tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Freeport Indonesia akhinya bersepakat bahwa batas maksimal lama perundingan mengenai polemik izin ekspor konsentrat perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu selama enam bulan atau 180 hari.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Teguh Pamudji mengatakan sebelumnya Freeport memang menuntut masa terlama untuk negosiasi tersebut hanya 120 hari. Alasan Freeport hal itu berdasarkan ketentuan Kontrak Karya (KK) yang berlaku yakni pada Pasal 21 angka 2.
Akan tetapi, pemerintah menolaknya dan kemudian meminta batas waktu negosiasi itu lebih panjang, yaitu enam bulan.
"Kami kasih waktu enam bulan. Freeport kasih waktu 120 hari karena berdasarkan ketentuan Kontrak Karya Pasal 21 angka 2. Tetapi yang kita sepakati enam bulan untuk mencari penyelesaian," kata Teguh di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, pada Rabu (8/3/2017) sebagaimana dilansir Antara.
Teguh menjelaskan hingga kini belum ada kesepakatan antara pemerintah dan PT Freeport. Pada 27 Februari 2017 lalu, menurut Teguh, perusahaan itu sempat mengusulkan konsep penyelesaian sengketa dengan pemerintah yang belum disahkan secara resmi.
Meski tidak mau menyampaikan lebih jauh tentang konsep penawaran Freeport itu, Teguh menjelaskan pemerintah juga memiliki konsep yang terdiri dari dua pilihan penyelesaian.
"Kami memberikan konsep yang sama. Ini yang akan terus kami bahas. Intinya ada dua, penyelesaian jangka pendek dan jangka panjang," kata Teguh.
Pada Rabu sore, Kementerian ESDM menggelar pertemuan dengan PT Freeport yang diwakili oleh Director and Executive Vice President Freeport, Clementino Lamury dan Tony Wenas. Teguh mengungkapkan Tony Wenas yang sebelumnya sudah disebut-sebut menggantikan Chappy Hakim, tercatat dalam kartu namanya sebagai Presiden Direktur Freeport.
"Pak Tony Wenas itu dari kartu yang disampaikan ke saya, Executive Director (Freeport)," kata Teguh.
Seperti diketahui, Kementerian ESDM dan Freeport sedang berunding terkait penerbitan izin ekspor konsentratnya. Izin itu bisa dikeluarkan oleh pemerintah bila Freeport mau mengubah status perizinannya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan itu juga akan diikuti dengan divestasi saham Freeport hingga 51 persen.
Pihak Freeport sempat menolak tawaran itu dan mengancam akan menggugat Indonesia ke Arbitrase Internasional. Ancaman itu hingga kini tak terealisasi.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom