Menuju konten utama
18 April 1955

Pelayanan Seksual Komite Ramah-tamah Konferensi Asia-Afrika

Tak ada yang bertanggung jawab atas kehadiran hospitality committee pada Konferensi Asia-Afrika. Semua pembesar cuci tangan.

Pelayanan Seksual Komite Ramah-tamah Konferensi Asia-Afrika
Header Mozaik Hospitality Committe. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dua minggu sebelum Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar di Bandung, terdengar desas-desus yang kurang mengenakkan mengenai hospitality committee yang disiapkan bagi para delegasi. Pada 8 April 1955, Nyonya Kartowijono, Ketua Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) mengirimkan surat kepada Ema Soemanagara (anggota Perwari cabang Bandung) yang duduk sebagai sub-panitia pembantu bagian wanita dalam KAA. Ia mempertanyakan isu tersebut.

Esoknya, Nyonya Kartowijono membahas hal ini dalam siaran di Radio Republik Indonesia (RRI) yang kemudian dirangkum oleh surat kabar Indonesia Raya edisi 5 Mei 1955. Menurutnya, hospitality committee memang sesuatu yang wajar di dunia Barat, tapi panitia tidak perlu menirunya. Lebih dari itu, ia berdoa agar para perempuan di Bandung senantiasa berada dalam perlindungan Allah dan turut berpartisipasi menyukseskan KAA.

Pada 12 April 1955 balasan yang ditunggu oleh Nyonya Kartowijono datang. Ema Soemanagara dari Bandung menjawab bahwa ia tidak mengetahui dan tidak mendengar desas-desus tersebut.

Hospitality committee adalah komite ramah-tamah. Namun yang menjadi masalah dalam konteks ini ramah-tamah yang dimaksud merujuk pada ranah seksualitas. Ia menjadi bagian “tidak langsung” dari KAA yang dihelat pada 18 hingga 24 April 1955.

Komite Mesum

Dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia Jilid 2 (2009), Rosihan Anwar menyebutkan secuil informasi soal hospitality committee, ia mengistilahkannya sebagai lady’s escort atau kumpulan perempuan yang menemani delegasi di waktu santai dan istirahat.

Namun, hospitality committee sebetulnya memiliki makna yang lebih jauh daripada lady’s escort yang dimaksud oleh Rosihan Anwar. Penelusuran yang dilakukan oleh Indonesia Raya yang dipublikasikan pada 4 Mei 1955 menemukan fakta bahwa hospitality committee adalah kumpulan perempuan yang melayani kebutuhan seksual para delegasi.

Para perempuan yang menjadi bagian dari komite tersebut ialah para pekerja seks yang berasal dari Gang Siti Monigar dan Astana Anjar, Bandung. Mereka dikumpulkan, salah satunya di Hotel Telaga Sari, dekat Villa Isola di jalan menuju Lembang.

Apabila ingin mengakses fasilitas hospitality committee, para delegasi dapat menggunakan kartu khusus yang diberikan oleh panitia untuk “membuka pintu kamar” dari perempuan yang disukainya. Di dalam kartu itu tertulis: “Hand this ticket over to the one you like. If not ‘used’ please return this to the hospitality committee.”

Selanjutnya, Indonesia Raya dalam publikasi yang sama menuliskan bahwa pihak redaksi sengaja menutupi nomor dari tiket yang ditampilkan untuk melindungi sumber redaksi. Tetapi, mereka bersaksi bahwa nomor yang mereka lihat lebih dari 100 untuk kartu yang bertanggal 22 April 1955. Artinya, dalam empat hari sudah lebih dari 100 kartu yang dikeluarkan dan sebanyak itu pula orang yang telah mengakses fasilitas tersebut.

Tarif atau penghasilan seorang PSK yang berada di hospitality committee bervariasi. Mulai dari 200, 500, sampai 1.000 rupiah untuk sekali “servis”. Bahkan seorang anggota delegasi dari sebuah negara Timur Tengah bercerita kepada Indonesia Raya bahwa ia membayar sampai 200 dollar.

Cuci Tangan

Tidak ada yang mau bertanggung jawab atas hal ini. Tidak ada satupun pihak yang bersedia mengaku sebagai dalang di balik hospitality committee. Gubernur Jawa Barat, Sanusi Hardjadinata mengatakan dirinya tidak mengetahui soal komite ramah tamah tersebut. Bahkan, ia menyatakan kepada jurnalis Indonesia Raya (6 Mei 1955) bahwa kabar tentang hospitality committee terlalu berlebihan atau dibesar-besarkan.

Senada dengan Gubernur Jawa Barat, Perdana Menteri Ali dan kabinetnya juga mengaku tidak tahu-menahu perihal hospitality committee. Indonesia Raya terbitan 7 Mei 1955 mempertanyakannya dengan keras:

“Bagaimana mungkin pembesar2 pemerintah tidak tahu menahu tentang kerdja hospitality committee ini? Bukankah untuk memborong hotel dan rumah2 tempat mengumpulkan wanita2 itu perlu izin2 dan pengetahuan panitia2 jang ikut menyelenggarakan konperensi Asia-Afrika, baik dari joint-sekretariat maupun dari panitia lokal?”

Infografik Mozaik Hospitality Committe

Infografik Mozaik Hospitality Committe. tirto.id/Sabit
Aksi cuci tangan yang dilakukan oleh berbagai pihak memicu reaksi dari beberapa organisasi masyarakat. Rapat besar organisasi-organisasi pemuda dan pelajar Indonesia pada 18 Mei 1955 di Gedung Pemuda Jakarta sepakat untuk menyingkap tabir hospitality committee. Mereka membentuk Panitia Pembuktian Hospitality Committee yang bertugas untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk disampaikan kepada pemerintah. Anggota panitia terdiri dari Angkatan Muda Islam, Persatuan Pemuda Kristen Indonesia, dan Gerakan Pemuda Pelopor.

Reaksi lain datang dari Front Islam Indonesia Pusat di Sumatra Tengah yang menyatakan pemerintah sebagai pihak yang lepas tanggung jawab. Lebih dari itu, dinyatakan bahwa hospitality committee kabarnya justru dilindungi oleh kepolisian Indonesia sehingga tidak dapat diungkap kebenarannya (Indonesia Raya 1 Juni 1955).

Atas dasal ini pula Perwari Pusat menulis surat kepada Nyonya Kamarga selaku Ketua Perwari Bandung untuk menyelediki komite yang menggemparkan itu. Segala sesuatu yang sudah terlanjur terjadi, Nyonya Kartowijono selaku Ketua Perwari Pusat menyatakan penyesalannya. Ia toh sudah berusaha mencegah keberadaan komite itu ketika masih menjadi desas-desus. Ia menyatakan akan membawa permasalahan hospitality committee ke hadapan Kongres Kesusilaan yang diadakan di Jakarta pada 1-3 Juni 1955.

Baca juga artikel terkait KONFERENSI ASIA AFRIKA atau tulisan lainnya dari Pratika Rizki Dewi

tirto.id - Politik
Kontributor: Pratika Rizki Dewi
Penulis: Pratika Rizki Dewi
Editor: Irfan Teguh Pribadi