Menuju konten utama

Penyebab Saratoga Rugi Rp6,19 T: Faktor Politik atau Murni Bisnis?

Tagar #SaratogaDown ramai di media sosial usai Saratoga Investama mencatat kerugian sebesar Rp6,19 triliun pada 2018.

Penyebab Saratoga Rugi Rp6,19 T: Faktor Politik atau Murni Bisnis?
Presiden Direktur PT Saratoga Investama Sedaya Tbk Michael W.P.Soeryadjaya (kedua kiri) bersama Direktur Keuangan Jerry Ngo (kiri), Komisaris Joyce Kerr (tengah), Presiden Komisaris Edwin Soeryadjaya (ketiga kanan), Komisaris Indra Cahya Uno (kedua kanan) dan Direktur Portofolio, Andi Esfandiari (kanan) berbincang usai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) di Jakarta, Selasa (26/4). ANTARA FOTO/Audy Alwi

tirto.id - Tanda pagar #SaratogaDown menghiasi media sosial usai PT Saratoga Investama Sedaya Tbk mencatat kerugian sebesar Rp6,19 triliun pada 2018. Padahal tahun sebelumnya perusahaan dengan emiten berkode SRTG itu mencatatkan laba Rp3,27 triliun.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, pangkal kerugian adalah hasil investasi pada efek ekuitas SRTG yang merugi hingga Rp7,25 triliun. Sebagai perbandingan, Saratoga membukukan keuntungan investasi di efek ekuitas pada 2017 sebesar Rp2,36 triliun.

Hal itu sontak menjadi ramai di media sosial karena dikaitkan dengan Sandiaga Uno. Sebab, cawapres nomor urut 02 itu per 11 Desember 2018 tercatat memiliki saham sebesar 22,62 persen di Saratoga Investama.

Kinerja perusahaan investasi itu pun dikaitkan dengan kepemimpinan Sandiaga yang maju sebagai cawapres pada Pilpres 2019. Salah satunya adalah Fadjroel Rachman, pendukung pasangan calon Jokowi-Ma'ruf yang juga komisaris PT Adhi Karya (Persero) Tbk.

Dalam akun Twitter ia menulis “memang tidak mudah mengurus korporasi, apalagi mengurus negara sebesar Indonesia, hmm #SaratogaDown,” demikian twit dia yang diunggah di @fadjroeL, pada 27 Maret 2019.

Twit serupa juga diunggah akun @NunoSihombing. Ia bahkan menulis “#SandiwaraUno sdh habis Rp1,4 T cm buat sosialisasi dirinya sbg cawapres. 1/3 dr total asset-nya. Lalu ente pikir itu gratis? Tidak semudah itu, Kampretooo,” demikian bunyi cuitannya. Dan skrg bisnisnya babak-belur. Yakin mau ngasi negeri ini kpd duo org bangkrut??”

Namun, apakah kerugian yang dialami Saratoga itu karena faktor kepemimpinan Sandiaga (faktor politik) atau murni karena bisnis?

Analis pasar modal Satrio Utomo menilai kerugian yang dialami Saratoga Investama bukan disebabkan faktor politik. Sebab, kata dia, pengelolaan perusahaan investasi itu telah diserahkan ke para profesional yang berada di jajaran manajemen.

Menurut Satrio, sentimen pasar terhadap sosok Sandiaga Uno sebagai salah satu pendiri perusahaan Saratoga itu memang dapat memengaruhi kinerja emiten berkode SRTG. Namun, kata Satrio, efeknya tidak akan terlalu signifikan.

“Yang jelas dia sudah menyerahkan itu [Saratoga] ke profesional. Jadi semua catatan yang muncul dari laporan keuangan itu lepas dari faktor sosok Sandiaga," kata Satrio saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (28/3/2019).

Sementara Kepala Riset PT Koneksi Kapital, Alfred Nainggolan menyebut pencatatan kerugian yang dialami Saratoga adalah hal yang wajar mengingat fokus bisnis emiten tersebut adalah investasi portofolio. Alasannya, kerugian Rp6,19 triliun itu adalah unrealized loss atau kerugian yang belum terealisasi.

Karena itu, menurut Alfred, keuntungan Saratoga bisa ter-recovery bila harga saham dua emiten yang jadi anak usahanya, yakni PT Adaro Energy Tbk dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk kembali membaik.

“Adaro dan Tower Bersama kinerja-nya memang mengalami penurunan. Ada pengaruh makro ya tentu, karena IHSG mengalami penurunan di 2018. Tapi yang dialami Saratoga rata-rata dialami oleh perusahaan investasi lainnya," ujar Alfred saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (28/3/2019).

Berbeda dengan perusahaan manufaktur, kata Alfred, pertumbuhan pendapatan investasi Saratoga akan bergantung pada perubahan harga saham dari perusahaan-perusahaan investasi di bursa efek.

“Jadi rugi di situ adalah rugi catatan, artinya belum terealisasi. TBIG, misalnya harga saham di 2018 dari Rp6.000 ke Rp4.000, jadi nilai investasinya mengalami penurunan per 31 Desember 2018. Katakanlah kalau di 2019 naik ke level Rp6.000 lagi, maka sudah pasti memperoleh laba kembali dalam pencatatan,” kata dia.

Alfred juga memprediksi kinerja emiten yang dikelola Saratoga bakal membaik pada tahun ini. Pada Kamis siang, per pukul 14.50, saham TBIG masih bergerak ke level Rp3.930, turun 70 poin atau 1,74 persen dibandingkan harga penutupan hari sebelumnya.

“Tahun 2018, kan, harganya itu kalau enggak salah ada di Rp3.600-an. Sekarang saja sudah di angka Rp4.000 sampai di bulan kedua ini, sudah naik 10 persen. Tahun ini kami punya prediksi kalau TBIG bisa recovery," ucap dia.

Sementara saham Adaro bergerak di level Rp1.340 pada jam pukul 15.57 WIB --turun 5 poin atau 0,37 persen dibandingkan penutupan pada siang hari tadi.

“Adaro juga cukup bagus. Rata-rata memang ini perusahaan bagus, artinya punya fundamental yang bagus. Tapi, kan, enggak semua perusahaan mengalami pengembangan yang bagus terus. Kalau tahun depan mungkin, karena tahun ini juga harga batu bara menunjukkan prospek yang baik,” kata dia.

Respons Manajemen Saratoga

Saratoga sebenarnya membukukan pendapatan senilai Rp900 miliar dari perusahaan investasinya. Presiden Direktur Saratoga Michael Soeryadjaya mengatakan, pencapaian ini menjadi bukti kuatnya fundamental perusahaan investasi SRTG di tengah kondisi perekonomian yang sangat dinamis pada 2018.

Michael mengatakan, kinerja perusahaan pada 2018 menggambarkan bahwa strategi investasi yang dilakukan oleh Saratoga mampu menghasilkan hasil investasi yang optimal.

Secara fundamental, kata Michael, perusahaan-perusahaan investasi Saratoga juga tumbuh secara positif dan terus meningkatkan nilai tambah perusahaan melalui strategi pertumbuhan organik dan non-organik.

“Kami bangga dengan kinerja perusahaan investasi kami di tengah tantangan bisnis yang sangat dinamis pada 2018. Disiplin dan kehati-hatian dari tim investasi kami merupakan kunci keberhasilan Saratoga dalam mencapai pengembalian investasi yang optimal,” kata Michael dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (27/3/2019).

Terkait kerugian sebesar Rp6,19 triliun, Michael menegaskan itu merupakan rugi buku yang belum direalisasi. Kerugian terjadi akibat volatilitas harga saham sejumlah perusahaan investasi serta kenaikan suku bunga, fluktuasi harga komoditas dan melemahnya mata uang yang terjadi sepanjang 2018.

“Kerugian itu sebagai dampak penerapan mark to market sejak 2017. Ini adalah rugi buku yang belum direalisasi,” kata dia menegaskan.

Sebagai perusahaan investasi aktif, kinerja Saratoga memang sangat dipengaruhi oleh perusahaan investasi. Hal ini menjadi hal biasa bila nilai investasinya turun ketika perekonomian bergejolak, seperti yang terjadi pada 2018.

“Dari waktu ke waktu, kondisi ini normal terjadi di pasar untuk melalui berbagai tahap volatilitas dan sebagai investor jangka panjang, kami tetap percaya diri pada prospek perusahaan investasi. Kami juga yakin bahwa harga saham pada akhirnya akan mampu menyamai fundamental perusahaan,” kata Michael.

Baca juga artikel terkait SAHAM SARATOGA atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz