Menuju konten utama

Pemecatan Kru Suara USU: Intervensi Rektorat Atas Produk Persma

Keputusan rektor USU yang memecat seluruh kru Suara USU karena "cerpen LGBT" mendapat kecaman dari sejumlah pers mahasiswa, LBH Pers, hingga AJI Indonesia.

Pemecatan Kru Suara USU: Intervensi Rektorat Atas Produk Persma
Ilustrasi LGBT. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kasus publikasi "cerpen LGBT" yang dirilis pers mahasiswa (persma) Suara USU, Universitas Sumatera Utara memasuki babak baru. Setelah kampus sempat mensuspensi laman suarausu.co, rekrorat juga memecat semua kru dari kepengurusan pers kampus tersebut.

Pemimpin Umum Suara USU Yael Stefani Sinaga mengatakan, dirinya dan enam belas anggota redaksi Suara USU dipanggil rektorat, Senin pagi, 25 Maret 2019. Keputusan rektor hari itu adalah memberhentikan seluruh kepengurusan Suara USU yang sedang berjalan dan memecatnya sebagai anggota persma.

Pemecatan itu diakui Rektor USU, Runtung Sitepu saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (26/3/2019). Namun, kata dia, Suara USU tidak dibekukan dan akan merekrut anggota baru.

"17 orang ini mencoreng nama USU. Oleh karena itu secepatnya kami pecat, kami bentuk panitia, dan merekrut anggota baru. Awalnya mau saya bubarkan, tapi saya berpikir dan sadar Suara USU memiliki banyak alumni yang bagus," kata Runtung.

Runtung menambahkan "saya tidak menjatuhkan sanksi akademik ke anggota-anggota redaksi. Dan juga tidak membubarkan redaksi Suara USU. Ini untuk kepentingan Suara USU ke depannya. Ini amanah sebagai rektor."

Dikecam Sesama Pers Mahasiswa

Namun, keputusan Runtung dinilai menjadi preseden buruk bagi pers mahasiswa. Beberapa pegiat pers mahasiswa pun mengecam tindakan Runtung yang memecat seluruh kru Suara USU hanya karena "cerpen LGBT."

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bahkan melalui akun media sosialnya menganggap kebijakan yang diambil Runtung tidak mencerminkan kebebasan mimbar akademik. Menurut PPMI, Rekrot USU seharusnya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi di kampus.

PPMI menilai tindakan Runtung tidak didasari telaah akademis yang harusnya dilakukan di ranah universitas, melainkan hanya atas dasar tuduhan semata.

Hal serupa juga diutarakan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ). Koordinator FPMJ Faisal Bachri mengatakan bentuk represif apa pun dari institusi perguruan tinggi ke pers mahasiswa tidak boleh dibiarkan, apalagi dalam ranah kebebasan berpendapat.

Bachri menilai Runtung terlalu reaksioner dan tidak demokratis sebagai rektor.

"Padahal tulisan yang demikian harusnya dianggap wajar karena merupakan perwujudan keresahan penulis melihat diskriminasi minoritas seksual," kata pegiat pers mahasiswa Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tersebut kepada wartawan Tirto, Selasa (26/3/2019).

Oleh karena itu, Bachri berkata, Runtung harus segera menarik kembali surat keputusan pemecatan anggota Suara USU dan segera meminta maaf kepada redaksi Suara USU atas tindakannya yang gegabah, tidak demokratis, dan tidak akademis.

Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan menyesalkan tindakan rektor yang memecat para anggota redaksi Suara USU. Ia menilai hal itu menjadi paradoks karena terjadi di lingkungan kampus yang seharusnya menjunjung kebebasan berekspresi dan mimbar akademis.

"Agak memprihatinkan sikap rektor seperti itu, yang menyelesaikan ketidaksetujuan terhadap konten persma dengan cara memecat. Karena ini agak ironis dilakukan oleh lembaga akademis," kata Manan.

Manan mengatakan dirinya telah membaca cerpen Suara USU yang dipermasalahkan Runtung. Menurut Manan, cerpen itu masih dalam batas kepantasan.

"Tidak vulgar. Tudingan bahwa cerpen berbau pornografi sangat berlebihan. Kalau mengatakan pornografi, sama saja cerpen itu disandingkan dengan karya Enny Arrow. Lembaga akademis harusnya memberikan toleransi lebih besar. Kalau karya Enny Arrow dimuat di USU, baru kita bisa tak terima," kata Manan.

Namun, kata Manan, karena persma tidak masuk dalam kategorisasi pers dalam UU Pers, maka yang hanya bisa dilakukan oleh anggota redaksi Suara USU adalah mempertanyakan kebijakan rektor dan menguji hak mereka sebagai mahasiswa dan organisasi di kampus.

"Apa dengan cerpen seperti itu mereka layak dipecat? Standarisasinya apa? Ini juga menjadi momentum untuk membangun konsensus terhadap batas-batas mana saja yang diperbolehkan dan tidak. Kalau tidak, jika hanya mengkritik toilet kotor, [maka] nanti pemred bisa dipecat," kata Manan.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin berpendapat serupa. Ia mengatakan tindakan rektor adalah intervensi pihak luar terhadap ruang redaksi yang terlalu jauh. Bahkan, kata Ade, lebih jauh lagi bisa saja dianggap sebagai sensor atas Suara USU itu sendiri.

"Hal seperti itu menurut saya tidak baik untuk iklim kebebasan pers di Indonesia, khususnya pers kampus. Efek ke depannya jika hal ini dianggap lumrah oleh publik atau kampus, maka kita akan melihat kasus-kasus serupa untuk pers-pers kampus yang diintervensi rektorat," kata Ade.

Menurut Ade, pers mahasiswa adalah salah satu investasi berharga untuk kemajuan kebebasan pers di Indonesia di masa depan.

Ade bahkan menilai pers mahasiswa saat ini sebagai media independen yang mempunyai ruang gerak tanpa terikat kepentingan lain, seperti bisnis dan politik praktis.

"Sehingga banyak yang berharap persma menjadi salah satu pelopor pers yang berkualitas. Kalau memang pihak kampus peduli akan kemajuan kebebasan pers di Indonesia, di masa ini, dan yang akan datang, maka gaya-gaya intervensi dan sensor harus dihindarkan oleh pihak kampus," kata Ade.

Ade mengatakan, jika redaksi Suara USU yakin dengan produk jurnalistiknya, maka segala upaya harus dilakukan untuk mempertahankannya.

"Kasus ini akan berakhir baik atau tidak baik, tergantung dari teman-teman di Suara USU. Saya masih yakin di luar sana akan banyak yang membela dan mendukung Suara USU pada saat Suara USU mempertahankan produk jurnalistiknya," kata Ade.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz