Menuju konten utama

Mimpi Jokowi Bangun Pabrik untuk Kaum Disabilitas Terlalu Muluk

Jokowi tak perlu membuat pabrik untuk disabilitas, cukup implementasikan UU Penyandang Disabilitas secara konsekuen saja.

Mimpi Jokowi Bangun Pabrik untuk Kaum Disabilitas Terlalu Muluk
Presiden Joko Widodo menggendong siswa penyandang disabilitas asal Sukabumi Mukhlis Abdul Holik disela Peringatan Hari Disabilitas Internasional Tahun 2018 di Bekasi, Jawa Barat, Senin (3/12/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww.

tirto.id - Presiden Joko Widodo sempat memerintahkan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita untuk mendirikan pabrik yang pekerjanya adalah para penyandang disabilitas. Ini ia utarakan ketika berpidato pada Peringatan Hari Disabilitas Internasional di Parkir Mal Summarecon Bekasi, Senin (3/12/2018) awal pekan ini.

“4 tahun yang lalu mendapatkan usulan untuk membangun sebuah pabrik untuk penyandang disabilitas, tapi […] saya tunggu sampai sekarang tanahnya belum ada. Oleh sebab itu, hari ini saya perintahkan kepada Menteri Sosial untuk menyelesaikan ini.”

Mochamad Faisal, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) DPC Depok, mengapresiasi rencana presiden. Namun baginya, alangkah lebih baik jika pemerintah menyelesaikan yang kecil dulu sebelum bicara hal lain yang lebih besar.

“Kalau yang kecil saja belum dilaksanakan, gimana?” katanya kepada reporter Tirto, Kamis (6/12/2018).

Langkah kecil yang dimaksudkan Faisal ialah penerapan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Baginya, aturan yang sudah berlaku efektif dua tahun ini belum diterapkan secara maksimal, terutama soal kuota penyandang disabilitas di instansi pemerintahan atau swasta.

Pada Pasal 53 beleid itu dinyatakan: "(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. (2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja."

Menurut Faisal, pasal tersebut belum terlaksana dengan baik, meski ia sendiri mengatakan tak punya data spesifik mengenai itu. “[penerapan] jauh dari maksimal. Peluang kerja kami masih sulit,” ujarnya.

Apa yang dikatakan Faisal soal data penyandang memang sulit ditemukan. Namun, setidaknya ada survei terkait yang secara tidak langsung membenarkan itu.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menyebut lebih dari 75 persen penyandang disabilitas bekerja di sektor informal alias bukan di perusahaan. Status disabilitas, tulis survei tersebut, menurunkan probabilitas untuk mendapatkan pekerjaan.

Koordinator Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Surabaya, Ignatius Mardjono juga pernah mengatakan hal serupa. Penyebab penyandang disabilitas tak terserap di sektor formal karena mereka butuh dilatih dulu dan tak semua perusahaan mau itu.

Infografik CI Pekerja Difabel

Penerapan Belum Tegas

Rubby Emir Fahriza, pendiri sekaligus CEO kerjabilitas.com, jaringan sosial karier yang menghubungkan penyandang disabilitas dengan penyedia kerja, menilai penerapan UU 8/2016 memang tidak tegas.

“Implementasi dilihat dari seberapa serius mereka membuat mekanisme pengaturannya. Harus ada [peraturan] turunannya. Mungkin Perda yang mengatur secara komprehensif, [termasuk] sanksi-sanksi,” ujarnya kepada reporter Tirto.

“Itu yang belum ada. Implementasi yang lebih teknis, terkait apa yang harus dilakukan jika itu tidak dijalankan. Belum ada penegakan hukum yang jelas,” tegasnya.

Rubby berharap pemerintah bisa lebih tegas lagi. Pria berusia 39 tahun ini menyarankan pemerintah mencontoh Jepang.

“Di sana mereka menerapkan sanksi berlapis [untuk perusahaan yang tidak mempekerjakan disabilitas]. Jika perusahaan tidak menjalani akan dikenakan sanksi uang, satu orang per tahun dengan besaran 6 ribu dolar [AS] dan itu akan dikenakan sampai mereka mempekerjakan disabilitas. Kemudian sanksi bisnis, mereka tidak boleh ikut tender yang diadakan swasta maupun pemerintah; dan dipublikasikan di media.”

“Di Indonesia belum ada yang seperti itu,” jelasnya.

Agus Diono, Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Luar Panti RSPD Kementerian Sosial, mengaku sudah apa peraturan turunan mengenai hal itu. Namun, ia tak menyebut apa aturan yang dimaksud kecuali hanya “PP (Peraturan Pemerintah)” saja.

“Ada yang denda, perizinannya dicabut. Itu ada di PP-nya, sifatnya teknis. Kalau UU-nya tidak teknis, sifatnya umum,” ujarnya di Kementerian Sosial, Kamis.

Namun apa yang dikatakan Agus meleset karena faktanya belum ada PP soal penyandang disabilitas. Setidaknya, PP itu tidak ditemukan di situs resmi Database Peraturan milik Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baca juga artikel terkait PENYANDANG DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Humaniora
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino