumber pencemar utama yang memengaruhi kualitas udara Jakarta: transportasi, industri manufaktur, dan industri energi. Masing-masing sampel dianalisis komposisi kimianya untuk mengidentifikasi sumber utama polusi udara untuk setiap musim.

Kajian itu mengungkapkan sumber utama polusi udara di Jakarta berasal dari transportasi dengan menghasilkan polutan karbon monoksida-CO (96%), nitrogen oksida- NOx (72%), PM2.5 (67%), PM10 (57%) dan black carbon- BC (84%).

Sumber kedua adalah sektor industri manufaktur yang menghasilkan polutan SO2 (61%), PM2.5 (26%), PM10 (33%) dan BC (13%).

Sumber ketiga adalah sektor industri energi yang menghasilkan polutan sulfur dioksida- SO2 (25%), NOx (11%) dan CO (1,76%).

Egi Ginanjar Syuhada, analis kesehatan Vital Strategis mengatakan, lokasi sampel memang bisa mempengaruhi hasil temuan. Namun perlu diingat, ada banyak faktor yang turut memengaruhi hasil. Pertama bahan bakar yang digunakan oleh industri, kedua tingkat kepatuhan industri dalam membuang gas emisi hasil pembakaran/produksi, ketiga polutan di udara akan mudah dipengaruhi oleh faktor cuaca: curah hujan, angin, dan temperatur

Dalam laporan itu, kata Egi, industri peleburan, kimia, dan manufaktur merupakan sumber kedua polusi udara di Jakarta pada 2017, karena adanya 92 pabrik tekstil, 143 pabrik kimia, 64 pabrik peleburan, dan 42 pabrik keramik. Sementara itu, data terbaru 2021 jumlah industri manufaktur skala besar dan sedang di Provinsi DKI Jakarta kini sudah mencapai 1.628 perusahan yang tersebar di 5 wilayah kota.

"Terdapat 439 perusahaan/usaha (industri manufaktur skala besar dan menengah) di Kota Jakarta Utara, terbanyak kedua setelah Kota Jakarta Barat dengan 597 perusahaan," kata Egi kepada Tirto, Rabu (7/12/2022)

Temuan Tirto, dari 439 perusahaan manufaktur besar dan menengah di Jakarta Utara, 99 perusahaan di antaranya berada di Kecamatan Cilincing dengan luas 37 kilometer persegi. Bukan hanya itu, industri energi terbesar berada di Jakarta Utara; PLTGU Muara Karang-Pluit dengan kapasitas 2.100 Megawatt (MW) dan PLTGU Tanjung Priok dengan kapasitas 2.723 MW. Lokasi kedua pembangkit listrik dengan pemukiman warga hanya dibatasi dengan jalan raya.

Infografik Indepth Polusi Udara di Jalur Tengkorak

Infografik Indepth Polusi Udara di Jalur Tengkorak. tirto.id/Ecun

Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Kota Administrasi Jakarta Utara, Achmad Hariadi mengakui terdapat polusi udara dari sumber bergerak di kawasan 'Jalur Tengkorak' seperti truk besar, hingga kontainer melalui asap kendaraan. Lalu terdapat sumber tidak bergerak seperti cerobong milik perusahaan.

Achmad mengakui sudah mengambil langkah pengendalian polusi udara dengan melakukan uji emisi sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.

Dalam melaksanakan Pergub 66/2020, Sudin LH DKI bekerjasama dengan sejumlah bengkel dan pihak terkait untuk melakukan uji emisi.

"Biar masyarakat nanti nggak kaget pas Pergub 66 dilaksanakan ada sanksi dan sebagainya," kata Hariadi kepada Tirto di Kantor Sudin LH Jakarta Utara, Selasa (6/12/2022)

Ia mengaku Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI telah menerjunkan Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) di kawasan cerobong asap tersebut untuk memeriksa sejumlah cerobong tersebut. Hasilnya, ia mengklaim telah memenuhi baku mutu.

Namun sejak 13 Desember Tirto telah bersurat untuk meminta data kualitas udara di kawasan Kecamatan Cilincing, hingga saat ini Dinas LH DKI belum juga memberikan.

Apabila terdapat perusahaan yang mengeluarkan asap dari cerobong tak lolos dari baku mutu, Hariadi menyatakan Sudin LH Jakarta Utara tak akan segan memberikan sanksi.

"Misalnya 90 hari diberikan sanksi untuk melakukan perbaikan, pengelolaan lingkungan. Kalau tidak, izin akan dicabut seperti PT. KCN," tegas dia.

Hariadi menambahkan pihaknya sering melakukan penyiraman dan penyapuan dengan menggunakan mobil yang ada di Kecamatan Cilincing agar meminimalisir debu di 'Jalur Tengkorak'

"Ya itu, [Mobil sapu dan semprot] dilakukannya memang tidak boleh siang karena akan menimbulkan kemacetan parah. Jadinya rutin dilakukan malam hari," tuturnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan saat ini kawasan Rawa Malang, Cilincing sudah tidak ada lagi pembakaran arang. Lokasinya telah pindah di kawasan Banjir Kanal Timur (BKT) di daerah Jakarta Timur yang berbatasan dengan Bekasi, Jawa Barat. Kendati demikian, ia mengaku asap masih terbang ke kawasan Jakarta Utara.

"Karena beda wilayah administratif, kami sifatnya hanya mengimbau saja agar tidak dilakukan pembakaran arang," tuturnya.

Ia juga mengatakan bahwa pihaknya tengah melakukan pengujian baku mutu emisi pada 13 perusahaan, yaitu:

PT Asianagro Agung Jaya, PT Dua Kuda Indonesia, PT Bina Karya Prima, PT Sari Dumai Oleo, PT Asianpalm Oleo Jaya, PT Kan Isotank Mandiri, PT Top Sky Multi Industries, PT Makalot Industrial Indonesia, PT Kyung Seung Trading Indonesia, PT Kaho Indah Citra Garment, PT Vision Land, dan PT Tainan Enterprises Indonesia.

"Sudah ada 13 perusahaan dengan 20 cerobong. Ada 15 cerobong yang sudah kami cek, dan memenuhi baku mutu," klaim Achmad saat ditemui Tirto di ruangan kerjanya, Selasa (6/12/2022).

Klaim Achmad kontradiktif dengan laporan Dinas Lingkungan DKI Jakarta, sebab dari tiga cerobong boiler yang menggunakan bahan bakar batu bara milik PT Dua Kuda Indonesia, dua di antaranya melebihi batas baku mutu SO2;750 mg/m3 dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 7/2007.

Polusi udara lainnya berasal dari bongkar muat batu bara dan pasir di pelabuhan Marunda. Sebelumnya, pada April 2022, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjatuhkan sanksi administratif ke PT Hutama Sarana Dhianarta (HSD) dan PT Persada Batarindo Industri (PBI) karena tidak mengelola lingkungan dengan baik.

Dua bulan kemudian atau tepatnya Juni 2022, giliran PT Karya Citra Nusantara (KCN) dicabut izin lingkungan kegiatan bongkar muat oleh pemerintah DKI Jakarta, buntut dari polusi debu batu bara di Marunda.

“Perusahaan bongkar muat selain PT KCN, ada PT HSD dan PT PBI. Itu perusahaan bongkar muat batu bara dan pasir. Jadi mereka harus taat terhadap pengelolaan lingkungan yang ada di dokumen,” kata Achmad

Catatan Tirto, memang ada aktivitas bongkar muat di Sungai Blencong. Pada 26 Desember 2022, sebuah tongkang batu bara masuk ke Sungai Blencong pukul 15.41 WIB. Jika dilihat dari citra satelit Zoom Earth, jarak bongkar muat batu bara dengan STIP sekitar 250 meter, lalu dengan Jalan Raya Marunda Makmur 435 meter. Bahkan bongkar muat batu bara JUGA terjadi di Marunda Center Terminal.

“Fakta masyarakat masih merasakan adanya (debu batu bara) ketika angin kencang dari angin barat, itu terasa hembusan debunya sampe ke warga. Kami juga melakukan komunikasi dengan masyarakat dan perusahaan; KCN dll. Kita harapkan juga jangan sampai ada dampak kesehatan,” tutur Achmad.

Segala aktivitas pabrik, bongkar muat batu bara, dan lalu lalang kendaraan bermotor membuat udara Jakarta Utara konsisten buruk. Pada Agustus 2020, laporan Nafas Indonesia menunjukkan rerata kualitas udara Jakarta Utara adalah 40 mikrogram per meter kubik (µg/m3). Pada bulan yang sama, rerata kualitas udara atau PM2.5 di Kelapa Gading Barat mencapai 45 µg/m3, Pegangsaan Dua 44 µg/m3 dan Marunda 43 µg/m3. Artinya 2 kali melewati ambang batas aman yang ditetapkan WHO.

Bukan hanya itu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebutkan hari dengan kualitas udara yang tidak sehat meningkat beberapa tahun terakhir. Pada 2016, kualitas udara tidak sehat mencapai 93 hari dan menjadi 110 hari tahun 2017.

Pada 2018, hari dengan status tidak sehat meningkat dua kali lipat menjadi 187 hari dibandingkan dua tahun sebelumnya. Pada 2019, hari dengan status tidak sehat menurun menjadi 183 hari dan 2020 menjadi 90 hari.

Jenis Partikel dan Dampak Kesehatan

Berbagai polutan memiliki dampak kesehatan bagi warga yang terpapar polusi udara. Namun yang patut dipantau dan dikurangi adalah PM2.5 karena dapat menyebabkan kematian dan memperburuk penyakit. Selain terbukti memperburuk penyakit jantung, pernapasan, paru kronis, kanker dan diabetes, polutan ini menyebabkan keguguran pada ibu hamil dan melahirkan secara prematur.

Polutan berbahaya lain adalah Ozon (O3), polutan sekunder skala regional yang saat ini menyebabkan sekitar seperenam dari total kematian akibat PM2.5 Nitrogen dioksida (NO2). Ia juga indikasi yang sangat berguna untuk polusi udara yang berhubungan dengan kendaraan, dan merupakan faktor risiko perkembangan penyakit asma dan polutan yang terlibat dalam pembentukan O3.

Pemantauan Sulfur dioksida (SO2) berguna terutama untuk sumber polusi yang menggunakan batu bara dan pembakaran minyak dengan kandungan sulfur tinggi, yang juga berkontribusi pada pembentukan PM2.5.

Karbon monoksida (CO) adalah gas yang dihasilkan dari pembakaran yang berkontribusi pada penyakit kardiovaskular.

Selanjutnya ada Black carbon (BC) yang merupakan partikel kecil (PM ≤ 2,5) hasil pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil, biofuel dan biomassa. Selain berpengaruh terhadap kesehatan, BC memiliki pengaruh terhadap perubahan iklim. Sumber BC adalah antropogenik, termasuk pembakaran biomassa, kendaraan bermotor serta sumber industri seperti pembakaran batu bara.

Feni Fitriani, dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan, bahwa polusi udara ada yang mengeluarkan gas dan partikel. Jika gas, ia bisa menimbulkan iritasi, sedangkan partikel bisa mengganggu saluran napas. Menurutnya, PM2.5 sangat halus, bisa tak terasa bila masuk ke saluran napas.

Ia menjelaskan bahwa polusi udara ada yang akut dan kronis. Polusi udara akut akan menyebabkan rasa tidak nyaman di mata dan di hidung. Debu asap yang sifatnya iritatif membuat mata perih, hidung berair, dan tenggorokan perih sehingga membuat ingin batuk. Kondisi ini berlangsung cepat dan tiba-tiba.

Sedangkan kronis, penyakit yang sudah diderita dalam waktu lama, bahkan bertahun-tahun. Paru misalnya, organ pertama yang terpapar polusi udara. Bila paparan itu terus berulang maka akan mengganggu fungsi paru dan merembet ke organ lain karena partikel polutan bisa masuk ke otak melalui pembuluh darah. Bahkan sistem jantung bisa terganggu.

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 di Jakarta Utara, prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebesar 9,96 persen (Dari 100 orang, 10 di antaranya berpotensi terkena ISPA).

Laporan BPS DKI Jakarta 2018, warga yang mengidap penyakit pneumonia mencapai 14.629 kasus, 1.926 kasus diantaranya berada di Jakarta Utara (Jakut). Kasus pneumonia meningkat hampir empat kali lipat pada 2019 dengan 57.521 kasus, 9.126 kasus diantaranya berada di Jakut. Pada 2020 warga yang mengidap pneumonia menurun menjadi 29.156 dan 4.438 kasus diantaranya di Jakut.

"Ini harus juga jadi perhatian. Hanya saja kita negara berkembang, lebih fokus ke penyakit infeksi, TBC, covid dll. Polusi udara ini harus jadi perhatian pemerintah," kata Feni, (8/12/2022).

Spesialis Paru di RSUP Persahabatan ini menambahkan, polusi udara sangat mudah berpengaruh kepada kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, dan balita. Bagi perempuan pekerja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, dengan kondisi hamil tentu lebih berisiko terhadap kesehatannya.

Para peneliti kemudian membandingkan angka-angka ini dengan tingkat paparan perempuan hamil terhadap empat polutan udara utama: PM2.5, sulfur dioksida, ozon, dan karbon monoksida. Pada penelitian sebelumnya ditegaskan, partikel polutan halus dapat menembus plasenta pada perempuan hamil yang terpapar polusi udara dalam jangka lama dan memengaruhi kesehatan si janin.

Guru Besar Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Budi Haryanto mengatakan, ibu yang melahirkan anak prematur atau ibu yang keguguran kemungkinan besar akibat senyawa logam berat yang masuk ke dalam tubuhnya.

“Memang bisa dipindahin (senyawa logam berat) dari ibunya ke janin waktu ibunya hamil,” kata Budi kepada Tirto, Selasa malam (27/12/2022).

Selain lahir prematur, logam berat bisa menyebabkan autis pada anak-anak. Di Tangerang, contohnya, anak usia 1-3 tahun di dalam sampel darahnya terkandung logam berat. Sayangnya, lanjut epidemiologi pencemaran udara dan surveilans kesehatan lingkungan UI ini, yang sulit dilihat adalah senyawa logam berat ini berasal dari polusi udara atau makanan.

Permasalahan polutan lain adalah kesehatan mata. Bagi sebagian warga, permasalah ini dianggap biasa saja akan tetapi penelitian Suh-Hang Hank Juo beserta rekan-rekannya dari Pusat Miopia dan Penyakit Mata di China Medical University, Taiwan melaporkan bahwa dua polutan udara, nitrogen dioksida (NO2) dan karbon monoksida (CO), sangat berkaitan dengan risiko penurunan fungsi retina warga yang terpapar polutan.

Dalam penelitian berjudul "Traffic-Related Air Pollutants Increase the Risk for Age-Related Macular Degeneration", fungsi retina menurun dan selnya rusak akibat terpapar dua polutan tersebut secara terus-menerus. Maka yang terjadi selanjutnya adalah penglihatan buram. Bahkan beberapa kasus, orang yang mengalaminya bisa kehilangan penglihatannya alias buta.

Dengan berbagai dampak kesehatan akibat polusi udara, baik Sari, Emi, Ntin, dan ribuan orang lain yang melintasi jalur ini memiliki berbagai risiko yang harus dihadapi ke depannya. Posisi mereka rentan, serba salah, dan terjepit. Di satu sisi, polusi udara amat membahayakan bagi kesehatannya dalam jangka panjang. Namun di sisi lain, para pekerja perempuan ini terpaksa harus menggadaikan kesehatannya demi keberlangsungan hidup keluarga.

"Perbedaan jelas pas belum jadi ojol masih biasa masih normal. Pas sekarang saya harus melotot dan mastiin ngeliat jalan. Apalagi sulit pas lihat alamat, nggak jelas,” kata Emi “Aku belum memeriksa kondisi mata karena butuh biaya lagi kalau periksa. Mending buat bayar sekolah anak dan makan.”

==========================

Liputan ini merupakan hasil kelas belajar polusi udara di Jakarta. Tim Tirto berhasil menjadi 12 finalis terpilih dan mendapatkan grant dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN).

Baca juga artikel terkait POLUSI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat & Riyan Setiawan
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nuran Wibisono