Menuju konten utama

Menanti RPP Perdagangan Elektronik yang Tak Kunjung Disahkan

Naskah akademik Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur perdagangan elektronik telah disusun sejak 2011. Enam tahun berselang, beleid itu tak kunjung disahkan.

Menanti RPP Perdagangan Elektronik yang Tak Kunjung Disahkan
Ilustrasi E-commerce. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Berbelanja online sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Masyarakat yang tadinya harus keliling pusat perbelanjaan atau pasar untuk membeli sesuatu, kini cukup duduk di depan layar komputer atau berbaring menggenggam handphone.

Mereka tinggal buka berbagai toko, memilih barang, membandingkan harga, lalu melakukan pembayaran. Barang belanjaan itu akan datang pada hari itu juga, keesokan harinya, atau seminggu kemudian, tergantung jarak dengan lokasi pedagang dan jenis pengiriman yang dipilih.

Jumlah pedagang online terus menjamur. Mereka hadir lewat berbagai platform, ada yang membuat situs sendiri, memasarkan lewat media sosial, atau berdagang lewat market place. Mereka tak butuh investasi mahal untuk menyewa toko. Semua produk yang dijual disajikan lewat foto. Beberapa pedagang menyediakan metode pembayaran di tempat. Jadi, pembeli bisa melihat langsung barangnya sebelum dibeli.

Jumlah masyarakat yang berbelanja online terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2014, ada sekitar 4,6 juta orang, setahun kemudian, angkanya meningkat menjadi 5,9 juta pembeli. Sebanyak 20 persen pembeli online masih akan mengakses situs belanja online konvensional seperti Lazada, Blibli atau Zalora. Sementara 26,4 persen lainnya berbelanja via Facebook, Instagram atau Twitter.

Sekitar 26,6 persen masih akah memanfaatkan forum online seperti kaskus atau OLX. Sisanya, hanya belanja melalui BBM, Whatsapp, atau Line.

Menjamurnya perdagangan lewat dunia maya ini bukan tak menimbulkan masalah. Tahun 2015, aduan tentang belanja online masuk dalam sepuluh besar pengaduan di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan berada di urutan keempat.

Tahun berikutnya, aduan tentang belanja online ini masuk ke posisi k tiga. Hal yang paling banyak diadukan adalah kendala refund, ketidaksesuaian informasi produk, dan lamanya pengiriman.

Sampai saat ini, belum ada beleid yang secara khusus dan terperinci mengatur tentang perdagangan elektronik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan memang menyinggung soal Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronika (UU ITE) yang belum lama ini direvisi juga sering menjadi landasan transaksi elektronik. Namun, keduanya masih bersifat umum tak secara khusus mengatur soal perdagangan online.

Untuk pengaturan yang lebih rinci, pemerintah sebenarnya sudah membuat draft RPP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau biasa disebut RPP E-Commerce. Sudah sejak tahun 2011, naskah akademik RPP ini disiapkan.

Pada Juni 2015, pemerintah juga sudah melakukan uji coba publik, menyebarkan draft RPP dan meminta tanggapan pihak-pihak yang terkait dengan aturan itu.

Mei 2016, Kementerian Perdagangan menyatakan RPP itu sudah dalam tahap finalisasi di Kementerian Hukum dan HAM dan akan segera disahkan. Namun, sampai Agustus tahun ini, belum ada tanda-tanda ia akan disahkan dalam waktu dekat.

“Masih dalam penyelesaian,” jawab Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Tjahja Widayanti saat ditanyai tentang perkembangan RPP itu pada Selasa (8/8).

Tjahja enggan berkomentar apa-apa. Ia tak menjawab pertanyaan soal target penyelesaian ataupun tentang perubahan isi dari draft awal.

infografik rpp ecommerce

Isi Draft Awal RPP E-Commerce

Dalam draft RPP yang sedang digodok dan tak kunjung selesai itu, ada tiga kategori pelaku usaha pada transaksi perdagangan elektronik, yakni pedagang, penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PTPMSE), dan penyelenggara sarana perantara.

Di pasal 18 disebutkan bahwa penyelenggara transaksi perdagangan dan pedagang yang memiliki sistem transaksi melalui elektronik wajib memiliki izin khusus perdagangan elektronik dari menteri perdagangan.

Pedagang juga harus menyediakan kontrak digital yang berisi detail produk dan pembayaran. Toko online atau market place dari luar negeri pun harus tunduk kepada aturan tersebut jika ia beroperasi di Indonesia. Seperti perdagangan offline, jual beli online juga akan dikenakan pajak.

Saat pemerintah mengumumkan draft RPP pada 2015, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) sempat menyatakan kritiknya terhadap rancangan beleid itu. Ada beberapa hal yang disoroti idEA dan dinilai perlu dievaluasi lagi.

Pertama adalah soal batasan dan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam transaksi perdagangan elektronik. Menurut idEA, dalam industri e-commerce, ada beberapa tipe model bisnis. Jadi kategori tanggung jawab harus dibedakan menurut model bisnis masing-masing. Sementara RPP membagi pelaku usaha hanya ke dalam tiga kategori.

Selain itu, idEA juga mengomentari soal kewajiban untuk memiliki, mencantumkan dan menyampaikan identitas subjek hukum seperti KTP, izin usaha, nomor SK pengesahan badan hukum atau yang dikenal know your customer (KYC).

Menanggapi hal ini, idEA mengusulkan agar KYC hanya cukup dengan data nomor telepon saja. Menurut idEA, regulasi pada bidang telekomunikasi telah mewajibkan dan menerapkan KYC terhadap pengguna nomor telepon. Selain itu, hingga saat ini belum ada juga sarana yang disediakan pemerintah agar PTPMSE dapat melakukan verifikasi identitas para pedagang dan konsumen.

IdEA juga keberatan dengan perizinan berlapis yang dinilai dapat menghambat pertumbuhan industri E-Commerce. Seperti, adanya tanda daftar khusus, izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik dan sertifikat keandalan. Menurut idEA, adanya kekosongan dari peraturan pelaksana terkait masing-masing perizinan tersebut akan menimbulkan ketidakjelasan yang tak kondusif bagi pelaku bisnis E-Commerce Indonesia.

Draft RPP itu juga dinilai bertentangan dengan aturan hukum lainnya, salah satunya hukum pengangkutan yang menganut asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan atau fault liability. Dalam aturan itu, kesalahan yang dilakukan pengangkut adalah tanggung jawab pengangkut. Pihak penyedia jasa kurir lah yang harus melakukan ganti rugi. Akan tetapi, dalam RPP E-Commerce, tanggung jawab tersebut diletakkan di pundak PTPMSE.

Belum ada kejelasan seperti apa perubahan draft RPP setelah ada masukan dari asosiasi. RPP yang sudah digodok bertahun-tahun dan sudah mengalami pergantian presiden itu pun tak kunjung disahkan. Sementara bisnis e-commerce terus tumbuh dan butuh payung hukum yang lebih spesifik. Di tingkat dunia, pertumbuhan bisnis e-commerce sudah sangat pesat, melebihi ekspektasi. Tanpa payung hukum yang jelas, sudah pasti Indonesia akan terseok-seok menghadapi perkembangan bisnis e-commerce ini.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti