Menuju konten utama
Periksa Data

Menilik Lonjakan Kasus Sifilis dan Kesiapan Penanganannya

Tak hanya Indonesia yang bergelut dengan kasus sifilis. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat, Amerika Serikat pun punya masalah serupa.

Menilik Lonjakan Kasus Sifilis dan Kesiapan Penanganannya
Header Periksa Data Menilik Lonjakan Kasus Sifilis dan Kesiapan Penanganannya. tirto.id/Fuad

tirto.id - Target Indonesia untuk mengeliminasi penularan human immunodeficiency virus (HIV), sifilis, serta Hepatitis B, sebagaimana tertuang dalam Permenkes RI No 52 Tahun 2017, agaknya masih perlu waktu lebih lama untuk dapat dicapai.

Khusus untuk sifilis, yang merupakan salah satu jenis infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, pemerintah menetapkan target pencapaian awal program eliminasi pada tahun 2022. Indikatornya adalah pengurangan jumlah kasus infeksi baru sifilis pada bayi baru lahir harus berjumlah sama dengan hingga di bawah 50 kasus anak terinfeksi per 100.000 kelahiran hidup.

Namun, lebih dari lima tahun usai aturan tersebut bergulir, angka pasien yang terkena infeksi menular seksual (IMS)—khususnya sifilis—justru cenderung meningkat. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam konferensi pers hari Senin (8/5/2023) buka-bukaan tentang data terkininya.

“Penyakit sifilis dalam kurun waktu lima tahun terakhir 2018—2022 terjadi peningkatan kasus hampir 70 persen, dari 12 ribu kasus menjadi 21 ribu kasus saat ini. Setiap tahun ada penambahan [jumlah kasus], rata-rata 17 ribu sampai 20 ribu,” ungkap Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril.

Menukil laporan Kemenkes, hanya satu provinsi yang bebas dari temuan sifilis pada tahun 2022, yaitu Sulawesi Barat. Dari 20.783 kasus infeksi di tahun itu, jumlah terbanyak ditemukan di Provinsi Papua, yakni 3.864 pasien atau sekitar 18,5 persen dari total kasus.

Daerah penyumbang terbesar selanjutnya adalah Jawa Barat dan DKI Jakarta, masing-masing sebanyak 3.186 kasus (15,3 persen) dan 1.897 kasus (9,12 persen). Ada empat provinsi lain yang jumlah kasusnya menembus angka 1.000, yakni:

  • Papua Barat (1.816 kasus atau 8,73 persen),
  • Bali, jumlahnya 1.300 kasus (6,25 persen),
  • Banten (1.145 kasus, sekitar 5,50 persen),
  • Jawa Timur sebanyak 1.003 kasus (berkisar 4,82 persen dari total kasus di tahun 2022).
Kemenkes mencatat, pasien sifilis pada tahun 2022 didominasi laki-laki, jumlahnya mencapai 54 persen.

Jika ditilik lebih dalam, kasus sifilis—atau yang kerap disebut penyakit raja singa—paling sering ditemukan dari laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), persentasenya sebesar 28 persen.

Kasus sifilis yang ditemukan dari ibu hamil sebanyak 27 persen, disusul pasangan dengan risiko tinggi (risti) dengan porsi 9 persen. Wanita pekerja seks (WPS) menyumbang 9 persen dari jumlah penderita.

Kontribusi dari pelanggan pekerja seks (PPS) sebesar 4 persen, pengguna obat-obatan terlarang dengan menggunakan suntikan sebanyak 0,15 persen, serta waria (3 persen), sisanya berasal dari kelompok lainnya.

Pasien sifilis paling banyak ditemukan di kelompok usia 25—49 tahun, mencapai 63 persen dari total kasus. Dalam rentang usia 20—24 tahun tercatat jumlah pasiennya sebesar 23 persen, dan usia 15—19 tahun sebanyak 6 persen.

Terdapat juga 5 persen pasien yang berusia di atas 50 tahun. Kasus sifilis pun ditemukan di anak-anak, yaitu sebanyak 3 persen (usia di bawah 4 tahun), sekitar 0,24 persen pasien berusia 5—15 tahun.

Asal tahu saja, tak hanya Indonesia saja yang bergelut dengan sifilis. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat, Amerika Serikat (AS) juga punya masalah serupa, di mana jumlah kasusnya menembus 176.713 temuan di tahun 2021, melesat 74 persen dibandingkan tahun 2017.

Penyebab dan Gejala Infeksi

Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang masuk ke dalam tubuh melalui luka kecil, lecet, ruam pada kulit, atau melalui selaput lendir (jaringan dalam mulut atau kelamin).

Dilansir dari laman Kemenkes, kasus penularan sifilis lebih banyak diakibatkan adanya hubungan seksual dengan penderita. Penyebaran bisa terjadi melalui kontak fisik dengan luka di tubuh penderita, atau menular dari ibu ke janin saat kehamilan atau persalinan.

Gejala kerap muncul antara 10—90 hari usai seseorang terpapar bakteri penyebab sifilis, diawali dengan luka kecil di kulit (chancre) yang tidak terasa sakit. Luka ini timbul di lokasi masuknya bakteri ke dalam tubuh.

Luka itu dapat menghilang dalam 3—6 minggu. Namun, hal itu tak serta-merta menjadi pertanda kalau penderita telah pulih. Bila tidak diobati, kondisi tersebut justru menandakan infeksi telah berkembang ke tahap sekunder.

Beberapa minggu setelah luka menghilang, gejala sifilis sekunder berupa ruam bisa muncul di bagian tubuh mana pun, terutama di telapak tangan dan kaki. Ruam dapat disertai kutil pada area kelamin atau mulut, tetapi tidak menimbulkan rasa gatal.

Tak berhenti sampai di situ, dalam tahap sekunder, kerap ada gejala lain seperti demam, lemas, nyeri otot, hingga sakit tenggorokan. Ruam akan menghilang meski tidak diobati. Namun, gejala dapat muncul berulang kali setelahnya.

Tanpa pengobatan yang tepat, infeksi dapat berlanjut ke tahap laten atau tahap tersier yang berdampak pada mata, otak, jantung, pembuluh darah, hati, tulang, sampai ke sendi-sendi.

Bahaya di Balik Angka Kasus

Lantas, apa yang akan terjadi bila kasus sifilis tak bisa ditekan dan makin luas menyebar?

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menekankan, kasus sifilis bisa mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang. Pasalnya, ibu hamil yang terkena sipilis dapat menyebarkan penyakit ini kepada anaknya, baik sejak dalam kandungan maupun saat persalinan. Sifilis jenis ini disebut sifilis bawaan atau sifilis kongenital.

Kemungkinan terjadinya keguguran janin, bayi lahir mati, serta bayi mengalami sifilis kongenital akibat penularan dari sang ibu mencapai 69 hingga 80 persen.

Mirisnya, di lapangan, jumlah ibu hamil dengan sifilis yang diobati masih rendah, hanya sekitar 40 persen. 60 persen lainnya tidak mendapatkan pengobatan, berpotensi menularkan dan menimbulkan cacat pada anak yang dilahirkan.

“Rendahnya pengobatan dikarenakan adanya stigma dan unsur malu. Setiap tahunnya, dari lima juta kehamilan hanya sebanyak 25 persen ibu hamil yang di skrining sifilis. Dari 1,2 juta ibu hamil akhirnya 5.590 ibu hamil positif sifilis,” kata Syahril dalam konferensi pers pada Senin (8/5/2023) lalu.

Kesiapan Penanganan Kemenkes

Kemenkes meyakini, hal yang penting dilakukan saat ini adalah menggencarkan skrining atau deteksi dini agar pasien segera mendapatkan penanganan dan pengobatan.

Dalam wawancaranya bersama Tirto.id, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi memastikan alat diagnosis sifilis tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Ia pun menyebut obat untuk penanganan sifilis tersedia dalam jumlah yang cukup.

“Pada tingkat nasional terdapat sekitar 72 ribu botol benzathine penicillin. Benzathine penicillin merupakan obat pilihan utama yang dapat digunakan pada semua populasi untuk sifilis,” kata Imran, Senin (15/5/2023).

Bila berkaca dari penanganan tahun lalu, mengutip Laporan Kinerja 2022 Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, pasien sifilis yang diobati jumlahnya sebanyak 65 persen, di bawah dari target sebesar 75 persen.

Berdasarkan hasil analisis Kemenkes, terungkap bahwa salah satu penyebab tak tercapainya target itu lantaran adanya keterbatasan logistik obat. Dilaporkan, dalam situasi tersebut, pasien akan dirujuk ke fasyankes yang memiliki obat benzathine penicillin.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Shanies Tri Pinasthi

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Shanies Tri Pinasthi
Editor: Farida Susanty