Menuju konten utama

Menyambut Darah Muda Perfilman Indonesia

Dalam nominasi Festival Film Indonesia 2017, ada beberapa anak muda dengan karya-karya apik.

Menyambut Darah Muda Perfilman Indonesia
Raditya Dika, nomine penulis skenario terbaik FFI 2017. [Foto/youtube]

tirto.id - Dunia film Indonesia memang sedang bergerak di rel yang tepat. Salah satu indikatornya adalah regenerasi yang berlangsung dengan baik. Tahun 2017 melahirkan banyak film menarik, juga kiprah anak-anak muda di dalamnya.

Turah, misalkan. Film ini menjadi pilihan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) untuk diikutkan ke ajang Oscar 2018. Nantinya Turah akan bersaing di kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Film produksi Fourcolours Films ini sukses di luar negeri terlebih dulu. Ia mendapatkan Special Mention di Singapore International Film Festival, juga meraih Netpac Award dan Geber Award (film Asia pilihan komunitas film di Indonesia) dalam NETPAC Asian Film Festival.

Selain Turah, film Istirahatlah Kata-Kata juga menarik perhatian. Film yang mengisahkan tentang periode persembunyian seniman cum aktivis Wiji Thukul ini juga menyabet banyak penghargaan bergengsi. Mulai dari Best Film di Bangkok ASEAN Film Festival, hingga penghargaan Sutradara Terbaik di Usmar Ismail Awards.

Baca juga: Istirahatlah Kata-Kata: Film Penting Belum Tentu Bagus

Ada benang merah dari kedua film itu: sutradara berusia muda. Turah disutradari oleh Wicaksono Wisnu Legowo yang baru berusia 33 tahun. Sebelum Turah, pria lulusan FFTV Institut Kesenian Jakarta ini pernah membuat Ibu dan Anak-Anakku, film pendek yang masuk dalam nominasi Film Pendek Terbaik di ajang Festival Film Indonesia.

Sedangkan di film Istirahatlah Kata-Kata, Yosep Anggi Noen yang memegang tampuk sutradara. Namanya mulai dikenal saat film garapannya, Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2014) dirilis. Ia menjadi satu dari 15 film yang berkompetisi di Festival Film Locarno, Swiss, untuk kategori Cineasti del Presente (Sineas Masa Kini).

Baca juga: Menteri Anies Dorong Anak Muda Minati Sinematografi

Kiprah anak muda juga bisa ditengok di ajang penghargaan film terbesar di Indonesia, Festival Film Indonesia (FFI). Ajang ini pertama kali digelar pada 1955. Ada kurang lebih 100 judul film yang mengikuti FFI tahun ini, mulai dari film panjang, film dokumenter, hingga film animasi. Semua terangkum dalam 22 kategori. Selain itu, ada satu tambahan kategori yang pertama kalinya disertakan di FFI tahun ini, yakni Penata Rias Terbaik.

Ada tiga kriteria penjurian untuk FFI 2017. Pertama adalah kejernihan gagasan dan tema. Film yang baik pasti punya ide cerita yang baik. Bisa dibilang cerita dan tema adalah tulang punggung sebuah film. Kriteria kedua adalah kualitas teknis dan estetika. Sebuah film dengan ide cerita baik bisa tampak buruk kalau eksekusi di tataran teknis dan estetika tidak tergarap dengan apik. Sedangkan kriteria ketiga adalah profesionalisme dan keterampilan pembuat film dalam menciptakan karyanya.

Dengan bantuan 16 organisasi perfilman—terdiri dari 10 asosiasi profesi dan 6 komunitas film—pilihan yang masuk dalam kategori pemenang cukup memuaskan, walau sempat ada kontroversi terkait film Posesif. Film yang dibintangi oleh Adipati Dolken dan Putri Marino ini sempat diprotes karena belum dirilis di layar bioskop komersil, juga belum mendapat Surat Tanda Lulus Sensor. Meski demikian, produser menganggap film ini layak masuk dalam nominasi FFI 2017 karena sudah diputar di jaringan bioskop komunitas. Posesif pernah diputar di Kineforum, Kinosaurus, juga Cine Space.

Terlepas dari riak itu, FFI 2017 menabalkan satu fakta menarik: banyaknya darah muda di industri film saat ini. Para anak muda itu tidak hanya punya peran kecil, beberapa malah punya peran besar.

Di antara banyak nama, Khikmawan Santosa adalah yang paling menarik. Ia mengawali karier pertama saat menjadi perekam suara dan editor suara di film Virgin dan Brownies pada 2004 silam. Dari sana, namanya terus menanjak. Pada 2009 silam, ia meraih penghargaan Penata Suara Terbaik di FFI 2009 lewat film Ruma Maida.

Tahun ini Santosa kembali berjaya. Ia tidak hanya meraih satu nominasi, bahkan ia meraup empat! Di kategori Penata Suara Terbaik yang berisi berisi 6 nominasi ini, Santosa mencatatkan namanya melalui film Kartini, Pengabdi Setan, Cek Toko Sebelah, dan Critical Eleven. Salah satu yang tampak paling berpengaruh adalah perannya di Pengabdi Setan. Santosa, bersama tim penata musik, berhasil membangun suasana mencekam melalui musik dan suara-suara menyayat yang bertaburan sejak awal film.

Nama lain yang tak kalah riuh diperbincangkan adalah duo Ernest Prakasa dan Raditya Dika. Nama pertama mulai dikenal sebagai komika alumnus program Stand Up Comedy Indonesia. Dari sana ia merambah karier ke bidang lain. Ia menjadi aktor, lalu mencoba jadi penulis skenario, bahkan sutradara. Hasilnya cukup bagus.

Tahun ini, namanya masuk ke tiga kategori. Ernest menjadi nominasi Sutradara Terbaik dan Pemeran Utama Pria melalui film Cek Toko Sebelah, dan Penulis Skenario Asli Terbaik berkat film Stip dan Pensil bersama Joko Anwar dan Bene Dion Rajagukguk.

Ernest yang masih berusia 35 tahun ini berhasil menjadi penulis skenario dengan gaya humor segar. Ia memang dikenal sebagai komedian yang berani menabrak tabu guyonan rasial di Indonesia. Cek Toko Sebelah pun mengisahkan tentang dilema antara karier dan bisnis di keluarga Tionghoa.

Sedangkan Raditya Dika, menekuni jalan yang nyaris serupa dengan Ernest. Raditya dikenal publik sejak menjadi penulis buku komedi personal, Kambing Jantan (2005). Ia lumayan teguh menjalani karier menjadi penulis buku komedi, sebelum akhirnya berkarier di bidang lain: komika, penulis skenario, sutradara, hingga Youtuber. Dalam FFI 2017, nama Raditya Dika masuk dalam nominasi Penulis Skenario Terbaik lewat film Hangout.

Raksa Santana, kritikus film dari Cinema Poetica, mempunyai pandangan sedikit berbeda soal keberadaan darah muda di industri film Indonesia. Menurut Raksa, ada beberapa nama yang mendapat lebih dari satu nominasi, sama seperti di FFI tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa ada sedikit kemacetan untuk beberapa kategori.

"Jadi, sebenarnya masih jauh untuk menyebut ada regenerasi yang baik di perfilman Indonesia," ujar Raksa.

Menurut Raksa, ada beberapa kemungkinan kenapa hal itu terjadi. Pertama, bisa jadi karena pilihan nama yang terbatas, terutama di beberapa kategori yang nampak kurang populer. Nama Khikmawan Santosa di FFI tahun ini mungkin bisa jadi contoh. Kedua, bisa jadi soal kepercayaan. Untuk perkara ini, meski nama sudah banyak, tapi yang dipercaya hanya beberapa nama tertentu—terutama yang sudah punya banyak pengalaman.

Baca juga: Catatan dari Docs by the Sea

Infografik FFI 2017

Raksa juga sedikit menyorot tentang beberapa judul film yang tak masuk nominasi, padahal amat layak. Contoh paling kentara: Turah. Film ini sama sekali tidak masuk di kategori apapun dalam FFI 2017. Padahal film ini mendapat banyak pujian, pun terpilih mewakili Indonesia dalam ajang Oscar 2018 nanti. Begitu pula yang terjadi pada Istirahatlah Kata-Kata.

Menurut Raksa, anak muda yang berkecimpung di dunia film akan makin banyak seiring makin beragamnya film Indonesia. Tidak melulu perkara genre, tapi juga soal eksekusi dan perkara teknis. Eksperimen juga bisa mengundang banyak anak muda untuk masuk dalam dunia film.

"Mengapresiasi beragam film sama dengan mengapresiasi beragam visi, dan sama dengan mengapresiasi beragam pelaku," kata Raksa.

Terlepas dari segala pro kontranya, menurut Raksa, FFI 2017 sudah cukup mengakomodir keberagaman itu. Karena keberagaman itu, FFI 2017 layak disambut dengan meriah.

Pengumuman pemenang akan dibacakan pada 11 November 2017 di Manado, Sulawesi Utara. Selagi menanti waktu itu datang, mari mencari siapa nomine favoritmu.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Film
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani