Menuju konten utama

Meninggal Karena Tersekap dan Kekurangan Oksigen

Hasil otopsi menunjukkan enam korban penyekapan di Pulomas tewas karena kehabisan oksigen. Apa yang terjadi saat tubuh kekurangan oksigen?

Meninggal Karena Tersekap dan Kekurangan Oksigen
Rumah lokasi penyekapan 11 orang di Pulomas. Enam orang tewas karena kekurangan oksigen. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Awalnya Sheila Putri hanya ingin tahu ke mana temannya, Diona Arika (16) pergi, karena Diona tak menepati janji untuk jalan-jalan pada hari Senin (26/12/2016). Sebelum mencari Diona ke rumahnya, ia mencoba menghubungi Diona melalui ponselnya. Tapi, Diona tak menjawab. Sheila semakin resah, maka ia memutuskan untuk ke rumah Diona, pada Selasa (27/12/2016).

Menurut kronologi yang dilaporkan Kompas.com, Sheila bisa masuk dengan leluasa ke dalam rumah karena pintu tak terkunci. Ia memanggil temannya, namun tak ada jawaban. Karena pintu tak terkunci, siapa tahu ada orang di rumah. Sheila mencari tahu dengan masuk ke bagian dalam rumah. Pada saat itulah, ia mendengar suara rintihan dari kamar mandi.

Sheila tak langsung memeriksanya karena ia ketakutan. Ia memilih lari ke sekuriti kompleks perumahan Pulomas untuk meminta tolong. Sekuriti kemudian melapor kepada polisi.

Ketika pintu berhasil didobrak, polisi bersama warga menemukan penghuni rumah di dalam kamar mandi berukuran 1,5 meter x 1,5 meter tersebut. Ada sebelas orang yang terkunci di dalamnya, enam orang diantaranya telah meninggal dunia.

Dodi Triono sang pemilik rumah dan Diona Arika, teman Sheila yang juga putri Dodi, meninggal dunia. Ketika ditemukan, di tubuh Dodi ada darah yang mengalir dari hidung.

Setelah dilakukan otopsi, kepolisian menyatakan Dodi dan kelima korban lainnya meninggal karena kehabisan napas. Mereka kekurangan oksigen di dalam darah.

Asfiksia

Kegagalan bernapas ini dalam ilmu kedokteran disebut asfiksia. Lebih lengkapnya, asfiksia adalah keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen dalam darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapnea). Organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.

Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Universitas Gadjah Mada (UGM) Ida Bagus Gede Surya Putra Pidada menjelaskan ada tiga sebab seseorang bisa mengalami asfiksia, yakni sebab alamiah, trauma mekanik, dan keracunan.

Ia menuturkan, sebab alamiah contohnya karena penyakit penyumbatan saluran pernapasan seperti laringitis difteri (terdapat para faring, laring, dan hidung), atau fibrosis paru (gangguan pergerakan paru). Trauma mekanik misalnya dicekik, tenggelam, digantung, terjerat, dibekap, dan terperangkap di lingkungan kurang oksigen.

Pada kasus pembunuhan di Pulomas, Putra Pidada menyebut penyebabnya adalah trauma mekanik, yakni karena korban terperangkap.

“Di dalam ruangan yang betul-betul tertutup, keadaan oksigen bisa berkurang, kalau sampai berkurang 9,8 atau di bawah 10 persen bisa berakibat fatal atau bisa menyebabkan kematian,” terangnya.

Ia mengatakan ada empat tahap seseorang akan menemui ajalnya dalam keadaan terperangkap ini.

Fase pertama disebut dengan dispnea, fase di mana seseorang akan mengalami sesak nafas karena penurunan kadar oksigen di dalam sel darah merah dan terjadi penimbunan karbondioksida dalam plasma. Kondisi ini akan merangsang amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi berdenyut cepat, tekanan darah meninggi, dan mulai nampak tanda-tanda sianosis (kebiruan) pada muka dan tangan.

Kemudian, terjadi fase konvulasi. Pada fase ini, tubuh akan mengalami kejang karena kadar karbondioksida naik, sehingga menimbulkan rangsangan terhadap susunan saraf pusat. Mula-mula kejang ringan, kemudian nampak pupil mengalami dilatasi (pembesaran atau perkalian), denyut jantung menurun, dan tekanan darah menurun. Efek ini diakibatkan oleh otak yang kekurangan oksigen.

Tahap selanjutnya adalah fase apnea, yaitu terjadinya depresi pada pusat pernapasan sehingga pernapasan melemah, kesadaran menurun, dan terjadi pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja di luar kesadaran karena terjadi relaksasi sfingter (organ otot yang bekerja untuk menutup jalur atau pembukaan alamiah pada tubuh). Sampai akhirnya mengalami fase terakhir yakni pernapasan terhenti.

“Masa dari fase satu sampai terakhir atau hingga kematian bervariasi, tapi umumnya terjadi dalam 4-5 menit,” kata Putra Pidada.

Tentu saja proses ini terjadi tergantung dari tingkat penghalang oksigen. Bila tidak 100 persen terhalangi, maka waktu kematian akan lebih lama. Kematian Dodi dan kelima orang dalam tragedi Pulomas adalah salah satu contoh kasus penghalang asupan oksigennya cukup tinggi, sebab ada 11 orang di dalam ruangan yang supersempit itu. Menurutnya, sudah pasti ke-11 orang itu akan berebut oksigen, ditambah lagi mereka terperangkap dalam waktu lebih dari 10 jam.

Secara fisik, jenazah yang mengalami kematian karena kekuarangan oksigen akan berwarna kebiruan terutama pada bibir, gusi, bawah kuku atau ujung jari jenazah.

“Itu menandakan terjadi proses kekurangan oksigen. Bisa saja kita temukan di kelopak mata bagian dalam, di selaput lendir mata ada bintik-bintik kemerahan yang menunjukkan terjadi pendarahan,” imbuhnya.

Selain itu, pada jenazah juga akan ditemukan lebam, warnanya lebih gelap dari kondisi mayat normal yang umumnya berwarna merah keunguan. Pada kasus jenazah meninggal karena kekurangan oksigen, lebam tersebut akan berwarna lebih gelap dari merah keunguan itu. Lebam ini juga akan meluas, bisa dari tengkuk sampai dada.

“Kalau diautopsi akan ada tanda-tanda organnya bengkak, nampak pula pembendungan pembuluh darah,” terangnya.

Darah yang keluar dari hidung, menurutnya terjadi karena pembuluh darah kecil di dalam tubuh pecah sehingga keluar melalui lubang-lubang tubuh. Hal itu terjadi pada saat tubuh mengalami fase kedua, yakni kejang-kejang.

“Ada usaha untuk bernafas cepat, di dalam keadaan ini akan menyebabkan keluar cairan dari mulut, hidung. Pada saat fase ini juga akan mengeluarkan lendir-lendir, kadang-kadang bisa juga pembuluh darah kecil pecah sehingga keluar pula buih yang berwarna kemerahan,” paparnya.

Infografik asfiksia

Kesempatan Selamat

Kelima korban selamat namun kritis dari tragedi Pulomas tersebut, menurut Putra Pidada kemungkinan terjadi usaha untuk menyelamatkan diri, terutama untuk anak-anak dan perempuan.

Selain itu, menurutnya, seseorang bisa selamat dari keadaan terperangkap di ruang minim oksigen jika kondisi tubuhnya sehat, dan tidak mudah panik.

“Ia yang sehat, kondisi tubuhnya bisa bertahan lebih lama, termasuk yang tidak panik,” katanya.

Kepanikan bisa menimbulkan sesak napas lebih cepat, karena tekanan psikologis ini menyebabkan saraf-saraf semakin cepat bekerja. Selain itu, meskipun masih harus diteliti lebih lanjut, Putra Pidada mengatakan seseorang bisa selamat dari ruang tertutup tersebut karena ada kelembaban.

“Kamar mandi yang memiliki kelembaban,” katanya, “Bisa memberikan efek sejuk, tentu saja ini meringankan kerja saraf.”

Faktor inilah yang kemungkinan besar terjadi pada Zanette Kalila Azaria (13). Anak ketiga Dodi ini bersama keempat korban selamat lainnya saling menguatkan dan menyemprotkan air keran di dalam kamar mandi. Zanette mengatakan, ia juga bisa selamat karena meminum air keran itu.

Baca juga artikel terkait PENYEKAPAN PULOMAS atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Maulida Sri Handayani