Menuju konten utama

Liverpool Juara Liga: Mengapa Kesuksesannya Sulit Ditiru Klub Lain?

Penantian panjang Liverpool selama tiga dekade akhirnya menuai hasil. Apa rahasia mereka menjuarai liga?

 

Liverpool Juara Liga: Mengapa Kesuksesannya Sulit Ditiru Klub Lain?
Jurgen Klopp berdiri di lapangan sebelum pertandingan Liverpool vs Crystal Palace di Stadion Anfield, Rabu (24/6/2020). Shaun Botterill / Pool via AP

tirto.id - Sebagus apa penampilan Liverpool di liga musim ini sehingga mereka berhasil menjadi juara liga sekaligus mengakhiri masa penantian selama 30 tahun?

Murad Ahmed dan John Burn-Murdoch dari Financial Times menilai bahwa di atas kertas penampilan Liverpool di liga musim ini sebenarnya tak jauh beda dengan musim lalu. Dua tim itu sama-sama sulit dikalahkan dan hampir selalu mempunyai jalan untuk memenangkan pertandingan. Namun dalam beberapa aspek, menurut hitung-hitungan mereka, penampilan Liverpool musim lalu sebetulnya masih sedikit lebih baik ketimbang sekarang.

Soal catatan kebobolan dan raihan gol, misalnya. Musim lalu Liverpool rata-rata hanya kebobolan 0,5 gol dan mencetak 2,3 gol dalam setiap pertandingan. Sedangkan pada musim ini, setidaknya hingga pekan ke-31, catatan mereka turun. The Reds rata-rata kebobolan 0,6 gol dan hanya mencetak 2,2 gol dalam setiap pertandingan.

Meski demikian catatan itu tentu saja tidak dapat dijadikan patokan utama untuk mengukur kehebatan Liverpool musim ini. Masih ada banyak parameter-parameter lain yang dapat digunakan untuk membandingkan perbedaan kedua tim tersebut. Dan dari sinilah Ahmed dan Murdoch memaparkan analisis lebih dalam untuk mengetahui tim mana yang lebih hebat. Hasilnya: tidak hanya lebih bagus ketimbang tim 2018-2019, Liverpool yang sekarang adalah salah satu terbaik di jajaran top liga Eropa.

Menurut Ahmed dan Murdoch, Liverpool jauh lebih efisien dan konsisten dibandingkan tim manapun. Meski mencetak gol lebih sedikit dan kebobolan lebih banyak ketimbang musim lalu, mereka setidaknya lebih sering menang dalam pertandingan-pertandingan yang berlangsung ketat. Sejauh musim ini berjalan, Liverpool sudah menang 13 kali dengan selisih satu gol, entah itu menang 1-0, 2-1, atau 3-2.

Lain itu, tim ini juga lebih dinamis. Liverpool yang sekarang tidak hanya tentang gegenpressing, yang menurut James Milner pernah membuat “kami tampil apik dalam satu pertandingan dan tampil seperti sampah di pertandingan berikutnya”. Mereka juga mampu memadukan filosofi tersebut dengan positional-play yang menjadi kunci sukses tim-tim besar di Eropa daratan. Malahan, saat tim-tim besar Eropa daratan senantiasa mengandalkan lapangan tengah untuk menciptakan perbedaan, Liverpool punya terobosan anyar: menggunakan duet full-back sebagai senjata rahasia.

Statistik setidaknya mencatat: jika pada musim lalu sektor tengah Liverpool masih sedikit lebih dominan ketimbang duet full-back dalam menciptakan peluang (umpan kunci dan assist), musim ini duet full-back Liverpool—yang biasa dihuni Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson—rata-rata mampu menciptakan 32% dalam setiap pertandingan, 8% lebih banyak dari pemain-pemain tengah mereka.

Kehebatan Liverpool ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Seorang pelatih Premier League baru-baru ini mengatakan kepada Paul Joyce, jurnalis The Times:

“Anda dapat fokus menghentikan Roberto Firmino ketika ia sering turun jauh ke belakang untuk menjemput bola. Namun, full-back mereka juga harus dihentikan. Lalu, ketika Anda mulai memikirkan hal itu, pemain-pemain tengah Liverpool, seperti Jordan Henderson dan Oxlade-Chamberlain, mulai berotasi.”

“Mereka punya berbagai macam cara untuk menyerang, dan itu sangat sulit untuk dihentikan. Tim mana pun tentu saja tidak hanya ingin bertahan saat menghadapi mereka, tapi masalah lain kemudian yang muncul. Untuk mencetak gol ke gawang Liverpool, Anda juga harus memikirkan bagaimana caranya melewati Van Dijk atau mengalahkan Allison.”

Lantas, bagaimana bisa Liverpool sehebat itu?

Jawaban pertanyaan tersebut sederhana, tapi mungkin sulit ditiru klub-klub lain. Penampilan apik Liverpool sebenarnya bukan hanya tentang racikan taktik Jurgen Klopp, bantuan staf pelatih, atau kerja keras para pemain, melainkan juga soal peran penting orang-orang yang berada di balik layar. Singkat kata, Liverpool sukses karena kinerja klub secara keseluruhan.

Belajar dari Kegagalan Moneyball

John W. Henry, melalui Fenway Sports Group (FSG) miliknya, membeli Liverpool dari tangan Martin Broughton pada 2010. Pebisnis Amerika Serikat sekaligus pemilik klub bisbol Boston Red Sox tersebut mengeluarkan dana sekitar 300 paun untuk menjadi tuan anyar Liverpool. Bersama klub barunya itu, ia punya cita-cita: menerapkan moneyball untuk meraih kesuksesan.

Moneyball, seperti diutarakan Michael Lewis dalam Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game (2003) adalah sebuah konsep yang sempat mengguncang dunia bisbol AS. Pertama kali diterapkan Billy Beane, manajer Oakland Athletics, konsep ini pada dasarnya digunakan tim-tim kecil agar dapat bersaing melawan tim-tim besar. Caranya? Lewat hitung-hitungan statistik, mereka bisa mendatangkan pemain-pemain undervalued dengan harga murah.

Billy Beane sukses menerapkan konsep tersebut bersama Oakland. Meski tak sampai juara, salah satu tim paling miskin di liga bisbol AS tersebut setidaknya berhasil mencatat rentetan kemenangan terpanjang dalam sejarah bisbol AS. Henry lantas menyukai konsep tersebut dan menginginkan Beane jadi manajer anyar Red Sox, tapi ditolak. Meski begitu, Henry percaya moneyball bisa mengubah peruntungan klubnya.

Singkat cerita, kepercayaan Henry terhadap moneyball berbuah manis. Menerapkan konsep tersebut bersama Theo Epstein yang tak kalah jenius dari Billy Beane, Boston Red Sox akhirnya menjadi juara pada 2004, sekaligus menghentikan “Kutukan Bambino” yang sudah berlangsung selama 86 tahun. Tiga tahun kemudian, moneyball bahkan kembali mengantar Red Sox jadi juara liga. Kali ini mereka meraih gelar dengan memanfaatkan pemain-pemain veteran dan pemain berstatus bebas transfer yang— menurut hitung-hitungan moneyball—sebetulnya masih mampu memberikan kontribusi maksimal.

Dari kesuksesan itulah Henry kemudian berpikir bahwa konsep moneyball amat penting dalam dunia olahraga. Masalahnya, saat ia ingin menerapkan konsep tersebut bersama Liverpool, Henry luput menyadari satu hal: bisbol amat berbeda dengan sepakbola. Sementara interaksi langsung antar pemain sangat penting dalam sepakbola, Sam Walker dalam The Captain Class (2017) menulis:

“Dalam bisbol, pitcher dan catcher akan saling berinteraksi di sepanjang pertandingan, dan para fielder juga melakukan hal yang sama. Namun, apa yang paling penting dalam bisbol adalah aksi individu: batting, fielding, pitching, atau bowling pada umumnya dapat dilakukan tanpa melakukan interaksi langsung dengan rekan satu tim.”

Josh Williams dalam salah satu tulisannya di Liverpool Echo menjelaskan moneyball justru sempat menciptakan bencana bagi Liverpool. Damien Comolli, yang dipercaya Henry untuk menjalankan konsep tersebut di Liverpool, mendatangkan Andy Carroll, Luis Suarez, Stewart Downing, hingga Charlie Adam. Meski harganya relatif masuk akal, sebagian besar amunisi anyar Liverpool tersebut justru sering menjadi lelucon di atas lapangan.

Carroll, Downing, dan Adam, misalnya. Hitung-hitungan moneyball menilai ketiga pemain tersebut bisa menjadi senjata ampuh Liverpool untuk melancarkan serangan. Carroll jago duel udara, Downing gemar mengirimkan umpan silang akurat, dan Adam pintar dalam menciptakan peluang. Akan tetapi, hitung-hitungan sepakbola menilai mereka dengan cara berbeda: selain sulit main bareng, karakter permainan mereka tidak cocok dengan gaya bermain Liverpool. Carroll, yang dibeli dengan harga 35 juta paun dari Newcastle, bahkan hanya mampu mencetak tujuh gol selama dua musim bermain bersama Liverpool.

Walhasil, selama tiga musim awal kepemilikan Henry, Liverpool selalu terjerembab di papan tengah. Mereka finis di peringkat keenam, kedelapan, dan ketujuh.

Kegagalan itu memberikan pelajaran berharga bagi Henry bahwa moneyball tidak dapat diterapkan mentah-mentah dalam sepakbola. Agar dapat bekerja, konsep itu harus diatur sedemikian rupa. Maka, untuk melakukan hal tersebut, ia mulai mendelegasikan tugas secara terperinci. Mike Gordon, tangan kanannya, diutus mengurus klub secara langsung. Damien Comolli, yang hanya tahu untung-rugi soal jual beli pemain, didepak. Michael Edwards, yang sebelumnya menjabat sebagai kepala analisis tim, diangkat sebagai direktur teknik sekaligus sebagai juru transfer anyar Liverpool.

Perubahan ini langsung memberikan dampak signifikan. Pada musim 2013-2014, Liverpool nyaris menjadi juara liga, finis di peringkat kedua, hanya tertinggal dua angka dari Manchester City. Namun masalah baru kemudian muncul. Brendan Rodgers, pelatih Liverpool saat itu, terlibat cekcok dengan Michael Edwards lantaran tak biasa kerja bareng dengan seorang direktur teknik.

Infografik Liverpool

Infografik Liverpool. tirto.id/Quita

Bekerja sebagai Satu Kesatuan

Simon Hughes dalam Allez, Allez, Allez: The Inside Story of Resurgence of Liverpool FC (2019) menceritakan bahwa perseteruan antara Rodgers dan Edwards memuncak ketika Rodgers ingin mendatangkan Christian Benteke sebagai pengganti Luis Suarez pada awal musim 2015-2016. Rodgers menilai Benteke bisa menjadi menjadi senjata alternatif saat Daniel Sturridge kesulitan untuk membongkar pertahanan lawan. Namun Edwards punya pandangan lain: Liverpool sebaiknya mendatangkan Roberto Firmino sebagai pengganti Suarez.

Menurut analisis Edwards, Firmino mempunyai kapasitas untuk menjadi penyerang tengah kelas atas. Meski saat itu ia biasa bermain di posisi nomor 10, Firmino rajin mencetak gol ke gawang lawan. Lain itu, jika Liverpool mendatangkannya, mereka juga akan mendapatkan dua kualitas dalam diri satu orang: seorang penghubung serangan yang mampu menciptakan peluang sekaligus mencetak gol ke gawang lawan. Sementara Benteke hanya ciamik saat berada di dalam kotak penalti lawan.

Hughes menambahkan bahwa Edwards akhirnya memilih untuk berkompromi. Ia mendatangkan Benteke dan Firmino sekaligus. Namun, ketika Benteke justru sering membuat serangan Liverpool mampat dan Rodgers sering memainkan Firmino di sisi lapangan, hitung-hitungan Edwards tak salah. Liverpool selalu tampil buruk. Pada Oktober 2015 Rodgers kemudian dipecat.

Dari sinilah Gordon kemudian berpikir Liverpool tak bisa dibesut pelatih sembarangan. Selain harus mempunyai karakter dan filosofi yang kuat, pelatih tersebut juga harus bisa bekerja dengan sistem yang dibangun oleh klub. Dan dari sekian banyak kandidat, Liverpool akhirnya memilih Jurgen Klopp—yang menurut Gordon mempunyai kapasitas untuk “memimpin perusahaan-perusahaan besar”—sebagai pengganti Rodgers.

Berbeda dengan Rodgers, Klopp terbiasa bekerja dengan seorang direktur teknis. Ia mau mendengarkan masukan sekaligus percaya kepada hitung-hitungan analisis. Lain itu, sementara Rodgers lebih sering mengeluh di belakang, Klopp lebih senang berbicara secara langsung tentang apa saja yang ada di kepalanya.

Saat Klopp pertama kali datang, Edwards menyarankan agar Klopp segera memainkan Firmino sebagai penyerang tengah. Ia memberikan alasan sedemikian rupa dan Klopp mau mendengarnya. Namun Klopp ternyata tak sepenuhnya setuju dengan penjelasan Edwards. Ia bertanya kepada Edwards, apakah Firmino bisa memulai pressing dari lini depan?

Pada akhirnya Klopp baru benar-benar menjajal Firmino sebagai penyerang tengah saat Liverpool bermain tandang ke markas Manchester City pada November 2015. Berperan sebagai false nine, pemain asal Brasil tersebut ternyata berhasil menciptakan perbedaan. Liverpool menang 1-4. Firmino mencetak satu gol, mencatatkan satu assist, dan membuat Eliaquim Mangala mencetak gol bunuh diri.

“Pemain yang luar biasa,” kata Jurgen Klopp. “Apakah ada pujian yang lebih baik? Saat ia kehilangan bola, ia langsung berusaha merebutnya. Saat ia kehilangan bola lagi, ia juga langsung berusaha merebutnya lagi. Ia tampak seperti mesin bagi tim ini.”

Sejak itu Klopp dan Edwards saling bergantung sama lain. Mengetahui hal tersebut, Gordon lantas mengangkat Edwards sebagai direktur olahraga Liverpool pada 2016. Kesepakatan baru, tulis Huhges, dibuat: “Edwards tak akan mendatangkan pemain apabila Klopp tidak menginginkannya. Apabila Klopp menginginkan pemain anyar, tapi klub keberatan untuk mendatangkannya, keputusan ada di tangan Edwards.”

Dari sinilah moneyball kemudian mampu berevolusi: hitung-hitungan statistik harus sesuai dengan kebutuhan tim dan pemain mahal juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan tim. Mohammed Salah, Roberto Firmino, Virgil van Dijk, dan Allison—pemain-pemain yang dalam beberapa tahun belakangan menjadi kunci sukses Liverpool—bisa menjadi bukti. Dan semua itu tentu saja dapat berjalan karena Gordon mampu mengurus Liverpool dengan benar.

Saat pertama kali bertemu dengan Klopp, Gordon memberi pesan: “Mengungkapkan pendapat atau ketidaksetujuan Anda tentang kinerja klub ini tidak hanya diperbolehkan, tapi juga sangat diperlukan.”

Baca juga artikel terkait LIVERPOOL JUARA LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Ivan Aulia Ahsan