tirto.id - Setelah Donald Trump diumumkan sebagai pemenang pemilu di Amerika Serikat pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia langsung terdepresiasi cukup tajam. Nilai tukar rupiah yang tadinya sudah menembus level sekitar 12,000 per dollar, terdepresiasi ke kisaran 13,000 per USD. Alhasil, indeks harga saham gabungan pun ikut terjun bebas.
Catatan fundamental ekonomi yang cerah tak berdaya melawan isu kemenangan Trump, ditambah lagi ada kegaduhan politik yang terjadi di dalam negeri. Bahana Securities pun harus berhitung kembali dalam memperkirakan level nilai tukar rupiah, indeks dan saham-saham yang layak dikoleksi hingga tahun depan.
Kepala Riset dan Kebijakan Bahana Securities, Harry Su, dalam siaran pers, Minggu (20/11/2016) menyampaikan bahwa setelah kemenangan Trump pasar masih menunggu kebijakan dari kabinet yang akan terpilih di AS.
"Tapi market udah lari duluan," ungkapnya. ''Sementara itu, aksi demo [demonstrasi 4 November] yang terjadi pada bulan ini menambah risiko politik di dalam negeri yang membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi," tambah Harry.
Dalam catatan Bahana, ada dana sekitar Rp10 triliun sudah keluar dari bond market dan sekitar Rp8 triliun keluar dari equity market hanya dalam dua hari saja. Akibatnya, rupiah terdepresiasi cukup tajam, meski bank sentral sudah melakukan stabilisasi pasar. Padahal hasil riset Bahana memperlihatkan setiap 1% rupiah terdepresiasi, maka pertumbuhan pasar saham akan tergerus 0,9%, hampir seimbang dampaknya. Tak heran saat rupiah melemah, indeks saham juga ikut melorot.
Alhasil, Bahana merevisi ke bawah perkiraan level nilai tukar sampai akhir tahun jni dari yang tadinya bakal berada pada kisaran 12,800 karena melihat keberhasilan program tax amnesty, akhirnya ditinjau kembali ke level 13,200, setelah hasil Pilpres US diumumkan. Perkiraan 2017, karena Trump sudah akan membentuk kabinetnya dan siap bekerja, rupiah diperkirakan hanya akan berada di kisaran 12,800, padahal tadinya Bahana meyakini nilai tukar akan menguat ke kisaran 12,500 per US dollar.
''Pemerintah masih harus tetap waspada karena volatility masih akan membayangi pasar keuangan Indonesia karena pasar masih menanti susunan kabinet presiden terpilih dan bagaimana kinerja Trump selama 100 hari pertama," terang Harry. ''Kalau bisa jangan lagi ditambah dengan persoalan di dalam negeri, Indonesia perlu segera membenahi diri terutama dengan persoalan politik".
Dengan melemahnya nilai tukar, perkiraan indekspun tidak luput dari koreksi ke bawah. Tadinya Bahana memperkirakan indeks akan berada pada level 5,600 pada akhir tahun ini, namun karena kegaduhan di pasar global dan situasi politik yang masih menghantui pasar domestik, indeks mungkin hanya akan berada dikisaran 5,200. Perkiraan tahun depan, karena Trump sudah akan memperlihatkan program kerjanya, indeks diperkirakan hanya akan berada di kisaran 5,900, padahal tadinya Bahana meyakini indeks akan melejit ke kisaran 6,600.
Untuk menahan hantaman eksternal ini, sebenarnya Indonesia sudah memiliki pondasi yang kuat dengan ekonomi yang tumbuh stabil 5%, saat ekonomi negara-negara lain masih lesu. Sehingga meskipun nantinya Trump merealisasikan janji kampanyenya yang akan lebih melindungi produksi dalam negeri US, Indonesia masih bisa tumbuh dari konsumsi rumah tangga yang masih menjadi motor penggerak utama perekonomian di dalam negeri.
Apalagi kalau pemerintah bisa fokus membenahi serapan anggaran khususnya untuk infrastruktur, maka dua hal ini sudah bisa menjadi senjata pamungkas atas kekhawatiran pasar pasca kemenangan Trump. Keamanan politik juga tidak bisa diabaikan, pemerintah harus bisa menciptakan iklim politik yang kondusif untuk membuat investor kembali percaya berinvestasi di Indonesia.
''Bagi investor asing, kestabilan politik menjadi isu penting dalam melakukan investasi," ungkap Harry. ''Reformasi pajak masih harus terus dilanjutkan untuk menurunkan corporate tax rate dari, sehingga Indonesia bisa lebih kompetitif dibanding Singapura.
Saat ini corporate tax rate Indonesia sekitar 25%, dengan reformasi pajak, diharapkan level ini bisa turun ke kisaran 17% - 18%, sehingga meskipun nominalnya turun, namun akan tumbuh dari sisi volume, yang pada akhirnya penerimaan pajak tetap akan naik.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH